Siapa sangka seorang dokter cantik nan muda bisa menarik perhatian bos gangster dalam pandangan pertama hingga membawanya ke dalam cinta segitiga antara sang dokter, bos gangster dan seorang polisi yang merupakan calon suami dari dokter cantik tersebut.
Di sisi lainnya, sebuah pembunuhan brutal terjadi di kalangan konglomerat hingga menggemparkan berita orang-orang kaya. Tidak diketahui motif sang pembunuh, namun hanya ada satu kemungkinan yaitu balas dendam.
Semua yang terjadi rupanya terhubung satu sama lain. Cinta, pembunuhan, kebohongan dan balas dendam.
(Cerita season 2 dari season 1 berjudul Only 200 Days Mr. Mafia) jika belum membacanya, silahkan baca dulu jika berkenan ^^
°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°
Mohon dukungannya ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DOAM — BAB 23
PEMBUNUHAN KETIGA—RICO NESTORE
Luca meletakkan perlahan tubuh Sarah di atas ranjang. Untung saja ibu panti tidak ada di ruang tamu, mereka sibuk di tempat lain jadi Luca tak menerima banyak pertanyaan dari para wanita itu. Tanpa beranjak, Luca sangat menyukai ketika dia berlama-lama memandangi wajah cantik Sarah yang terlihat lebih tenang.
“Aku harus apa? Kau sudah menjebak ku ke dalam hidupmu!” tangan Luca membelai lembut garis wajah Sarah, menyingkirkan poni wanita itu hingga kening yang selalu tertutup itu terlihat jelas.
Bibir Luca tersungging kecil ketika tangannya mulai merambat ke bawah tepatnya di pakaian Sarah yang masih terkancing rapat. Pria itu membuka satu kancing paling atas hanya dengan satu tangan saja dan itu berhasil terbuka. Sekali lagi pria itu membuka kancing kedua hingga terlihat bagian dalam dari tubuh seorang wanita yang masih terbalut sebuah bra.
“You look sexy baby.” Gumam Luca tersenyum tipis. Puas melakukan kejahilan seperti yang dia lakukan di apartemen Sarah, kini Luca beranjak dari kamar tersebut menuju ke mobil mewahnya yang terparkir di taman depan rumah panti. Toh tidak akan ada orang yang lewat di sana, melihat tempat tersebut hanyalah kompleks perumahan dengan gabungan taman sebagai jalanan nya.
Pria itu masuk ke dalam mobilnya, mengambil sebuah pistol dari dasbor mobil seraya memasang Earpiece di telinga kirinya sebelum dia keluar dari mobil dengan diam-diam.
[“Apa mereka masih ada?”] tanya Luca kepada seorang anak buahnya yang berada di kota Verona namun pelacak canggih masih menyala untuk menjaga bos mereka dari musuh.
[“Mereka ada tiga orang, masing-masing bersembunyi di balik pohon dengan arah jam yang berbeda. ”] Jelas anak buah Luca.
Pria tampan yang saat ini tengah membawa pistol, mulai menjauh dari rumah panti, tak lupa juga untuk selalu waspada agar tak ada yang melihatnya melakukan pembunuhan di sana.
Hari masih terlihat gelap, perayaan di jantung kota Verona masih berlanjut. Suara ricuh di sana menutupi semuanya yang tersembunyi.
“Aku akan mencari toilet sebentar!” pamit pria bernama Rico kepada sang istri dan juga anaknya. Wanita itu tersenyum seraya mencium bibir suaminya sebelum akhirnya Rico berjalan menjauh dari perayaan tadi.
Pria itu mencari toilet umum di sana, namun tak menemukannya hingga dia terpaksa harus melewati jalan alternatif, yaitu melewati lorong yang ada agar lebih cepat ke jalan lurus. Orang-orang ramai yang masih fokus ke pertunjukan sehingga menyisakan tempat yang sepi dan kosong.
Tap! Tap! Tap! Langkah kaki Rico masih berjalan santai melewati lorong gelap dengan cahaya lampu putih. Tanpa merasa curiga bahwa seorang pria berjaket merah mengikutinya dari belakang.
Pria berkacamata itu mengentikan langkahnya ketika dia mulai menyadari akan seseorang yang mengikutinya, tangan Rico merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah pisau kecil untuk berjaga-jaga. Belum sempat menoleh, Grey menariknya dengan cara menjerat leher Rico dengan sebuah tali dan membawanya masuk ke sebuah lorong yang lebih kecil.
Brugg!!! Pria berjaket merah tadi menonjok wajah Rico hingga hidungnya berdarah, juga kacamata yang dia kenakan langsung retak begitu saja. Betapa kerasnya pukulan Grey yang hanya satu kali pukul.
“Siapa kau hah??” pria bernama Rico itu melepas paksa kacamatanya, menyodorkan pisau yang masih dalam genggamannya.
Dengan berani, Grey menunjukkan dirinya hingga wajah tampannya terlihat jelas, sorot mata silver yang tajam dan penuh kemarahan. Pria itu tak mengenakan tudung jaketnya karena dia ingin musuhnya melihat wajahnya sebelum ajal menjemput mereka.
“Ka-kau... ” dengan gemetar Rico mengatakannya namun tanpa pikir panjang Grey meraih pisau dari tangan Rico dengan sangat muda, seolah dia sudah terlatih bak seorang tentara.
