Ongoing
Feng Niu dan Ji Chen menikah dalam pernikahan tanpa cinta. Di balik kemewahan dan senyum palsu, mereka menghadapi konflik, pengkhianatan, dan luka yang tak terucapkan. Kehadiran anak mereka, Xiao Fan, semakin memperumit hubungan yang penuh ketegangan.
Saat Feng Niu tergoda oleh pria lain dan Ji Chen diam-diam menanggung sakit hatinya, dunia mereka mulai runtuh oleh perselingkuhan, kebohongan, dan skandal yang mengancam reputasi keluarga. Namun waktu memberi kesempatan kedua: sebuah kesadaran, perubahan, dan perlahan muncul cinta yang hangat di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Malam hari Jam menunjukkan 21.42 ketika Feng Niu berdiri di depan cermin kamar, menyemprotkan parfum tipis di pergelangan tangannya. Gaun hitam sederhana membalut tubuhnya tidak berlebihan, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak berniat tinggal di rumah malam ini.
Ji Chen berdiri di dekat pintu. “Kau mau ke mana?” tanyanya. Nada suaranya datar, tapi matanya memperhatikan setiap gerak Feng Niu. “Keluar,” jawab Feng Niu singkat. Ia meraih tas kecilnya. “Jam segini?”
Feng Niu menoleh, senyum tipis tersungging. “Aku perlu udara.” Ji Chen tidak langsung menjawab. “Xiao Fan demam kemarin,” katanya akhirnya. “Tidurnya belum stabil.”
“Ada kamu,” balas Feng Niu. “Itu sudah cukup, kan?” Kata-kata itu meluncur ringan, seolah tidak membawa beban apa pun. Ji Chen mengangguk pelan. “Pulang jam berapa?” Feng Niu sudah membuka pintu. “Tidak tahu.” Pintu tertutup. Bunyi klik-nya terdengar lebih keras dari seharusnya.
22.15
Ji Chen duduk di sofa ruang keluarga, laptop terbuka tapi layar gelap. Pikirannya tidak fokus. Ia menoleh ke arah kamar Xiao Fan. Anak itu tertidur, tapi napasnya tidak teratur.
Ji Chen bangkit, mengecek suhu tubuh Xiao Fan. Hangat tidak tinggi, tapi cukup membuatnya waspada. Ia duduk di samping ranjang, menunggu.
23.48
Ponsel Ji Chen menyala. Pesan dari Feng Niu.
FN : Jangan tunggu aku.
Tidak ada emoji. Tidak ada penjelasan. Ji Chen menatap layar lama. Ia mengetik, lalu menghapus. Mengetik lagi.
JC : Kau baik-baik saja?
Pesan itu terbaca tidak dibalas. 01.06 Sabtu dini hari Xiao Fan terbangun dengan tangis kecil. Ji Chen langsung menggendongnya. “Ayah…”
“Iya, Nak.”
“Mama belum pulang?” Pertanyaan itu datang pelan, ragu, seperti anak yang sudah tahu jawabannya tapi tetap berharap salah. Ji Chen menelan ludah. “Belum.”
Xiao Fan menunduk, wajahnya menempel di dada ayahnya. “Oh…” Tidak ada tangis keras. Hanya suara napas yang sedikit bergetar.
02.30
Ji Chen mencoba menelepon. Panggilan pertama tidak diangkat. Kedua—langsung voicemail. Ketiga—ponsel tidak aktif.
Ia menatap layar. Ada rasa yang mulai merayap bukan marah, bukan cemburu. Takut. Bukan takut Feng Niu selingkuh. Tapi takut sesuatu terjadi.
Ji Chen duduk di ruang tamu, lampu hanya satu yang menyala. Xiao Fan tertidur di pangkuannya. Pintu tetap terkunci. Tidak ada suara mobil. Ia memeriksa ponsel lagi. Tidak ada pesan.
05.20
Langit mulai memucat. Ji Chen belum tidur. Ia menyiapkan sarapan sederhana untuk Xiao Fan bubur hangat, teh chamomile. Tangannya bergerak otomatis. Kepalanya berat.
