Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
“Sumpah … tadi itu gerak-gerik ibu Aira benar-benar aneh banget … kayak … kayak nggak biasanya aja. Aku tahu selama dua minggu ini dia ngerubah sifatnya ke aku … tapi hari ini benar-benar beda … kayak dia lagi nyembunyiin sesuatu. Bukan ke aku aja … tapi ke semua mahasiswa serta mahasiswinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku jadi khawatir sama gelisah kayak gini? Apa ini ada hubungannya sama mimpiku tadi pagi?”
Azka menggigit bibir bawahnya cukup kencang, kala terus-menerus mengingat tentang gerak-gerik yang telah ditunjukkan oleh Aira selama berada di dalam kelas beberapa puluh menit lalu. Ia tanpa sadar menghentikan gerakan jari-jemarinya yang sedang menekan tuts piano, membuat Rhea yang sedang asyik bernyanyi refleks mengerutkan kening dan segera menoleh ke arahnya.
Rhea menghentikan aktivitasnya, kemudian sesegera mungkin memberikan melambai-lambaikan tangan di depan wajah Azka, sebelum menepuk pelan pundak sang sahabat saat tidak mendapatkan respons sama sekali.
Merasakan tepukan itu, membuat Azka spontan melebarkan mata sempurna dengan tubuh menegang seketika. Ia sesegera mungkin tersadar kembali ke dunia nyata, mengedipkan mata beberapa kali, sebelum pada akhirnya mengalihkan pandangan ke arah kiri—membalas tatapan yang sedang diberikan oleh Rhea dengan menunjukkan ekspresi penuh kebingungan.
“Hah? Ada apaan, Rhe?” tanya Azka, seraya mengedipkan mata beberapa kali.
“Idi ipi, Rhi.” Rhea menghela napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala pelan saat mendengar pertanyaan itu, lantas tanpa aba-aba segera menangkup wajah tampan sang sahabat menggunakan kedua tangan. “Lu yang ada apa? Kenapa ngelamun terus, dah? Lagi ada masalah, kah? Kalau iya … cerita, Az … jangan dipendam sendirian terus … nanti lu malah sakit sendiri. Paham nggak, sih … lu itu punya gue sama anak-anak yang lain … yang bisa lu percaya dan andalin. Jadi, please, lah … jangan kayak gini. Jangan nutupi semuanya sendiri.”
Mendengar ucapan Rhea, membuat Azka spontan menelan air liur dengan sangat susah payah. Tatapannya terlihat sedikit goyah, seolah semua benteng yang telah dirinya berusaha buat mendadak runtuh begitu saja hanya karena satu kalimat sederhana dari sahabat baiknya itu.
“Gue … nggak papa, Rhe,” jawab Azka dengan begitu sangat pelan, suaranya terdengar begitu dipaksakan, membuat sang sahabat refleks mengembuskan napas panjang.
“Azka Elza Argantara,” panggil Rhea dengan nada tegas yang sangat jarang untuk dirinya gunakan, “Lu pikir gue buta apa? Lu pikir gue nggak bisa bedain lu yang normal sama yang lagi mikirin sesuatu sampai kau pecah kepala? Please, deh … gue sama lu itu udah sahabatan hampir sepuluh tahun. Gue tahu banget kalau lu lagi pura-pura kuat kayak gini.”
Azka sontak terdiam seribu bahasa saat mendengar penjelasan dari Rhea. Ia menggigit bagian dalam bibir bawahnya cukup kencang dengan jari-jemarinya yang tadi berada di atas tuts piano turun secara perlahan-lahan—terdiam kemas di atas pangkuan.
Rhea mendekatkan wajah mereka berdua, merubah tatapan menjadi begitu sangat lembut, sebelum kembali membuka suara. “Az … cerita. Bahkan kalau lu cuma mau ngeluh aja … gue bakalan dengerin. Jangan bikin diri lu sendiri ngerasa cape.”
Seketika suasana berubah menjadi sangat hening setelah Rhea mengatakan hal itu. Azka terus-menerus diam sambil membalas tatapan yang sedang diberikan oleh sahabatnya itu—seolah sedang menimbang-nimbang akankan memberitahukan tentang semua mimpi yang tadi pagi dirinya alami atau tidak.
Detik demi detik berlalu, Azka pelan-pelan mulai membuka mulut, tetapi itu tidak berlangsung lama, karena dirinya segera mengalihkan pandangan ke arah belakang saat tiba-tiba saja mendengar suara pintu masuk studio musik sedang dibuka oleh seseorang dari luar.
