Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 15
Aruna memperhatikan punggung Bagas yang masuk ke kamar tanpa sepatah kata pun. Pintu kamar menutup perlahan, tak diiringi sapaan, tak juga ajakan. Hanya sunyi.
Dalam hati, Aruna bertanya-tanya,
“Kenapa sih, Mas nggak peka? Nggak lihat apa aku kesal sejak tadi? Atau memang sudah nggak peduli lagi?”
Rasanya ada yang mengganjal, tapi terlalu lelah untuk memaksakan pertanyaan malam ini. Ia memandangi sofa di ruang tengah, lalu duduk perlahan. Tubuhnya terasa berat, bukan karena lelah fisik, tapi karena beban emosi yang menggumpal sejak makan malam itu.
Ia menatap langit-langit, menarik napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya.
“Besok aja,” pikirnya.
“Besok, dengan kepala yang lebih jernih. Aku harus bicara.”
Aruna lalu mengambil selimut tipis dari lemari kecil dekat sofa. Malam itu, ia memilih tidur di ruang tengah. Bukan karena marah tapi karena ingin memberi ruang, bagi dirinya... dan mungkin juga bagi Bagas.
___
Pukul 06.30.
Aruna membuka matanya, tanpa alarm. Sudah jadi kebiasaan. Tapi pagi ini bukan rutinitas yang membuatnya terbangun melainkan perasaan tak enak yang masih menggantung sejak semalam.
Ia bangun dari sofa di ruang tengah. Punggungnya pegal. Nafasnya berat. Dingin pagi merayap ke kulitnya, tapi lebih dingin lagi hati yang belum juga menemukan kehangatan dari suaminya sendiri.
Ia melirik pintu kamar. Sedikit terbuka. Dari dalam terdengar suara air menyala Bagas sudah bangun lebih dulu. Tapi tak ada sapaan. Tak ada tanda bahwa semalam sempat ada luka di antara mereka.
Aruna berdiri. Tak langsung masuk ke kamar. Justru melangkah ke meja kecil tempat ponselnya tergeletak.
Ada dua pesan masuk.
Pesan pertama dari Bu Marni:
"Maaf Ibu Aruna, hari ini saya nggak bisa datang. Anak saya demam tinggi sejak dini hari."
Aruna menarik napas panjang. Rumah sedang berantakan, pekerjaan menumpuk. Ia menelan kecewa itu dalam diam.
Pesan kedua, dari Raka:
"Selamat pagi, Bu Aruna. Saya langsung ke perkebunan saja ya pagi ini. Mau lihat perkembangan lahan yang kemarin kita bicarakan. Sepertinya serangannya masih menyebar ke sektor yang lain."
Ia menatap pesan itu cukup lama.
Perkebunan sayur itu memang sedang bermasalah. Dan sudah beberapa hari ini Aruna terlalu bergantung pada Raka untuk menanganinya. Sementara dia sendiri sibuk memikirkan rumah... suami... dan retak-retak halus yang makin lebar di dalam hubungan mereka.
Ini nggak bisa dibiarkan.
Hari ini ia harus ke perkebunan. Tapi sebelum itu ada yang jauh lebih penting.
Aruna menoleh ke arah kamar. Suara air dari kamar mandi masih mengalir. Ia berjalan pelan masuk kamar, duduk di tepi ranjang, menunggu.
Tak lama kemudian, suara air berhenti. Pintu kamar mandi terbuka, dan Bagas keluar dengan handuk melingkar di leher. Bajunya sudah rapi, rambutnya sedikit basah, aroma sabun masih melekat.
Pandangannya langsung jatuh pada Aruna yang duduk di tepi ranjang.
"Eh, kamu udah bangun? Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanyanya ringan, sambil mengambil jam tangan dari meja rias.
Aruna menatap suaminya dengan dahi mengerut. “Harusnya aku yang tanya. Tumben banget kamu udah mandi sepagi ini.”
Bagas memasang jam tangannya sambil menjawab singkat, “Mau meeting sama timku. Kayaknya bakal lama, kita mau bahas jadwal liputan bulan depan.”
Detik itu juga, ekspresi Aruna berubah. Ia berdiri dari duduknya, nada suaranya naik sedikit, menyimpan letupan yang sejak semalam belum tersampaikan.
“Jadi kamu lupa ya, kita semalam sepakat mau bahas masalah kita pagi ini? Tapi sekarang kamu malah mau kabur dengan alasan meeting?!”