Xiao Fan bangun. “Mama pulang?” tanyanya langsung.
Ji Chen menggeleng pelan. “Belum.” Xiao Fan terdiam. Lalu berkata, sangat pelan, “Mama tidak suka rumah ini.”
Ji Chen berhenti mengaduk bubur. “Kau kenapa berpikir begitu?” Xiao Fan mengangkat bahu kecilnya. “Mama selalu pergi.” Kata-kata polos itu terasa seperti palu.
Ji Chen menelepon Qin Mo.n“Kau bersama Feng Niu?” tanyanya tanpa basa-basi. Qin Mo tertawa kecil di seberang. “Tenang saja. Dia dewasa.”
“Di mana dia?”
“Entahlah. Mungkin butuh waktu sendiri.” Ji Chen menutup telepon tanpa pamit.
siangnya. pintu rumah akhirnya terbuka. Feng Niu masuk, mengenakan jaket tipis. Wajahnya segar terlalu segar untuk seseorang yang tidak pulang semalaman. Ji Chen berdiri. “Di mana kau?” suaranya rendah. Feng Niu melepas sepatu. “Kenapa?”
“Jam berapa sekarang?” Ji Chen menahan nada. Feng Niu melirik jam. “Hampir dua belas.”
“Kau pergi semalaman.”
“Dan?” Feng Niu menoleh, alisnya terangkat. “Aku tidak minta izin.” Ji Chen menahan napas. “Xiao Fan mencarimu.” Feng Niu mendengus. “Dia harus belajar.”
“Belajar apa?”
“Belajar bahwa ibunya bukan miliknya.”
Kalimat itu menghantam. Ji Chen tidak berteriak. Ia hanya berkata, pelan tapi jelas, “Dia baru tiga tahun.” Feng Niu melewati Ji Chen, menuju kamar.
Di ruang makan, Xiao Fan duduk. Ia melihat Feng Niu. “Mama…” panggilnya ragu. Feng Niu berhenti sejenak. “Ya?”
“Kamu pulang…” Nada Xiao Fan bukan senang. Lebih seperti memastikan. Feng Niu mengangguk singkat. “Iya.” Xiao Fan turun dari kursinya, mendekat dua langkah lalu berhenti. Ia tidak memeluk. Tidak menyentuh. Ia hanya berdiri, lalu berkata, “Aku tadi takut.” Keheningan jatuh.
Feng Niu menatap anak itu beberapa detik. “Takut itu biasa,” katanya akhirnya. “Jangan manja.” Xiao Fan mengangguk. Ia kembali ke kursinya. Lebih diam dari sebelumnya.
Siang itu Xiao Fan tertidur di sofa, kelelahan.Ji Chen duduk di lantai, menyandarkan punggung ke sofa. Feng Niu keluar kamar, sudah berganti pakaian. “Kau mau ke mana lagi?” tanya Ji Chen tanpa menoleh. “Keluar,” jawab Feng Niu.
“Kau baru pulang.”
“Dan?”
Ji Chen berdiri. “Kau menghilang semalaman. Anakmu takut. Aku takut.” Feng Niu tertawa pendek. “Kau terlalu berlebihan.”
“Aku ayahnya.”
“Dan aku ibunya,” balas Feng Niu cepat. “Tapi itu tidak berarti aku harus terikat di rumah.”
Ji Chen menatapnya. “Tidak,” katanya pelan. “Tapi itu berarti kau punya tanggung jawab.” Wajah Feng Niu mengeras. “Jangan ceramahi aku.”
Ia pergi lagi. Pintu tertutup. Untuk kedua kalinya dalam satu hari. Ji Chen menatap pintu itu lama. Lalu menoleh ke arah Xiao Fan yang tidur dengan wajah pucat. Saat itu, untuk pertama kalinya sejak menikah. ia berpikir serius tentang satu hal: Jika ini terus berlanjut, siapa yang akan lebih dulu hancur? Istrinya. Atau anaknya. Dan pertanyaan itu tidak lagi punya jawaban yang aman.