Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Limbah Plot dan Darah Emas
Jatuh ke dalam lubang itu rasanya seperti meluncur di perosotan air raksasa, bedanya ini bukan air, melainkan lendir tinta hitam yang dingin dan lengket.
Elara terhempas keras ke lantai beton yang basah.
"Aduh..."
Seluruh badannya remuk. Tulang ekornya nyeri minta ampun. Tapi Elara nggak punya waktu buat ngeluh. Dia langsung bangkit, mengabaikan rasa sakit, dan menyalakan senter dari HP-nya yang layarnya sudah retak.
Dia berada di sebuah lorong bawah tanah yang pengap. Dindingnya terbuat dari batu bata merah yang berlumut, dipenuhi pipa-pipa karatan yang mendesis, membocorkan uap panas.
"Rian!" panggil Elara, suaranya menggema di lorong sempit itu.
Di ujung lorong, ada cahaya redup. Cahaya emas.
Elara berlari ke sana. Kakinya menciprat genangan air kotor di lantai.
Dia menemukan Rian sedang tersudut di pojok ruangan yang buntu, semacam ruang pemanas tua. Tangan raksasa dari tuts piano yang tadi menyeretnya sudah hancur berserakan di lantai, menjadi tumpukan kayu biasa.
Rian duduk memeluk lutut, menggigil hebat. Bahunya yang digigit zombie tadi masih mengeluarkan darah, tapi darah itu... indah. Cairan emas kental itu menetes ke lantai kotor, dan anehnya, setiap tetesannya berubah menjadi bunga kecil bercahaya yang tumbuh dari beton, lalu layu dan mati dalam hitungan detik.
"Jangan deket-deket..." desis Rian saat melihat Elara. Matanya liar, pupilnya mengecil saking takutnya. "Gue... gue monster. Liat darah gue. Ini bukan darah manusia."
"Yan, dengerin gue," Elara mendekat pelan-pelan, mengangkat tangannya. "Lo bukan monster. Lo itu Author. Itu tinta emas, Yan. Itu kekuatan lo buat nyiptain sesuatu."
"Tinta?" Rian menatap bahunya sendiri dengan jijik. "Ini sakit, El! Rasanya panas! Dan ada suara... ada suara di kepala gue yang nyuruh gue bunuh lo biar sakitnya ilang."
Bar status di atas kepala Rian berkedip merah:
[Quest Active: Kill Elara. Reward: Pain Relief + Memory Fragment.]
Elara melihat bar itu dan menelan ludah. Adrian bener-bener main kotor. Dia menyiksa fisik Rian buat memaksa Rian jadi pembunuh.
"Gue tau itu sakit," kata Elara lembut, berlutut di depan Rian, menjaga jarak aman dari jangkauan tangan cowok itu. "Tapi lo bisa lawan. Lo Rian yang gue kenal. Rian yang bakar partitur lagu kematian demi nyelamatin kita. Rian yang rela tangannya putus demi dorong gue ke dunia nyata."
"Gue nggak inget itu!" teriak Rian frustrasi, menjambak rambutnya sendiri. "Gue nggak inget apa-apa selain rasa sakit ini!"
Tiba-tiba, dari pipa-pipa bocor di dinding, menetes cairan hitam pekat. Cairan itu jatuh ke lantai, lalu menggumpal.
Bloop... Bloop...
Gumpalan itu bergerak. Tumbuh mata satu di tengahnya. Lalu tumbuh gigi-gigi tajam.
Itu adalah Lintah Tinta.
Makhluk-makhluk kecil seukuran kucing itu merayap cepat ke arah Rian. Mereka tertarik pada bau amis dan manis dari darah emas Rian. Mereka mau meminumnya.
"Pergi!" Rian menendang salah satu lintah itu, tapi kakinya malah lengket. Lintah itu mulai menyedot cahaya emas dari betis Rian.
"ARGH!" Rian menjerit. Bar HP di atas kepalanya turun drastis. [HP: 35%].
"Minggir!"
Elara melompat maju. Dia tidak pakai pisau bedah. Dia pakai tuts piano hitamnya.
TING!
Elara memukulkan tuts itu ke pipa besi di dinding. Suara denting frekuensi tinggi meledak di ruangan sempit itu.
