" Aku menyukaimu Ran. Aku sungguh-sungguh mencintaimu?"
" Pak, eling pak. Iih ngaco deh Pak Raga."
" Ran, aku serius."
Kieran Sahna Abinawa, ia tidak pernah menyangka akan mendapat ungkapan cinta dari seorang duda.
Duda itu adalah guru sejarah yang dulu mengajarnya di tingkat sekolah menengah atas. Araga Yusuf Satria, pria berusia 36 tahun itu belum lama menjadi duda. Dia diceraikan oleh istrinya karena katanya menderita IMPOTEN.
Jadi bagaiman Ran akan menanggapi perasaan pria yang merupakan mantan guru dan juga pernah menjadi kliennya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DDI 23: Ternyata
Jam makan siang ini Raga meminta izin untuk keluar sejenak, lagi pula jam mengajarnya sudah habis jadi tidak masalah untuk keluar. Sedari tadi pagi, bukan bukan, dari kemarin Raga tidak berhenti memikirkan Ran. Ini baru saat ini Raga merasakan hal tersebut. Ia seperti memiliki perasaan yang tidak nyaman.
Namun, ketika ia mengirim pesan untuk menanyakan tentang kondisi Ran, gadis itu menjawab bahwa tidak ada yang terjadi pada dirinya. Jawaban Ran tidak serta merta membuat Raga tenang. Maka dari itu saat ini dirinya sedang berjalan menuju kantor Ran.
Dadanya semakin berkecamuk saat mulai dekat dengan kantor. Matanya membulat ketika melihat ada mobil Rena di sana. Dan sesuatu yang diluar dugaan ia lihat dengan mata dan kepalanya sendiri.
" Ran! Ya Allah ini berdarah."
Raga sempat melihat bagaimana Rena mendorong Ran sehingga gadis itu terjatuh. Raga yang masih di dalam mobil saat melihat peristiwa itu seketika itu juga langsung berlari, bahkan ia mengabaikan pintu mobil yang masih terbuka.
" Rena, apa yang kamu lakuin hah!" Tatapan nyalang Raga tujukan kepada Rena. Sungguh ia sangat marah saat ini, rupanya rasa tidak nyamannya karena hal seperti ini akan terjadi,
" Ng-nggak, a-aku nggak ngelakuin apapun. Aku cu-cuma ndorong aja, ngga mungkin sampai berdarah gitu. La-lagian itu juga sudah ada perbannya, jadi bukan saah ku dong."
" K-kau!"
Raga semakin marah melihat Rena yang sama sekali tidak merasa bersalah dengan apa yang baru saja diperbuat. Raga ingin sekali menghampiri Rena tapi oleh Ran ditahan. Lagi pula Ran juga terlihat kesakitan, perban putih itu kini menjadi merah.
" Ayo ke rumah sakit!" ucap Raga sambil membantu Ran berdiri,
" Tidak perlu mas," elak Ran, ia merasa tidak perlu untuk pergi ke sana.
Raga seolah tuli. Dia tidak mendengar ucapan penolakan dari Ran. Saat itu juga Raga menggendong Ran dan memasukkan ke mobil. Ia juga melayangkan tatapan tajam nan menusuk kepada Rena, seolah memiliki makna " awas kau nanti!"
Rena bergidik ngeri melihat tatapan mata Raga. Selama mengenal pria itu, belum pernah Raga menampilkan tatapan tajam yang memancarkan aura permusuhan yang begitu kuat.
" Mas, shhhh aku nggak pa-pa. Kita pulang ke rumah aja." Ran masih berusaha untuk menolak, namun ia sebenarnya juga merasakan sakit pada lukanya jitu,
Raga bergeming mendengar permintaan Rena. Terlebih saat ia melihat sekilas, lengan yang dibalut perban itu semain basah dan darah semakin banyak.
" Mas," panggil Ran sekali lagi tapi Raga tetap tidak menyahut. Pada akhirnya Ran memilih diam, bisa dia lihat dari raut wajah pra yang tengah mengemudi itu bahwa dia sangat marah bercampur khawatir.
Ckiit
Mobil berhenti tepat di depan emergency room milik Rumah Sakit Mitra Harapan. Raga memapah Ran dan mencari tenaga medis untuk memeriksa. Kebetulan sekali Nataya sedang berkunjung ke ER karena ada pasien anak kecil.