Bagas menghentikan gerakannya sejenak. Lalu menatap Aruna dengan datar. “Aku nggak merasa ada yang perlu dibahas,” katanya pelan, tapi tajam.
Aruna tercekat. Ucapan itu seperti tamparan.
“Tidak perlu dibahas?” suaranya tercekat, hampir berbisik, “Jadi semua yang terjadi... kamu anggap biasa aja? Aku marah, kamu cuek, makan malam kita hancur, dan kamu bilang nggak ada yang perlu dibahas?”
Bagas menatap istrinya dengan wajah tanpa ekspresi. “Kamu yang terlalu bawa perasaan. Aku cuma kerja, bukan main.”
Aruna memalingkan wajah, menahan napas panjang. “Jadi aku ini cuma bagian dari rumah yang bisa kamu tinggal kapan aja ya? Bukan prioritas, bahkan bukan partner.”
Bagas sudah mengambil tasnya. “Kalau kamu masih mau bahas, nanti malam aja. Aku udah telat.”
Aruna berdiri kaku, matanya menatap tajam ke arah Bagas yang bersiap pergi begitu saja. Hatinya terasa dicekik seperti ada bara yang ditahan terlalu lama.
Saat Bagas hendak melangkah ke luar kamar, Aruna tiba-tiba maju dan merebut tas kerja suaminya dari genggaman.
“Aku bilang, kita belum selesai bicara!” serunya, lalu dengan emosi yang tak tertahan lagi, ia membanting tas itu ke lantai dengan suara keras “Brak!”
Bagas terhentak. Tatapannya tajam, tubuhnya menegang. Dalam sepersekian detik, tangannya terangkat refleks yang nyaris seperti hendak menampar.
Namun begitu melihat wajah istrinya mata Aruna yang memerah menahan air mata, dada yang naik turun karena emosi Bagas terhenti. Tangannya menggantung di udara, lalu perlahan turun kembali.
Mereka berdua terdiam.
Aruna tak bergeming. “Tampar aku kalau itu bisa bikin kamu puas... kalau itu bisa bikin kamu sadar, bahwa aku ini bukan benda yang bisa kamu tinggal seenaknya!”
Bagas menarik napas dalam, berusaha mengendalikan amarahnya. Tapi ia tidak menjawab. Ia hanya menunduk, mengambil tasnya yang sudah terjatuh, lalu berbalik dan keluar kamar tanpa sepatah kata pun.
Pintu utama tertutup dengan suara keras. Dukk.
Dan Aruna... akhirnya terduduk di lantai. Tangisnya pecah diam-diam, tanpa suara, hanya isakan yang tertahan. Ia merasa begitu asing di rumahnya sendiri di pernikahannya sendiri. Seolah tak ada lagi ruang untuknya.
Pagi itu terasa berat. Setelah Bagas pergi meninggalkan rumah tanpa kata, Aruna masih duduk di lantai ruang tengah. Matanya sembab, tapi tak ada waktu untuk berlarut dalam kesedihan.
Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya. “Aku harus kuat,” gumamnya lirih. “Aku nggak boleh hancur begini terus.”
Pelan-pelan, ia berdiri. Menatap sekeliling rumah yang kini terasa dingin dan sunyi. Ia menyibak gorden, membiarkan sinar matahari pagi masuk, seolah memohon sedikit kekuatan dari cahaya itu.
Langkahnya menuju dapur, membuat secangkir teh untuk menenangkan dirinya. Tapi sebelum sempat menyeruputnya, pikirannya melayang ke pesan singkat dari Raka lagi.
“Saya sudah ke lokasi, Bu Aruna. Lahan di sisi utara perlu penanganan cepat, mungkin jam 9 saya sudah mulai ukur.”
Aruna menatap jam dinding. Hampir pukul delapan. Ia menaruh kembali cangkir tehnya yang masih utuh.
"Masalah rumah tangga ini... akan kupikirkan nanti. Tapi kebunku... tidak bisa menunggu," bisiknya.
Ia mengganti pakaian dengan cepat kemeja kotak lengan panjang dan celana jins yang nyaman untuk lapangan. Rambutnya diikat sederhana, tanpa riasan, namun justru membuatnya terlihat lebih kuat dari biasanya.
Sambil memeriksa dokumen dan buku catatan yang diperlukan, ia mengambil kunci mobil. Sebelum keluar rumah, ia menoleh sejenak ke arah ruang tamu bekas tas yang dibanting tad.
Sekejap, luka hati itu kembali mengiris. Tapi Aruna menggeleng. Tidak hari ini.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor