Riana terpaksa menerima lamaran keluarga seorang pria beristri karena keadaan yang menghimpitnya. Sayangnya, pria yang menikahinya pun tidak menghendaki pernikahan ini. Sehingga menjadikan pria tersebut dingin nan angkuh terhadap dirinya.
Mampukah Riana tetap mencintai dan menghormati imamnya? Sedangkan sikap labil sering sama-sama mereka tunjukkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rini sya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Shock
Nana semakin kesal, sebab putra semata tak bisa dihubungi. Mau tak mau ia pun langsung pergi ke rumah sakit. Mengingat Riana juga tak memiliki jaminan untuk membayar rumah sakit Yuta.
Sudah cukup baginya merepotkan Riana. Karena ia tahu, sebenarnya tugas Riana bukanlah menjaga Yuta. Itu adalah tanggung jawab Langit sendiri. Dalam surat perjanjian mereka, Riana hanya berkewajiban membantu mereka menjaga Ara dan melayani Langit. Jadi tidak ada pasal, Riana menjadi perawat Yuta.
"Sabar, Ma. Jangan terbawa emosi. Nanti biar Papa yang ngomong sama Langit. Oiya, bawa Ara sekali. Dia pasti rindu Ria. Semalaman kayaknya nangis terus tu. Ma iya Ma iya terus yang dicari. Kayaknya Ria udah nyangkut di hati bocah itu," ucap Dayat berusaha membuat adem hati sang istri yang menurutnya sedang galau itu. Berharap, membicarakan kedekatan emosional antara baby Ara dan Riana bisa membuat sang istri tenang.
"Mama nggak salah pilih kan, Pa!" ucap Nana bangga.
"Ya, Ma. Papa percaya feeling seorang ibu lebih kuat. Semoga Yuta cepat mengerti, bahwa ini juga untuk dia, dan putrinya. Tidak semata untuk merebut suami darinya," jawab Dayat.
Nana tersenyum. Sebab ia sendiri juga bangga akan pemikirannya. Akan pilihannya. Nana tidak memaksa, tapi dia juga berharap istri pertama Langit bisa memahami pemikirannya.
Di dalam perjalanan ke rumah sakit, baby Ara begitu bahagia. Sebab ia akan bertemu dengan wanita yang ia sebut 'Ma Iya' itu. Nana, sang oma telah bercerita, bahwa saat ini mereka sedang menuju ke tempat wanita itu berada.
"Ara suka?" tanya Nana gemas. Diciumnya pipi gembul gadis cilik dan cantik serta menggemaskan ini.
"Ka, ma iya," jawabnya lugu.
"Tu, Pa. Ma iya, ma iya terus. Siapa yang ngajarin. Pasti Minah ini. Nggak mungkin kalo Ria. Ria selalu menjaga batasannya. Dia selalu memanggilkan dirinya sendiri untuk Ara, tante. La ni anak kenapa jadi manggil mama." Nana tertawa gemas. Kemudian ia pun kembali mencium pipi Ara, sambil mengigitnya gemas. Tak ayal, Ara pun tertawa. Karena geli.
"Kita belum kasih apa-apa buat mantu kita, Pa. Enaknya kasih apa ya?" tanya Nana tiba-tiba punya pikiran untuk memberi Riana hadiah.
"Biasanya wanita kan suka perhiasan. Kasih aja perhiasan, Ma," jawab Dayat singkat.
"Kamu kayak nggak tahu mantumu aja, masih ingat nggak pas kita tawarin dia mahar. Dihitung nya utang bapaknya sampai njlimet. Nggak mau lebih sama sekali. Dari situ Mama yakin jika ia mau menikahi putra kita bukan karena harta, Pa. Mama rasa memang murni ingin membebaskan orang tuanya dari hutang. Mulia sekali hati gadis itu. Semoga Langit segera sadar, bahwa dia memiliki berlian yang langka," balas Nana, wanita ini begitu antusias jika membicarakan masalah Riana. Entahlah, sepertinya Nana memang telah jatuh cinta dengan gadis baik itu.
"Iya, Ma. Mama benar. Papa juga berpikir demikian. Kalo dia nggak tulus mana mungkin Ara juga suka padanya," tambah Dayat. Mereka berdua tersenyum senang.
Tak butuh waktu lama, hanya sekitar dua puluh menit mereka berkendara, akhirnya sampai juga di rumah sakit, di mana Yuta di rawat.
Nana berjalan bersemangat. Sebab, Ara sendiri juga bersemangat. Celotehan menggemaskan bayi ini seperti menambah imun tersendiri untuk Nana. Terlebih ia bisa sedikit melupakan kesedihannya tetang penyakit menantu pertamanya. Sebenarnya Nana juga sayang sama Yuta. Hanya saja, Yuta susah diatur, sehingga membuat Nana sedikit geram.
