Tiga orang pria bersahabat dengan seorang gadis cantik dari masa bangku SMP hingga mereka dewasa. Persahabatan yang pada akhirnya diwarnai bumbu cinta yang saling terpendam hingga akhirnya sang gadis tersebut hamil dan membuat persahabatan mereka nyaris retak.
Siapa sangka sebenarnya salah satu di antaranya mencintai seorang gadis yang sebenarnya selama ini amat sangat dekat di antara mereka.
Seiring berjalannya waktu, rasa sakit mulai terobati dengan hadirnya si pelipur lara. Hari mulai terasa bermakna namun gangguan tidak terhindarkan. Mampukah mereka meyakinkan hati gadis masing-masing, terutama gadis yang salah satunya memiliki rentang usia bahkan 'dunia' yang berbeda dengan mereka.
SKIP yang tidak suka dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Nyaris mati.
POV Bang Arma on..
Hatiku menjadi sedikit lebih tenang saat Kurowo memberi kabar bahwa kemungkinan besar anak ku adalah seorang perempuan. Sungguh rasa bahagia ini tak terkira.
Bukannya aku tidak menyukai atau tidak menginginkan bayi laki-laki tapi melihat kehidupan ku yang dulu rasanya sudah sangat membuatku trauma, bagaimana tidak.. aku di besarkan tanpa orang tua dan semua itu membuat hidupku rasanya tak terarah dan berantakan.
Kini saat aku sudah menjadi kuat dan dewasa, aku masih harus terus bertarung melawan kerasnya hidup ini.
Aku melirik Nadia yang sedang tidur pulas di mobil, istriku yang cantik ini sudah menghabiskan dua porsi nasi seafood. Nyatanya melihat istriku tenang, nyaman dan tidak rewel di sampingku adalah hal yang paling membahagiakan di dunia ini.
...
Beberapa waktu dalam perjalanan akhirnya sampai juga perjalananku hingga sampai di depan rumah asramaku.
Aku mengangkat Nadia perlahan agar istriku masih bisa tetap tertidur pulas.
:
Usai membaringkan Nadia dan memastikan istriku itu nyenyak dalam tidurnya, aku menyempatkan diri sejenak untuk membersihkan mobilku agar saat Nadia pergi bersamaku di lain hari, ia akan merasa nyaman.
Sesaat setelah aku membersihkan mobilku, aku melihat Riris berjalan gontai sesekali berhenti dan memegang sebatang pohon di tepi jalan barak asramaku.
Sebagai seorang manusia tentu aku harus memanusiakan manusia. Aku menghampirinya.
"Kamu kenapa Ris? Mau kemana malam begini? Dimana Aryo?" Tanyaku masih dalam tahap wajar.
"Aryo pergi sejak kemarin." Jawab Riris menahan rasa sakitnya.
"Bukankah Aryo sudah ambil cuti untuk fokus menemanimu melahirkan???" Tanyaku lagi.
"Iya, tapi setiap hari Aryo tidak pernah ada di rumah." Jawab Riris dan akhirnya membuatku prihatin.
"Aku antar ke kliniknya Kurowo ya..!!" Ajak ku.
Riris mengangguk dan aku membantunya untuk berjalan menuju mobilku. "Maaf ya..!!" Aku memegang tangannya, tidak ada niat apapun. Aku hanya sekedar membantu Riris atas nama kemanusiaan, tidak lebih. Riris bersandar di pelukanku dengan nafas putus sambung, ia terus meringis kesakitan.
"Abang???"
Sungguh aku terkejut melihat Nadia sudah berdiri di samping mobilku, wajahnya datar namun aku masih samar melihat gurat wajah marah disana.
"Dek, Abang mau bantu bawa Riris ke kliniknya Kurowo. Kamu mau ikut?" Tanyaku hati-hati sebab aku tau perasaan bumil ku amat sangat sensitif dan kini ada juga bumil lain di sampingku.
