NovelToon NovelToon
Cinta Suci Untuk Rheina

Cinta Suci Untuk Rheina

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam / Slice of Life
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Nofi Hayati

Tidak ada pernikahan yang sulit selama suami berada di pihakmu. Namun, Rheina tidak merasakan kemudahan itu. Adnan yang diperjuangkannya mati-matian agar mendapat restu dari kedua orang tuanya justru menghancurkan semua. Setelah pernikahan sikap Adnan berubah total. Ia bahkan tidak mampu membela Rheina di depan mamanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nofi Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kedatangan Adnan Kembali

Matahari mulai turun perlahan di ufuk barat, menyembunyikan dirinya di balik cakrawala. Langit sore berubah warna menjadi oranye keemasan, memberi isyarat bahwa malam akan segera tiba. Dari kejauhan, suara azan maghrib mulai terdengar, memecah kesunyian yang mulai melingkupi kafe tempat Nando dan Rheina duduk bersama.

Nando menegakkan tubuhnya, lalu menatap Rheina. "Udah Magrib, nih, shalat dulu yuk. Masjidnya nggak jauh, di seberang kafe ini aja," ajaknya sambil tersenyum.

Rheina mengangguk setuju. “Boleh, ayo.”

Tanpa banyak kata, mereka berkemas dan mengajak anak-anak mereka. Zahid yang masih penuh energi langsung berlari kecil di depan mereka, sementara Alya dengan langkah pelan menggenggam tangan ayahnya. Keduanya tampak tenang, mengikuti ritme langkah orang tua mereka menuju masjid kecil yang tak jauh dari kafe.

Sesampainya di masjid, Nando dan Rheina berpisah untuk mengambil wudhu. Anak-anak mengikuti orang tua masing-masing. Zahid, dengan candaannya yang ceria, tak henti-henti berbicara kepada Nando tentang segala hal yang ia lihat di sepanjang jalan. Sementara itu, Alya hanya diam, mengikuti Rheina dengan tenang. Meskipun begitu, ada rasa aman yang ia rasakan saat berada di dekat wanita itu—sosok yang membuatnya merasa nyaman, meskipun belum lama mereka bertemu.

Di dalam masjid, suasana khusyuk mulai terasa. Nando dan Zahid masuk ke dalam shaf laki-laki, sementara Rheina dan Alya menuju shaf perempuan. Nando sempat melirik ke arah Rheina dan Alya dari kejauhan, dan hatinya terasa hangat. Mereka terlihat seperti ibu dan anak, meskipun kenyataannya tidak. Alya, yang biasanya sangat pemalu dan sulit beradaptasi dengan orang baru, kini tampak nyaman berada di sisi Rheina. Bahkan saat Rheina membantu Alya membetulkan hijabnya, gadis kecil itu tersenyum kecil, sesuatu yang jarang Nando lihat.

Imam mulai mengumandangkan takbir, dan seluruh jamaah pun larut dalam kekhusyukan shalat. Suasana di masjid itu hening, hanya terdengar suara doa yang lirih di antara barisan jamaah. Nando berdoa dalam hati, meminta keberkahan dan kebaikan untuk dirinya dan Alya. Di shaf perempuan, Rheina juga larut dalam doa, memohon perlindungan untuk Zahid dan kehidupan mereka ke depannya.

Setelah shalat usai, mereka berkumpul kembali di halaman masjid. Zahid langsung berlari menghampiri ibunya, dengan ceria bercerita tentang pengalamannya shalat di masjid bersama Nando. Sementara itu, Alya berjalan pelan menuju Nando, tapi sesekali menoleh ke arah Rheina, seolah ingin memastikan sosok hangat itu tetap ada di dekatnya.

Nando mengusap kepala Alya dengan lembut. "Kamu nyaman shalat sama Tante Rheina?" tanyanya pelan.

Alya mengangguk. “Iya, Ayah. Alya suka. Tante Rheina baik banget.”

Mendengar jawaban itu, Nando hanya bisa tersenyum. Ada rasa bahagia dan haru yang sulit dijelaskan. Sesaat ia menatap Rheina, yang tengah merapikan rambut Zahid yang berantakan akibat angin malam. Sekilas, mereka terlihat seperti keluarga—sesuatu yang membuat siapa pun yang melihat mereka saat itu akan menyangka mereka adalah keluarga bahagia.

Rheina, yang menyadari tatapan Nando, hanya tersenyum kecil. "Alya anak yang baik, Nando," ucapnya lembut. “Kamu hebat sudah membesarkan dia dengan baik.”

Nando hanya tersenyum, meski dalam hatinya ia merasa bahwa Alya membutuhkan lebih dari sekadar dirinya. “Makasih, Rheina. Zahid juga anak yang hebat. Kamu ibu yang luar biasa.”

Percakapan mereka tak perlu panjang-panjang. Mereka tahu bahwa masing-masing dari mereka menjalani perjalanan yang tidak mudah sebagai orang tua tunggal. Tapi saat ini, di bawah cahaya lampu masjid yang temaram dan kehangatan yang mereka rasakan, tak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh. Mereka hanya merasa nyaman, meski tak tahu ke mana pertemuan ini akan membawa mereka.

Malam itu, sebelum mereka berpisah, Zahid menggandeng tangan Alya, mengajaknya berjalan bersama menuju mobil. Dua anak kecil itu bahkan berpelukan saat mereka akan memasuki mobil masing-masing. Nando dan Rheina yang mengikuti dari belakang, memperhatikan kedua anak itu yang tampak begitu akrab meski baru sebentar kenal. Ada rasa haru dalam hati mereka mengingat kedua anak itu adalah anak yang tangki cintanya tidak terisi penuh. Kebahagiaan yang sederhana seperti ini mungkin tidak bisa hadir lebih sering dalam hidup mereka.

