Jika menurut banyak orang pernikahan yang sudah berjalan di atas lima tahun telah berhasil secara finansial, itu tidak berlaku untuk rumah tangga Rania Salsabila dan Alif Darmawangsa. Usia pernikahan mereka sudah 11 tahun, di karuniai seorang putri berusia 10 tahun dan seorang putra berusia 3 tahun. Dari luar hubungan mereka terlihat harmonis, kehidupan mereka juga terlihat cukup padahal kenyataannya hutang mereka menumpuk. Rania jarang sekali di beri nafkah suaminya dengan alasan uang gajinya sudah habis untuk cicilan motor dan kebutuhannya yang lain.
Rania bukanlah tipe gadis yang berpangku tangan, sejak awal menikah ia adalah wanita karier. Ia tidak pernah menganggur walaupun sudah memiliki anak, semua usaha rela ia lakoni untuk membantu suaminya walau kadang tidak pernah di hargai. Setiap kekecewaan ia telan sendiri, ia tidak ingin keluarganya bersedih jika tahu keadaannya. Keluarga suaminya juga tidak menyukainya karena dia anak orang miskin.
Akankah Rania dapat bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadewi Ravita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Permintaan Maaf
Rania melajukan kendaraannya di tengah padatnya lalu lintas jalanan kota. Hatinya di liputi kecemasan tiada tara, pria masa lalunya kembali hadir tanpa sengaja mengusik ketentraman jiwanya. Kehadirannya sungguh tak tepat karena sekarang dia telah menjadi milik orang lain walaupun sebentar lagi akan berpisah, ia tidak ingin ada fitnah. Apalagi pria itu masih sendiri.
"Ibu dari mana, kok pakaiannya rapi sekali?" tanya Alisa.
"Dari pengadilan Nak, ayo cepat naik kita pulang,"
Alisa segera naik di belakang ibunya, mereka segera menuju rumah.
☆☆☆
Malam harinya.
"Halo jagoan ayah, habis ini kita main kuda-kudaan ya," Alif menggendong Bintang dan menerbangkannya ke udara, membuat anak itu tertawa riang.
"Tapi nanti belikan es krim ya Yah, seperti yang om tadi beli," ucap Bintang.
"Es krim seperti apa Sayang? Om siapa?" tanya Alif.
"Es krim yang enak dan besar, om temannya ibu tadi Yah,"
Kening Alif berkerut, selama ini dia tidak tahu jika Rania punya teman seorang pria. Selama ini istrinya tidak pernah kemana-mana, hanya saat berjualan online ini saja dia sering keluar rumah.
"Nia, om siapa yang di maksud Bintang? Katanya dia membelikannya es krim?" tanya Alif penuh selidik.
"Oh, teman ku waktu sekolah dulu. Tadi tidak sengaja bertemu di Pengadilan Agama. Oh ya Mas, aku sudah mengajukan gugatan cerai. Kita tinggal menunggu saat sidang, aku harap kamu datang," jawab Rania.
"Secepat itukah, Nia? Apa kamu benar-benar ingin meninggalkan aku?"
Lutut Alif terasa lemas, kekuatan di tubuhnya seketika sirna. Dia begitu berharap tali kasih di antara mereka akan terus terikat, namun nyatanya kehilangan itu akan semakin cepat.
Rania mendekati pria yang masih berstatus sebagai suaminya itu, di pegangnya pundak pria itu untuk menguatkannya. Sebenarnya ia tidak ingin menyakiti hatinya, namun dirinya sudah tak bisa hidup seatap dengan pria itu lagi.
"Mas, kita akan bersama-sama membesarkan anak-anak. Aku tidak akan menghalangi sedikitpun jika kamu ingin bertemu mereka, mereka itu juga buah hati mu. Aku harap kamu bisa menerima keputusan ku ini dengan ikhlas, aku tidak ingin jika kita menjadi musuh karena masalah ini," ucap Rania.
"Tapi bolehkah aku tetap tinggal di sini, bersama mu dan anak-anak sampai proses perceraian itu selesai?" tanya Alif.
Rania mengangguk.
"Iya, tapi kita sudah tidak bisa tidur sekamar," jawab Rania.
Alif lega Rania masih mengizinkannya untuk tinggal, setidaknya dia masih punya kesempatan untuk terus berusaha agar istrinya membatalkan perceraian itu.
☆☆☆
Keesokan harinya.
Pagi ini Alif sudah berangkat bekerja sekalian mengantar Alisa ke sekolah. Hanya tinggal Rania yang sibuk merekap order yang masuk sembari menunggu Bintang bangun. Ia tidak menyangka omsetnya sebulan kemarin sudah mencapai 20 juta dengan keuntungan yang di dapat 30 persen dari omset. Bulan ini sepertinya omset yang ia hasilkan bisa meningkat tajam karena semakin banyak permintaan dari resellernya.
Tok... tok... tok...
"Assalamualaikum,"
"Waalaikum salam," jawab Rania.
"Ibu, Ayah, ayo silahkan masuk,"
Rania mempersilahkan mertuanya masuk, ibu mertuanya tampak melihat barang-barang dagangan Rania yang semakin banyak. Rania sudah membeli beberapa rak untuk menaruh barang dagangannya, agar terlihat rapi dan mudah di cek.
"Wah jualan kamu makin banyak saja, Nia," ucap ibu mertuanya.
"Iya Bu, alhamdulillah semakin banyak yang pesan," jawab Rania.
Mereka duduk di ruang tamu sedangkan Rania segera ke dapur untuk membuatkan mereka minuman.
"Silahkan di minum Yah, Bu. Kue nya juga di makan ini juga jualan ku, rasanya enak sekali"
"Wah enak sekali, boleh dong nanti ibu bawa pulang,"
"Iya Bu, bawa saja,"
"Sebenarnya kita datang kesini ingin berbicara serius dengan mu Nak, ini tentang pernikahan kalian,"
Ayah mertuanya berbicara dengan hati-hati dan tertata, entah apa yang ingin ia sampaikan. Rania memilih mendengarkan saja, ia tidak ingin ada keributan.
"Iya Yah, memangnya ada apa?"
"Kata Alif kamu sudah mengurus surat gugatan cerai ke pengadilan, apa kamu sudah benar-benar yakin ingin berpisah? Bagaimana dengan kedua anak kalian, nanti?" tanya ayah mertuanya.
"Iya Yah, itu benar. Maaf, tapi aku sudah tidak dapat hidup dengan Mas Alif lagi. Masalah anak-anak, kita akan mengasuhnya bersama-sama walau sudah berpisah," jawab Rania.
"Nia, ibu minta maaf jika selama ini selalu jahat pada mu, aku hanya takut kehilangan anak ku. Tapi aku sekarang sadar jika Alif tidak bisa hidup tanpa kamu, aku mohon kamu jangan tinggalkan dia. Aku janji tidak akan mengusik hidup kalian lagi," ucap ibu mertuanya.
Rania menghela napas, ia tidak menyangka ibu mertuanya mau meminta maaf kepadanya. Namun hatinya terlanjur membeku, sudah tidak ada cinta lagi untuk suaminya.
"Maaf Bu, rasa kecewa ku sudah terlalu dalam kepada Mas Alif. Jujur, aku sudah tidak punya perasaan lagi terhadap dirinya. Aku masih mengizinkannya tinggal di sini hanya karena anak-anak saja. Aku harap dia bisa segera meninggalkan rumah ini setelah kita resmi berpisah," balas Rania.
Raut wajah ibu mertuanya tampak berubah masam, sangat jelas ia tidak menyukai jawaban Rania. Padahal sebelumnya dia selalu berusaha menggoyahkan pernikahan mereka, entah mengapa bisa berubah 180 deraja dan justru tidak ingin mereka bercerai.
"Aku sangat menghargai keputusan mu, aku juga bisa mengerti perasaan mu Nia. Semoga saja masih ada keajaiban untuk pernikahan kalian, jujur rasanya berat kehilangan kalian,"
Ayah mertuanya tampak sedih, memang selama ini dia selalu baik terhadap Rania berbanding terbalik dengan istrinya yang sering menyakiti hati wanita itu. Sebenarnya Rania berat sekali, namun dia tidak ingin menjalani sisa hidupnya dengan derita yang tak bertepi.
"Maafkan Nia ya, Yah,"
Karena tidak berhasil membujuk Rania, keduanya akhirnya berpamitan. Rania berharap suaminya bisa memiliki pengganti dirinya yang cocok dengan keluarganya, terutama ibu mertuanya.
☆☆☆
Sore harinya.
Rania dan kedua anaknya telah rapi, mereka hendak jalan-jalan sore. Semenjak ia berjualan online dan mendapatkan keuntungan cukup banyak, ia kerap kali mengajak keduanya keluar walaupun hanya sekadar beli camilan atau membawa mereka naik odong-odong.
Mereka sangat menikmati kebersamaan ini, sesuatu yang menjadi mewah saat dulu masih bergantung kepada uang pemberian suaminya. Baru saja hendak berangkat ponsel Rania berdering. Nomor tidak di kenal mengiriminya pesan.
[Sore Rania, kamu sedang apa sama anak-anak?]
"Nomor siapa ini?" tanya Rania, berbicara sendiri.
Ia penasaran dan melihat foto profil orang tersebut, dia sangat terkejut ternyata Rangga yang mengirim pesan. Tiba-tiba saja hatinya berdesir, bibirnya tersenyum bagai anak SMU yang mendapat pesan cinta dari kekasihnya. Apakah Rania salah karena masih menjadi istri orang tapi senang mendapat pesan dari pria lain? Mungkin iya, tapi itulah hidup. Tidak ada kebenaran tanpa kesalahan, pun sebaliknya.