Sesampainya di depan pintu ruang rawat Yuta, terlihat Riana sedang duduk termenung di sofa. Melihat kedua mertuanya datang, Riana pun langsung berdiri dan menyambut mereka.
Mengulurkan tangannya, mencium kedua tangan sang mertua. Lalu menyambut baby cantik yang terlihat sangat girang melihatnya.
Namun, kali ini Nana merasa aneh dengan penampilan Riana. Sebab ia memakai pakaian Minah. Nana tahu betul jika itu gamis milik Minah. Karena dia lah yang membelikannya waktu itu.
"Ria! Ngapain kamu pakai gamis Minah?" tegur Nana, sedikit tidak suka. Sebab, menurutnya, Riana adalah majikan. Tak pantas memakai pakaian asisten.
"Ria buru-buru, Ma. Baju jalan Ria belum disetrika," jawab Ria berbohong.
Nana bukalah wanita yang gampang dikelabui. Ini adalah jawaban yang mustahil menurutnya. Nana sangat tahu bagaimana rajinnya Riana di rumah itu. Mana mungkin bisa telat baju.
Nana menciutkan matanya. Berusaha mencari celah kebohongan yang dilakukan sang menantu. Ya, Nana curiga, pasti ada yang tidak beres.
Kecurigaan Nana dijawab lunas oleh tingkah menggemaskan Ara, yang tiba-tiba menarik sampai terlepas masker yang digunakan untuk menutup mulut bengkak Riana.
Spontan Nana pun diam terpaku. Bergeming tanpa kata. Hatinya teremas hancur. Kaget. Shock. Semua tercampur aduk saat ini juga.
Melihat sang mertua sudah menangkap kebohongannya, spontan Riana pun menutup mulutnya dengan satu tangannya. Sedangkan Nana tak terima. Ia pun menarik lembut tangan Riana. Meminta wanita itu menunjukkan bibirnya yang bengkak.
"Pa!" pekik Nana, sembari menahan tangis.
"Apa Ma," jawab Dayat.
"Lihat kelakuan bejat putramu," ucap Nana. Dia sudah tahu jika ini pasti ulah Langit. Nana yakin itu. Kali ini wanita paruh baya ini tak kuasa lagi membendung air matanya. Sesak yang ia rasakan sejak melihat bibir bengkak Riana akhirnya tumpah juga. Nana menangis menjadi-jadi. Sebab ia tak terima dengan apa yang terjadi pada Riana. Nana menyesal dengan kelakuan tak manusiawi sang putra.
"Astaghfirullah hal azim! Siapa yang melakukan ini, Ria?" pekik Dayat tak kalah kesal. Pria paruh baya yang menyayangi Riana seperti putrinya sendiri ini pun ikutan tak terima. Dengan cepat ia pun meminta kembali Ara, dan menyuruh sang istri memeriksa tubuh sang menantu.
"Ayo Ria! ikut Mama!" ajak Nana. Tak sabar, karena Riana menolak. Nana tak kehilangan akal. Ia pun langsung menarik tangan Riana dan membawa gadis itu ke kamar mandi.
"Cepat buka bajumu, Ria. Mama mau lihat sebejat apa suamimu?" desak Nana geram.
"Jangan Ma, sudah Ma, nggak pa-pa. Ria nggak pa-pa. Ria mohon Ma!" ucap Riana masih berusaha tidak memperpanjang masalah antara dirinya dan Langit.
"Tidak Ria, kamu jangan bodoh. Cepat buka, atau Mama sendiri yang cari tahu!" desak Nana lagi.
Tak ingin banyak berdebat, dengan kasar Nana pun membalikkan tubuh Riana. Lalu, dengan paksa, ia pun menarik resleting gamis yang Riana kenakan.
Nana kembali shock. Sebab luka yang ada ditubuh mantu kesayangannya ini tak main-main. Banyak sekali goresan-goresan bekas sabetan. Ia tahu, alat yang digunakan Langit pasti ikat pinggang. Tidak lain.
Tak sampai di situ, sebab Nana yakin Luka Riana pasti masih banyak. Pelan namun pasti, Nana pun kembali membujuk Riana untuk mengizinkannya melihat luka-luka yang ada di tubuhnya.
Kali ini, Riana tak menolak. Ia pun membiarkan sang ibu mertua membuka seluruh pakaiannya. Hanya meninggalkan dalamnya saja.
Lagi-lagi Nana terkejut. Sebab luka yang diderita sang menantu sangat tidak manusiawi. Begitu banyak bekas sabetan ikat pinggang itu. Belum lagi luka gigitan di lengan kanan kiri Riana. Nana hanya bisa tertegun. Tak tahu harus berkata apa. Namun, hatinya mengutuk perbuatan bejat sang putra. Niat untuk membuat Langit jera pun hadir. Nana tidak akan tinggal diam. Nana berjanji.
Bersambung...
Jangan lupa like komen dan votenya... biar aku rajin update🥰🥰🥰
msh merasa paling tersakiti