Zahira Maswah, siswi SMA sederhana dari kampung kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, hidupnya berubah total saat ia harus menikah secara diam-diam dengan Zayn Rayyan — pria kota yang dingin, angkuh, anak orang kaya raya, dan terkenal bad boy di sekolahnya. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena keadaan yang memaksa.
Zahira dan Zayn harus merahasiakan pernikahan itu, sampai saatnya tiba Zayn akan menceraikan Zahira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13_Perhatian
Zahira terkejut ketika mendapati di laci mejanya terdapat sebuah buang dan surat.
"Dariku yang selalu mengangumimu~ Ardiansyah,"
Zahira membacanya dengan lirih, matanya celingak celinguk menatap sekelilingnya, tidak ada orang di sana. Zahira memang selalu datang lebih awal dari yang lainnya.
Bunga mawar itu adalah bunga mawar asli, bukan plastik. Ia mencium aromanya, sangat sejuk di hidung, dan tampaknya bunga ini juga baru.
Saat menyadari ada yang akan datang, Zahira langsung memasukkan bunga itu ke dalam tasnya. Dan yang datang itu adalah Sarah, Nadia, dan Fitri.
"Seperti biasa, Lo selalu jadi penghuni kelas pertama," ujar Sarah.
"Maklum aja, murid baru memang lagi semangat semangatnya, nanti juga kalau dah lewat satu semester, baru deh males seperti yang lainnya," ucap Nadia menggoda.
Zahira hanya tersenyum.
****
Jam istirahat berbunyi.
"Kantin yuk," ajak Nadia, dan mereka pun pergi kek kantin
Di kantin mereka makan bakso, sambil bercerita cerita.
"Eh sut, itu si Ardi dari tadi liatin lu terus tuh Ra," ujar Sarah menangkap basah Ardi yang sedari tadi terus menatap ke arah Zahira.
Zahira mengikuti tatapan Sarah, dan di sana Ardi telah menatapnya sambil tersenyum.
Spontan Zahira mengalihkan pandangannya.
"Aku enggak nyaman nih," ujar Zahira sambil mengubah duduknya membelakangi Ardiansyah.
"Terus gimana? Lo mau kita ngelabtak dia, biar enggak ngelirik loh terus?" ucap Nadia.
"Ya enggak gitu juga, kita cukup pindah duduk aja," ucap Zahira.
"Ya udah deh, kalau gitu, yuk," ucap Sarah lebih dulu beranjak.
Mereka pun pergi meninggalkan meja itu, dan pindah ke meja yang ada di balik tiang. Melihat hal itu, Ardiansyah hanya tertawa, ia merasa Zahira ini memang agak berbeda, ia cantik dan manis, dan yang paling menantang adalah ia sangat sulit untuk ia dapatkan.
"Tapi, Ra, Lo harus tahu kebenarannya, itu si Ardi bukan laki-laki baik, dulu ada isunya dia pernah ngerusak salah satu siswi cewek di sini, sampai siswi itu pindah sekolah karena malu, isunya kesebar dari mulut ke mulut," ujar Sarah.
"Bener banget, dan sampai sekarang, dia itu kalau pacaran juga enggak sehat, minimal grepe grepe tubuh ceweknya sama kissing. Bejat banget tuh anak," timpal Nadia
"Memangnya ada ya pacaran yang sehat?" tanya Zahira dengan polosnya, karena yang ia tahu semua pacaran adalah haram dalam Islam, jadi tidak ada pacaran yang sehat atau sejenisnya.
"Ya, itu maksudnya, kalau dia itu selalu kebablasan, jangan sampai lo jadi korban selanjutnya," ucap Nadia.
"Bener banget tuh, apalagi lo polos banget, kita jadi khawatir," ujar Fitri.
"Kalian semua tenang aja, InsyaAllah, aku enggak bakalan jadi korbannya kok, kan sudah ada aturan dalam bergaul dalam Islam, InsyaAllah selagi kita taat, maka tidak akan ada korbannya," ujar Zahira.
"Iya deh Bu Ustazah," ucap Nadia
Zahira hanya tersenyum kepada teman temannya ini.
