NovelToon NovelToon
Debaran Hati

Debaran Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor
Popularitas:854
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dipermalukan Di Depan Umum

Debby Arina Suteja, di usianya yang ke-32, merasakan kesunyian yang telah lama menjadi teman setianya. Pagi ini, di sebuah kafe dengan aroma kopi yang menenangkan, ia menanti Hendro Ryu Handoyo. Dua tahun kebersamaan telah menumbuhkan harapan di hatinya. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat membayangkan kehadiran kekasihnya.

Waktu berlalu perlahan, cangkir kopi di hadapannya mulai mendingin. Pintu kafe berdering, namun bukan sosok Hendro yang muncul. Seorang wanita dengan hijab lebar dan gamis panjang berdiri di hadapannya. Raut wajahnya tegang, matanya menyiratkan amarah yang membara.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, wanita itu melangkah cepat mendekati Debby. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Debby, membuatnya terhuyung kaget.

"Kau! Pelakor!" bentak wanita berhijab itu, suaranya meninggi hingga menarik perhatian beberapa pengunjung kafe.

Debby memegangi pipinya yang terasa perih. Matanya membulat, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. "A-apa maksudmu?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Jangan pura-pura bodoh! Kau merebut suamiku!" Suara wanita itu penuh dengan emosi. Air mata mulai menggenangi pelupuk matanya. "Hendro itu suamiku! Sudah dua tahun kita menikah!"

Debby terperanjat. Jantungnya berdebar kencang, seolah baru saja jatuh dari ketinggian. Selama ini, Hendro tidak pernah sekalipun menyinggung tentang pernikahan. Semua terasa palsu, ilusi yang selama ini ia nikmati seorang diri.

"Tidak mungkin..." bisik Debby lirih, menggelengkan kepalanya tak percaya. "Hendro... dia tidak pernah bilang..."

"Tentu saja dia tidak akan bilang! Kau pikir dia akan dengan mudah mengakui perselingkuhannya?" Wanita itu tertawa sinis, air matanya kini mulai menetes. "Kau hancurkan rumah tanggaku! Kau..."

Debby merasa dunianya runtuh seketika. Rasa malu, marah, dan sakit bercampur aduk menjadi satu. Ia menatap wanita di hadapannya, mencoba mencari kebohongan di matanya, namun yang ia temukan hanyalah kepedihan yang mendalam.

"Saya... saya tidak tahu," ucap Debby akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Air matanya pun mulai menetes tanpa bisa dicegah. Ia telah menjadi bagian dari sebuah kebohongan besar, tanpa menyadarinya. Penantiannya hari ini berubah menjadi kenyataan pahit yang tak pernah ia bayangkan. Cinta yang ia kira tulus, ternyata berakar pada pengkhianatan.

****

Langkah Debby terasa berat saat memasuki lobi apartemennya. Pikirannya masih berkecamuk, bayangan tamparan dan ucapan wanita berhijab itu terus berputar di benaknya. Kenyataan bahwa Hendro telah menikah selama ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Ia merasa bodoh dan tertipu.

Saat berbelok di koridor menuju unitnya, tanpa sengaja Debby bertabrakan dengan seseorang. Tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang. Seorang pria muda, diperkirakan berusia sekitar 25 tahun, berdiri di hadapannya. Ia mengenakan pakaian olahraga yang basah oleh keringat, rambutnya sedikit acak-acakan, namun memancarkan aura segar. Debby tersentak kaget, lamunannya buyar seketika.

"Maaf, Mbak. Anda tidak apa-apa?" tanya pria itu dengan nada khawatir. Suaranya terdengar ramah dan lembut di telinga Debby yang masih dipenuhi hiruk pikuk emosi.

Debby mengerjapkan matanya, menatap wajah pemuda itu. Ada ketulusan terpancar dari sorot matanya. "Ah... iya, tidak apa-apa," jawab Debby pelan, berusaha mengumpulkan kesadarannya.

Pria itu tersenyum tipis, sebuah senyum yang entah mengapa membuat jantung Debby berdebar sedikit lebih cepat. "Syukurlah. Saya Agus Setiaji," ulurnya memperkenalkan diri. Tangannya terulur dengan sopan.

Debby menerima uluran tangan itu, merasakan kehangatan jemari Agus sekilas. "Debby," jawabnya singkat.

Agus memperhatikan raut wajah Debby yang tampak murung. "Anda terlihat sedang tidak baik. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.

Debby menggeleng lemah. "Tidak, terima kasih. Saya hanya sedang tidak enak badan." Ia tidak mungkin menceritakan kejadian di kafe tadi kepada orang asing yang baru ditemuinya. Rasa malu masih terlalu kuat mencengkeramnya.