Dari tempatnya berada sekarang, Azka dapat melihat sosok Livia, Gavin, Darren, dan Niko sedang melangkahkan kaki mendekati tempat dirinya bersama Rhea.
“Waduh, waduh, waduh … mentang-mentang cuma berduaan doang … kalian mau jadiin studio ini jadi tempat mesum?” tanya Gavin, berkacak pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepala penuh dramatis saat melihat wajah Azka dan Rhea yang begitu sangat dekat—hampir seperti orang ingin berciuman.
Mendengar hal itu, Rhea segera melepaskan serta menjauhkan wajahnya dari Azka, lantas tanpa aba-aba mengambil bantal sofa yang sedang menutupi tubuh bagian bawahnya, kemudian tanpa mengatakan apa-apa segera melemparkannya ke arah tempat Gavin berada.
“Stop punya pikiran ngeres!” seru Rhea, setelah lemparannya berhasil mengenai wajah Gavin.
Gavin spontan mengerang penuh kesakitan sambil mengusap-usap lembut wajah tampannya yang baru saja terkena lemparan bantal dari Rhea. Ia mengerucutkan bibirnya, lalu menatap ke arah salah satu sahabat baiknya itu dengan menunjukkan ekspresi imut yang dirinya buat-buat. “Rhe, jahat banget, sih, lu … gue, kan, cuma bercanda aja.”
“Candaan lu nggak ada lucu-lucunya,” jawab Rhea, sembari mengalihkan pandangan ke arah Livia yang sudah duduk di atas sofa, “Tugas lu udah selesai, Liv?”
Livia menyandarkan punggung ke sandaran sofa sambil menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kirinya. “Aman, udah semua. By the way, lagi ada apa? Gue lihat kalian berdua habis ngobrolin sesuatu yang penting?”
Rhea terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan yang telah dilontarkan oleh Livia. Ia mengalihkan pandangan ke arah tempat Gavin yang saat ini sedang diledek oleh Darren dan Niko, sebelum menatap kembali ke arah Azka yang saat ini sedang melihat ke arah luar—seolah tengah berusaha menyembunyikan sangat dalam masalah yang sedang dia hadapi sekarang.
“Nggak ada apa-apa, kok … gue cuma habis ngasih nasihat aja ke Azka.” Rhea bergerak menggenggam tangan Azka yang berada di atas pangkuan, memberikan elusan lembut di sana—seakan sedang berusaha memberikan ketenangan melalui sentuhananya itu—sebelum kembali membuka suara. “By the way, karena semuanya udah kumpul … Gimana kalau kita latihan? Sambil gue mau bikin konten.”
Darren menganggukkan kepala cepat, lalu sedikit meregangkan otot-otot tubuhnya. “Gas, lah. Mumpung gue juga lagi mood banget buat nge-band. Nik, lu set semua kameranya, kan, kemarin?”
Niko mengangguk pelan sambil mengangkat kedua ibu jarinya dengan penuh percaya diri. “Aman. Semuanya udah gue set dengan baik. Kita bisa langsung pakai.”
Rhea mengukir senyuman manis, bangun dari tempat duduk sambil merapikan rok pendek yang sedari dirinya kenakan sekarang. “Oke, semua ke posisi. Az, lu tetap di piano, ya … gue mau take satu lagu dulu buat konten tambahan.”
Azka hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, meskipun pikirannya masihlah terus tertuju pada Aira. Ia berubah memasang ekspresi senormal mungkin dengan tangannya mulai kembali menyentuh tuts piano, mencoba memaksakan diri untuk berfokus pada nada-nada yang akan dimainkan.
Rhea berdiri di depan mic, menarik napas panjang sebelum menatap ke arah Azka. “Siap?”
“Siap,” jawab Azka, meski suaranya terdengar agak ragu.
Musik secara perlahan mulai mengalun. Rhea mulai bernyanyi, suaranya lembut—harmonis dengan permainan piano Azka. Gavin, Darren, dan Livia memperhatikan sambil sesekali tertawa kecil melihat tingkah Niko yang terlalu bersemangat menjadi kameramen.
Akan tetapi, jauh di dalam hati, Azka tetap tidak tenang. Setiap kali jari-jemarinya menyentuh tuts, bayangan Aira yang tergesa-gesa meninggalkan kelas itu terus muncul—membuat dadanya terasa semakin sesak.
“Ibu Aira … sebenernya kenapa?”
Pertanyaan itu kembali berputar-putar di dalam kepalanya, seolah menolak untuk pergi.