"Nggak, bawa saja dia." Jawabnya dan saat ini aku sedang dalam masalah besar karena Nadia nyata-nyata marah padaku.
"Aarghh.. sakiiit..!!!" Riris meremas lenganku, erat sekali dan kali ini aku tau kalau Riris tidak menipu.
"Sayang, kamu ikut saja ya..!!" Kataku karena aku juga tidak mungkin membiarkan Nadia sendirian di rumah dalam keadaan marah, mental tidak stabil dan juga hamil besar.
Nadia tidak menjawabku dan langsung masuk ke dalam rumah, istriku itu langsung mengunci pintunya rapat.
'Celaka tiga belas'
Pikiranku mulai semrawut, aku segera menghubungi piket kesatrian. "Tolong lajurkan ambulans Batalyon menuju kliniknya dokter Kurowo. Istri Letnan Aryo mau melahirkan, cepat ya..!!"
"Kenapa tidak kamu saja?? Kamu tega melihatku seperti ini Ar??? Lihat, ketubanku seperti nya mulai mengalir." Kata Riris menatap tajam ke arahku.
"Saya sudah meminta anggota lain membantumu, Ris. Maafkan saya, Nadia juga sedang tidak baik-baik saja saat ini." Jujur hatiku tidak tenang melihat Nadia marah padaku. Aku tidak bisa menutupi keresahan ku selama ini.
"Aku tau kamu cemas, tapi istrimu terlalu kekanak-kanakan, perempuan macam apa dengan sikap seperti itu??? Aku sedang kesakitan karena mau melahirkan, teganya dia hanya memikirkan egoisnya saja karena tidak ingin kamu mengantarku." Pekik Riris.
Aku pahami Riris mungkin juga emosi, tapi aku pun tidak bisa mengabaikan Nadia. "Kamu juga tidak bisa bicara begitu, wajar Nadia salah paham dan cemburu, hatinya sedang sensitif. Nadia melihat suaminya membantu wanita lain saat dirinya baru saja terbangun dari tidurnya. Bukan istri saya tidak paham dengan kejadian ini tapi saya juga salah karena tidak meminta ijinnya untuk membantumu."
"Ini tentang kemanusiaan, bukan kecemburuan."
Aku menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan. "Suami harus mengutamakan istrinya, jika membantumu malah membuat saya harus ribut dengan Nadia, lebih baik saya menghindarimu. Lagipula disini bukan hutan yang tidak ada orang lain selain saya yang bisa membantumu, kecuali kamu memang ingin saya ribut dengan Nadia..!!"
~
Ku langkahkan kakiku dengan cepat usai Riris di bawa anggota piket kesatrian menuju klinik dokter Kurowo.
"Sayang..!!" Aku mencari keberadaan Nadia yang sama sekali tidak ada jejak dan suaranya. "Dek..!!!"
Pelan-pelan aku menuju dapur karena malam itu dapurku masih menyala terang.
"Astaghfirullah.. Ya Allah Ya Rabb.." Aku terpekik, setengah mati aku kaget hingga jantungku nyaris terlepas dari raga. "Nadiaaaa..!!!!" Tangisku tak tertahan melihat Nadia bersimbah darah. Pisau masih menancap di perutnya. Aku kelabakan, kepalaku berkunang-kunang, rasanya aku mau pingsan karena dadaku terasa sesak tidak kuat melihat keadaan Nadia di depan mataku. "Ampuun Ya Allah, ampuuuunn..!!! Jangan ambil Nadia dariku..!!!" Ucapku ketakutan. Aku sampai merosot lemas, tak bisa menggambarkan hatiku saat ini.
Siapa sangka Nadia duduk kemudian bersandar santai. "Lain kali mau peluk siapa lagi??? Apa harus begitu caranya membantu????"
Mataku melotot, dua kali lebih syok melihat kelakuan istriku.
POV Bang Arma off..
.
.
.
.