"Baiklah kalau begitu. Kalau butuh sesuatu, jangan ragu untuk memberitahu saya. Saya tinggal di unit sebelah," ujar Agus sambil menunjuk ke sebuah pintu tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Terima kasih," balas Debby lagi, mencoba tersenyum tipis.

Setelah berpamitan, Debby melanjutkan langkahnya menuju apartemennya. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Di tengah kekalutan dan rasa sakit yang mendera, interaksinya dengan Agus meninggalkan sedikit kehangatan. Wajah ramah dan perhatian tulus dari pria muda itu sejenak mengalihkan pikirannya dari kenyataan pahit yang baru saja ia alami. Sosok Agus, dengan kesederhanaan dan kebaikannya, tanpa disadari telah menorehkan kesan di benak Debby yang sedang terluka. Ia tidak menyangka, di hari yang penuh keterkejutan ini, ia akan bertemu dengan seseorang yang membuatnya merasa sedikit lebih baik.

****

Sore menjelang, bel apartemen Debby berdering. Dengan enggan, ia membuka pintu dan mendapati Hendro berdiri di hadapannya. Wajah pria itu tampak kusut, ada guratan penyesalan di sana.

"Debby, kita perlu bicara," ujar Hendro dengan suara rendah, mencoba melangkah masuk namun Debby menahannya di ambang pintu.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Hendro," jawab Debby dingin, tatapannya kosong. Rasa sakit dan malu akibat kejadian di kafe pagi tadi masih terasa begitu nyata.

"Sayang, dengarkan aku dulu. Aku dan istriku akan segera bercerai. Ini semua akan selesai," kata Hendro, berusaha meraih tangan Debby namun segera ditepis wanita itu.

"Selesai katamu? Kamu pikir semudah itu? Kamu berbohong padaku selama dua tahun! Kamu membuatku terlihat seperti wanita murahan di depan istrimu!" Nada suara Debby meninggi, emosinya mulai terpancing.

"Bukan begitu, Debby. Aku mencintaimu. Pernikahanku dengannya sudah tidak bahagia sejak lama. Aku hanya..."

"Cukup, Hendro! Aku tidak mau mendengar alasanmu lagi. Pergi!" Debby menunjuk ke arah pintu dengan tangan gemetar.

Hendro tidak menyerah. "Debby, kumohon. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya."

"Kesempatan? Kamu pikir aku tidak memberimu kesempatan selama ini? Kamu sudah mengambil semuanya dariku! Harga diri, kepercayaan... pergi!" air mata Debby mulai menetes lagi.

Pertengkaran mereka semakin sengit, suara mereka meninggi hingga terdengar ke unit-unit lain. Hendro terus berusaha membujuk Debby, sementara wanita itu tetap pada pendiriannya.

Tiba-tiba, pintu unit sebelah terbuka. Agus muncul, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan melihat keributan di depan pintu Debby.

"Ada apa ini?" tanya Agus, mendekat dengan nada khawatir.

Hendro menoleh, menatap sinis pada Agus. "Ini bukan urusanmu, anak muda."

Debby, yang merasa terpojok dan lelah berdebat, tanpa sadar melangkah mundur dan berdiri di belakang punggung Agus. Ia merasakan sedikit rasa aman berada di sana, di belakang sosok pria yang baru dikenalnya itu.

Agus menatap Hendro dengan tatapan tenang namun tegas. "Sepertinya Mbak Debby tidak ingin berbicara dengan Anda saat ini. Sebaiknya Anda pergi."

Hendro tertawa sinis. "Siapa kau berani menyuruhku pergi?"

"Saya tetangganya. Dan saya tidak suka melihat keributan di sini," jawab Agus tanpa gentar.

Debby menggenggam ujung kaus Agus dari belakang, merasa sedikit terlindungi. Kehadiran Agus entah bagaimana memberikannya keberanian untuk menghadapi Hendro.

"Pergi, Hendro. Kumohon," ucap Debby lirih dari balik punggung Agus.

****

Hendro menatap Debby dengan amarah dan kekecewaan bercampur aduk. Setelah menghela napas kasar, akhirnya ia mengalah. "Baiklah. Tapi kita belum selesai, Debby." Ucapnya sebelum berbalik dan pergi meninggalkan mereka berdua.

Setelah Hendro menghilang dari pandangan, Agus menoleh ke belakang, menatap Debby dengan tatapan lembut. "Anda baik-baik saja, Mbak?" tanyanya pelan. Debby hanya mengangguk lemah, air matanya masih belum berhenti mengalir. Kehadiran Agus di saat yang genting itu meninggalkan kesan yang mendalam di hatinya.

1
kalea rizuky
klo ortu agus gk bs nrima ywda
kalea rizuky
lanjut
Serena Muna: terima kasih kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!