" Lho Ran, kamu kenapa. Ini kok berdarah gini?"
" Anu Om ... ."
Ran tidak bisa menjelaskan, dan Nataya memanggil salah satu dokter ER untuk menangani Ran. Saat dibuka, luka sayatan itu ternyata semakin lebar. Ternyata posisi Ran jatuh tadi adalah lengannya terkena pinggiran tangga, sehingga luka kemarin menjadi semain terbuka.
Akhirnya ran mendapat jahitan dari lukanya. Dan setelah mengambil obat, Raga membawa Ran untuk kembai pulang ke rumah.
" Apa yang melakukan itu juga Rena?" tanya Raga, ia sungguh akan melakukan sesuatu jika itu benar Rena.
" Bukan Mas, bukan Rena. Setidaknya saat dia lihat luka di lenganku tadi, dia nggak bereaksi apapun. Luka ini udah dari kemarin kok." Ran menjawab dengan tenang, ia bisa melihat Raga yang saat ini sangat marah. Meskipun dia tidak tahu mengapa Raga begitu.
Raga lalu menepikan mobilnya. Awalnya ia ingin protes, mengapa Ran tidak menjawab yang sebenarnya ketika ia bertanya kmearin. Tapi Raga mengurungkan niatnya itu. Ia cukup sadar diri bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa, sejauh ini hubungan mereka hanyalah mantan guru dan mantan klien.
" Kenapa Mas," tanya Ran kebingungan saat Raga menghentikan mobilnya.
" Nggak Ran, nggak kenapa-napa. Hanya saja kenapa kemarin kamu nggak cerita kalau kamu terluka."
Ran tersenyum simpul, ia sekarang sadar betul bahwa Raga saat ini sedang khawatir terhadap dirinya. Dan itulah alasan mengapa dia tidak memberitahukan keadaannya kemarin.
" Nanti kalau sudah jelas, aku bakalan cerita. Sekarang boleh minta tolong buat balik ke kantor?"
" Langsung pulang ke rumah aja, nanti barang-barang kamu aku ambilin."
Ran pasrah, entahlah mengapa kali ini dia begitu menurut kepada Raga. Tidak ada keinginan untuk Ran membantah. Lagi pula tidak ada salahnya juga langsung pulang. Bahkan dia bisa minta tolong Prita untuk membawakan ponsel dan tasnya.
***
" Bodoh, melukai wanita saja tidak becus. Segera tinggalkan kota ini, menetap lah untuk sementara waktu di sana hingga aku memanggilmu kembali."
" Ba-baik Tuan."
Seorang pra berkepala plontos berperawakan tinggi besar dan memiliki logat yang sedikit cadel terlihat begitu geram. Ia bahkan melemparkan gelas anggur yang masih berisi penuh. Rencana yang dia buat sudah gagal. Dan saat ini waktunya untuk dia menghilangkan barang bukti. Ia meminta anak buahnya utuk membakar motor yang dipakai kemarin dan menyuruh mereka untuk pergi ke tempat yang sudah ia beritahukan.
" Hah, sialan. Kenapa keluarga itu sulit untuk ditangani. Dulu dan sekarang pun sama. Nggak bapak nggak anak sama saja. Malah anaknya lebih menjengkelkan."
Pria itu berucap dengan nada kesal. Ia kemudian memanggil anak buahnya untuk membuat rencana selanjutnya.
" Apa kita harus mengatakan tempat itu dengan tanah, Tuah Sudibyo?"
" Lakukan, tapi ingat, yang rapi. Haah, siapa suruh anak bau kencur itu berani mengusikku. Dasar!"
Sudibyo pria tua itu kembali mengambil gelas dan mengisinya dengan anggur yang ia sukai. Ia menyalakan cerutu mahalnya lalu menghisapnya kuat-kuat dan menghembuskan asapnya secara perlahan. Rasanya sungguh nikmat, tapi ketika ia mengingat apa yang diambil dirinya membuat pria berusia 60 tahun itu kembai murka.
" Huh sialan, bocah tu membuatku rugi sangat banyak. Sepertinya aku benar-benar harus meminta penggantian yang sepadan terhadap bocah tengik itu."
TBC