*****
"Mau pulang, gue anterin yuk, Ra," itu suara Ardiansyah, dengan senyum percaya diri yang khas, memecah kerumunan siswa yang mulai bubar dari kegiatan ekstrakurikuler.
Zahira menoleh pelan. Sore itu langit agak mendung, awan-awan kelabu menggantung seperti pertanda hujan akan turun kapan saja. Ia merapatkan jaket almamaternya sambil memeluk tas ransel yang menggantung di pundaknya.
"Terima kasih banyak sebelumnya, tapi saya bisa pulang sendiri kok," ucapnya lembut namun tegas, "lagipula, tidak baik perempuan dan laki-laki non-mahram boncengan."
Kalimat itu meluncur seperti biasa dari bibir Zahira—bukan karena ingin menghakimi, tapi karena itulah prinsip yang ia pegang. Ia tahu, banyak yang menganggapnya terlalu kolot, terlalu alim, terlalu 'berjarak'. Tapi begitulah Zahira: ia memilih hidup dengan batas-batas yang diyakininya, meskipun kadang membuat orang lain salah paham.
Ardiansyah tersenyum senget, seakan kata-kata Zahira hanya angin lalu. Dia bukan tipe yang mudah ditolak. Apalagi oleh cewek yang menurutnya terlalu ‘bercahaya’ untuk sekadar menjadi penonton di tribun hidupnya.
"Oh ya, aku sekalian mau balikin bunga kamu, mumpung kamu ada di sini," ujar Zahira sambil membuka kancing tasnya, mengeluarkan sebuah plastik kecil berisi bunga mawar merah yang sudah mulai layu.
Namun sebelum tangannya sempat mengulurkan bunga itu, Ardiansyah mencegahnya dengan cepat.
"Eh, enggak usah. Itu memang sengaja aku berikan untukmu, sebab wajahmu memang secantik bunga mawar itu," ucap Ardiansyah sambil menggombal, suaranya dibuat serendah dan semanis mungkin.
Zahira nyaris saja muntah mendengar ucapan itu. Ia bahkan menahan napas sejenak, tak percaya pria ini masih saja mencoba mendekatinya dengan gaya norak seperti itu.
"Terima kasih, tapi saya tidak butuh bunganya," ucapnya datar, tanpa menatap langsung ke mata Ardiansyah.
"Oh, tidak butuh bunganya ya? Jadi kamu butuh... buang uang ya?" candanya sambil tertawa kecil, berusaha menggoda.
Zahira tidak menanggapi. Ia menundukkan kepala dan langsung berjalan, meninggalkan Ardiansyah.
Hatinya mulai panas, bukan karena ucapan Ardiansyah, tapi karena suasana yang terasa canggung dan menjengkelkan.
Beberapa teman mereka melihat adegan tadi dengan tatapan penasaran, bahkan ada yang mulai bisik-bisik di belakang.
"Dasar sok jual mahal, entar juga lu yang yang ngejar-ngejar gue," gumam Ardiansyah sambil menggas motornya, pergi.
Zahira duduk di halte bus, tidak lama kemudian hujan deras tiba-tiba turun, disertai oleh petir yang menggelegar. Ia pun memeluk ranselnya erat-erat, ia takut tasnya yang berisi buku itu akan terkena hujan.
Hujan itu turun deras menghantam tanah dan aspal. Sesekali petir menggelegar, membuat bahunya refleks menegang. Jalanan yang biasanya ramai, kini seperti kota mati. Sepi dan dingin.
Ranselnya basah di bagian bawah, begitu juga rok sekolahnya. Sebab air hujan merembes dari depan. Tapi Zahira tetap diam, matanya sesekali melirik jalan, berharap ada bus melintas. Harapannya mulai redup. Sebab tidak ada satupun bus yang melintas.
Dari kejauhan, sebuah mobil hitam berhenti perlahan. Jendela depan mobil itu turun, memperlihatkan wajah seorang remaja laki-laki yang tampak kesal.
“Hei! Masuk!” teriak Zayn, suaranya nyaris tenggelam oleh derasnya hujan.
Zahira langsung berdiri dan berlari tanpa berpikir panjang. Ia tahu suara itu. Ia tahu wajah itu. Zayn Rayyan. Suami rahasianya.