Malam semakin larut, tetapi di dalam hati mereka, ada secercah cahaya kecil harapan mulai menyala—harapan akan kehidupan yang lebih baik, bersama anak-anak yang mereka cintai.

---

Setelah seharian penuh bermain dan berkumpul, Rheina dan Zahid akhirnya tiba di rumah. Kelelahan terlihat jelas di wajah mereka, tapi ada kebahagiaan yang tetap terpancar, terutama dari Zahid yang ceria menceritakan segala hal yang ia alami hari itu. Sesampainya di rumah, Rheina langsung mengganti pakaian Zahid, kemudian mempersiapkan dirinya sendiri untuk beristirahat. Namun sebelum sempat bersantai, terdengar suara papa dari ruang tamu yang memanggilnya.

“Rheina, sini sebentar,” suara papa terdengar tegas, tapi ada nada yang tak biasa. Rheina merasakan sesuatu yang ganjil, namun ia tetap menghampiri.

“Ada apa, Pa?” tanya Rheina saat masuk ke ruang tamu. Di sana, papa duduk dengan wajah yang tampak tegang, berbeda dari biasanya.

Papa menatap Rheina sejenak, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. Akhirnya, ia menghela napas panjang. “Tadi ... Adnan datang ke sini.”

Mendengar nama itu, Rheina langsung tertegun. Matanya membulat, jantungnya berdegup lebih cepat. “Adnan?” ucapnya lirih, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sosok yang tiga tahun belakangan ini ia coba lupakan, kini muncul kembali dalam hidupnya begitu saja.

“Iya, dia menanyakan kamu dan Zahid,” lanjut papa, wajahnya serius. “Dia bilang ingin bicara.”

Rheina terdiam. Adnan—pria yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya, ayah dari Zahid, dan sosok yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar setelah perceraian mereka. Kenapa dia harus muncul sekarang? Tiga tahun tanpa berita, tanpa nafkah untuk Zahid, dan kini, dia begitu saja datang seolah-olah tidak ada yang terjadi?

“Apa yang dia mau?” suara Rheina terdengar getir, campuran antara marah dan bingung. “Setelah tiga tahun? Apa dia bilang kenapa dia menghilang dan tidak menafkahi putranya?”

Papa menggelengkan kepala pelan. “Dia nggak banyak bicara. Cuma bilang ingin ketemu kamu dan Zahid. Sepertinya... dia punya alasan.”

Rheina menelan ludah. Perasaannya berkecamuk. Di satu sisi, ada amarah yang selama ini ia pendam. Amarah pada Adnan yang melupakan tanggung jawabnya meskipun mereka sudah berpisah, meninggalkannya menafkahi Zahid sendirian. Namun, di sisi lain, ada keraguan—apakah Adnan datang dengan niat baik? Apa dia akhirnya menyadari kesalahannya?

“Kenapa sekarang?” gumam Rheina pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Tiga tahun adalah waktu yang lama. Selama itu, Rheina sudah mencoba membangun hidupnya kembali. Menjadi ibu tunggal bukanlah hal yang mudah, tetapi ia berhasil. Ia dan Zahid sudah mulai menemukan kebahagiaan mereka sendiri. Kenapa Adnan harus datang lagi dan mungkin akan mengacaukan semua?

“Apa kamu mau ketemu dia?” tanya papa hati-hati.

Rheina menghela napas panjang. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Namun, di tengah kekacauan pikirannya, satu hal yang jelas adalah bahwa ia harus melindungi Zahid. Tidak ada yang boleh membuat hidup anaknya kacau, apalagi seseorang yang pernah menghilang tanpa tanggung jawab.

“Aku nggak tahu, Pa,” jawab Rheina akhirnya. “Aku nggak tahu apakah aku bisa ketemu dia lagi. Aku takut… takut kalau Zahid kecewa. Aku udah berusaha membesarkan Zahid dengan baik, dan aku nggak mau ada orang yang datang cuma buat nyakitin dia.”

Papa mengangguk pelan, seolah memahami perasaan putrinya.

Di tengah keheningan itu, terdengar suara langkah kaki kecil mendekat. Zahid, yang sudah mengenakan piyama, masuk ke ruang tamu dengan mata setengah mengantuk. “Ma, Zahid ngantuk. Ayo tidur,” ucapnya manja sambil menggosok matanya.

Rheina tersenyum, rasa lelah di hatinya sedikit hilang melihat wajah polos Zahid. "Iya, Sayang. Ayo kita tidur."

Ia memegang tangan kecil Zahid dan mengajaknya kembali ke kamar. Saat berjalan melewati papa, ia berhenti sejenak, menoleh dan berkata, Rheina pikirkan dulu, Pa. Rheina butuh waktu buat memutuskan.”

Papanya hanya mengangguk mengerti, tanpa mendesak. Rheina tahu, apa pun keputusannya nanti, papanya akan mendukungnya sepenuhnya. Malam itu, sambil memeluk Zahid yang sudah terlelap di sampingnya, pikiran Rheina masih dipenuhi oleh bayangan masa lalu. Adnan, pria yang pernah ia cintai dan juga pernah menghancurkan harapannya untuk sebuah keluarga bahagia, kini kembali datang menghantui kehidupannya. Namun, kali ini, ia harus lebih kuat. Untuk dirinya, dan terutama, untuk Zahid.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!