Kini wajah panik serta takut terlihat di wajah Rico. Pria itu sebisa mungkin melawan balik serangan Grey namun dia kalah. Dengan sangat kasar, Grey mulai mematahkan tangan kanan Rico kebelakang. “Aaakkkgghhh— ” Pekik kesakitan pria malang tadi. Bagaimana tidak, tangan Rico dipatahkan bak tulang yang rapuh hingga tulang sikunya nampak menonjol dengan darah yang bercucuran.
Pria itu merasa lemas, saraf di tangannya sudah mati rasa, keringat bercucur keluar dengan air mata dan tangisan permohonan. Rico bertekuk lutut di hadapan Grey yang berdiri menatapnya tanpa ampun.
Di sisi lain, merasa bahwa suaminya belum kembali, istri dari Rico tadi segera menghubungi polisi termasuk Tobias dan Robbie. Tanpa banyak berpikir, kedua polisi tadi segera menuju ke tempat lokasi dengan tekad dan kepercayaan diri.
“Aku akan menangkapnya dan akan menyeretnya.” Ucap sombong Robbie yang saat ini sudah berada di perjalanan.
.
.
.
“Aku mohon... Le-lepaskan aku... Istri dan anakku hah, hah, hah— mereka membutuhkan ku... Aku mohon...” Rico mencoba memohon sebisa mungkin walaupun dia harus menahan rasa sakit yang luar biasa di tangannya yang patah.
Grey tak mendengarkan, ia mulai berjalan melingkar hingga berhenti tepat di belakang Rico berlutut. Brugg!! Pria bertubuh kekar dengan jaket merah tadi menendang keras punggung Rico hingga pria itu tersungkur tak bisa bergerak.
Sambil terus memohon Rico akhirnya melihat seorang wanita berjalan ke arahnya. Wanita berjaket merah dengan tudungnya. Wajah yang sangat dia kenal membuat Rico terkejut setengah mati akan keberadaan Zoe di sana.
Pupil mata Rico bergerak ke arah suntikan yang Zoe bawa. “To-tolong.... Ja-jangan... Aku mohon, ma-maafkan aku...” Rico menangis tersedu.
Zoe mulai berjongkok dengan satu lutut menyentuh tanah. Tangan kirinya mulai menjambak rambut Rico dan memiringkan kepala pria itu. “Aku mohon...” Jlebb!! Zoe lagi-lagi menyuntikan narkoba tersebut di leher korbannya tanpa memperdulikan permohonan maaf dari sang korban.
Grey yang menunggu pun hanya memperhatikan dengan sorot mata yang sama seperti Zoe.
Tiba-tiba suara sirine polisi terdengar jelas dan semakin jelas. Kedua orang dengan warna jaket yang sama tadi, sama sekali tidak terlihat ketakutan ataupun panik. Zoe kembali berdiri menatap wajah Rico yang nampak lemas dan kejang terlentang menatap langit-langit.
Sementara Grey mulai meraih kaki kiri Rico, menginjaknya serta menariknya. Krakkk!!! “Aakkkhhgg— ” sekali lagi pria itu berteriak lantang hingga seekor anjing polisi yang sudah dilepas pun menemukan jejak pembunuhan.
Berulang kali anjing cokelat itu menggonggong tanpa henti dan terus menatap ke arah Grey tanpa berani mendekat karena penghalang sampah besar yang ada di tengah-tengah lorong.
“Mereka di sana. Ayo!” ujar Robbie yang datang lebih dulu, di susul oleh Tobias yang datang dari arah berlawanan. Suara langkah kaki yang ricuh terdengar bersahutan di lorong yang sunyi.
Para polisi tadi segera mencari keberadaan anjing mereka.
Grey melepaskan kaki Rico yang terlihat sama seperti tangannya. Tulang lututnya nampak keluar bersama dengan bersimbah darah. Kedua mata Rico yang mulai sayu pun menandakan bahwa pria itu sudah tak kuat lagi menahan kesakitan-nya.
Robbie dan Tobias sama-sama menemukan keberadaan anjing tersebut. Hewan tadi masih bersuara seolah menunjukkan bahwa ada pembunuhan di sana. Dengan cepat, kedua pria tadi beserta polisi lainnya berlari ke arah anjing tersebut sampai—
BRUAKKK!!! Sebuah tubuh terlempar sangat kuat hingga mengenai sampah besar juga hampir mengenai para polisi di sana.
Melihat bahwa orang yang dilempar adalah Rico Nestore, Tobias segera menolongnya, apalagi melihat keadaannya yang sangat tragis.
Sementara Robbie saling beradu pandang dengan seorang pria berjaket merah yang kini memakai tudung jaketnya. Kedua sorot mata mereka sama-sama tajam, dengan berani Grey menunjukkan wajahnya meskipun tak begitu jelas setidaknya dia ingin menunjukkan kepada para polisi bahwa dia bukanlah pembunuh yang pengecut.
Robbie terus menatapnya, tanpa pikir panjang dia mengerahkan pistolnya dan melepaskan peluru-peluru tersebut ke arah Grey. Namun seperti biasa, pria itu berhasil kabur tanpa jejak.
“SHITTT!!!” umpat Robbie membanting pistolnya ke tanah.
saya seneng bacanya
tapi lebih suka cerita klo ada Maxi dan Nadine hehhee
sukses yaaa Thor
ada cerita yg lain kah tor , tentang Maxi atau anak" nya