Begitu Zahira duduk di kursi, samping Zayn, Zayn buru-buru menaikkan kaca mobilnya.
Zahira masih memeluk ranselnya, wajahnya menggigil, jilbabnya basah menempel di pipi, dan kakinya bergetar menahan dingin.
“Ngapain sih meluk-luk tas begitu, kayak tasnya bisa jalan aja,” omel Zayn sambil menarik ransel dari pelukan Zahira dan meletakkannya di kursi belakang.
“Itu... isinya buku. Aku takut basah,” jawab Zahira, lirih, polos.
Zayn melirik gadis itu, lalu mendengus pelan, “jadi kalau kamu yang basah kuyup gitu nggak masalah ya?”
Zahira tak menjawab. Ia hanya menunduk. Seragamnya sudah menempel di kulit karena basah, dan sepatu sekolahnya mengeluarkan bunyi ‘cuk-cuk’ saat ia menggeserkan kakinya.
Zayn membuka laci dashboard, mengeluarkan sebungkus tisu, lalu melemparkannya ke pangkuan Zahira.
“Itu buat ngelap wajah sama tangan lo,” katanya singkat.
Zahira menatapnya, ragu. Tapi akhirnya ia mengambil satu lembar, dan mulai mengelap wajahnya perlahan.
Mobil itu melaju pelan di tengah hujan yang deras. Sesekali, suara wiper menggesek kaca, mengiringi keheningan di antara mereka.
“Ngapain lo bisa sendirian gitu? Ini jam berapa?” tanya Zayn akhirnya.
Zahira menunduk lagi, “tadi ada jam les ekstrakurikuler matematika" ujarnya.
Zayn tidak menjawab, ia menepikan mobil di sebuah minimarket. Kemudian, ia meraih Hoodie dari sandaran mobilnya.
"Nih, gue mau turun dulu, Lo ganti pakaian loh," perintah Zayn memberikan Hoodie kepada Zahira.
Zahira menatapnya dengan melongo.
"Tenang aja, kaca mobil ini tidak transparan, dan gue kunci juga nanti dari luar, gue juga enggak bakalan sembarangan masuk sebelum loh selesai berganti pakaian," ujarnya.
Barulah Zahira menerima hoodie itu, sebab ia pun tak tahan lagi dengan dinginnya air hujan yang menyerah ke tubuhnya.
Setelah itu, Zayn pun turun, setelah ia rasa Zahira selesai berganti pakaian, ia pun kemudian masuk kembali dengan membawa sesuatu dalam plastik.
Tapi, Zayn menatap lucu kepada Zahira yang memakai hoodienya. Zahira tenggelam.
Tapi, Zayn menahan tawanya.
Zahira menggunakan topi hoodie itu sebagai pengganti jilbabnya yang sudah basah kuyup. Membuat dia menjadi imut.
“Ini buat lo,” katanya, meletakkan kantong itu di pangkuan Zahira.
Zahira membuka isinya perlahan. Sebungkus roti hangat dan susu kotak.
“Maaf… ini berapa aku bayar…” katanya refleks.
“Gue enggak jualan. Gue cuma... nggak mau ada orang pingsan di mobil gue karena kelaperan,” jawab Zayn sambil menatap ke depan, pura-pura cuek.
Zahira tersenyum kecil, senyum yang hampir tak terlihat.
Mobil melaju, menuju rumah kontrakan Zahira.
mainan busehhh ati ati loh takut nya yang Lo anggap mainan jadi sesuatu yang berharga
lanjut Thor mau lihat seberapa hebat Zahira bisa melalui ini semua
dan cerita cinta di sekolah ini pastinya yg di tunggu ,,rasa iri, cemburu dll
apa sekejam itu Thor di sana ?
selipin cowok yg cakep Pari purna yg tertarik ma Zahira mau tau reaksi suami nya,,kalau ada seseorang yg suka pasti membara bak 🔥
ayah zayn atau ayah ardi?.
kalo ayah zayn..
apakah ingin zahira twrsiksa dan dibully di sekokah zayn?
apa gak kauatir klao terbongkar pernikahan mereka?
❤❤❤❤❤❤
atau carikan sekolah lain.
❤❤❤❤❤
use your brain