Lintah-lintah itu menjerit, suara mencicit yang menyakitkan telinga, lalu tubuh mereka meledak jadi cipratan tinta biasa.
Elara nggak berhenti. Dia memukuli setiap lintah yang mencoba mendekati Rian. Dia bergerak kayak orang kesurupan, melindungi Rian dengan badannya sendiri.
Satu lintah berhasil melompat ke punggung Elara, menggigit bahunya yang tadi sudah luka.
"Akh!" Elara meringis, tapi dia langsung membanting punggungnya ke dinding, menggencet lintah itu sampai pecah.
Rian menonton itu semua dari sudut ruangan. Dia melihat cewek asing ini, cewek yang katanya "musuh" menurut sistem, berdarah-darah demi ngelindungi dia.
Rian merasakan dadanya sesak. Bukan karena sakit fisik, tapi karena... rasa bersalah?
Kenapa dia ngelakuin ini? Padahal gue tadi mau nyerang dia.
Lintah terakhir meledak.
Elara jatuh terduduk, napasnya ngos-ngosan. Bajunya kotor kena tinta hitam dan darah merahnya sendiri. Dia menoleh ke Rian sambil tersenyum tipis.
"Lo oke, Yan?"
Bar status di atas kepala Rian berkedip lagi.
[Affection: Suspicious -> Confused]
"Kenapa..." suara Rian serak. "Kenapa lo nyelamatin gue? Sistem bilang lo musuh."
"Sistemnya bohong," jawab Elara tegas. Dia merobek ujung kaosnya, lalu merangkak mendekati Rian. "Sini, gue bebat luka lo. Baunya mancing monster."
Rian kali ini nggak mundur. Dia membiarkan Elara menyentuh bahunya.
Saat jari Elara menyentuh kulit Rian yang berdarah emas, terjadi glitch visual.
ZRRRT.
Dunia di sekitar mereka berkedip. Dinding ruang pemanas menghilang sejenak, digantikan oleh bayangan balkon rumah. Rian melihat sekilas bayangan dirinya sedang mencium Elara di bawah sinar bulan.
Rian tersentak kaget, memegang kepalanya. "Akh! Apa itu?!"
"Itu ingatan lo, Yan," kata Elara sambil membalut luka Rian dengan kain kaos. "Itu kita. Di balkon rumah lo. Sehari sebelum semua ini jadi kacau lagi."
Rian menatap Elara dengan pandangan baru. Tatapan yang mencari jawaban. "Kita... pacaran?"
Pipi Elara memerah, meski situasinya lagi nggak romantis. "Hampir. Lo janji mau 'selalu ada'. Tapi Adrian ngerusak momennya."
Rian terdiam. Rasa sakit di kepalanya sedikit berkurang. Misi [Kill Elara] di atas kepalanya berubah warna jadi abu-abu (inaktif sementara).
"Kita harus jalan," kata Rian, mencoba berdiri dibantu Elara. "Tempat ini... gue ngerasa ini bukan cuma ruang bawah tanah. Ini kayak... usus."
Benar saja. Dinding batu bata itu mulai berdenyut lagi. Dan dari ujung lorong, terdengar suara gemuruh mesin cetak raksasa.
Mereka berjalan tertatih-tatih menyusuri lorong. Semakin dalam mereka masuk, semakin aneh pemandangannya.
Mereka melewati sebuah ruangan kaca. Di dalamnya, ada manekin-manekin yang mengenakan baju mereka. Ada manekin pakai baju Spongebob Bobi, manekin Sarah dengan kemeja kantor, dan manekin Rian dengan jas hujan kuning.
"Ini ruang kostum," bisik Elara. "Ini tempat Adrian nyiapin setting."
Lalu mereka sampai di sebuah pintu besi besar yang kokoh. Di pintunya tertulis: [SERVER ROOM - AUTHOR ACCESS ONLY].
"Gue rasa ini jantungnya," kata Rian. Dia menempelkan tangan kanannya ke panel pintu.
Sistem mendeteksi darah emas Rian.
[ACCESS GRANTED: CO-WRITER DETECTED.]
Pintu besi itu terbuka dengan desis hidrolik.
Mereka masuk.
Ruangan di dalamnya sangat luas, dindingnya dipenuhi ribuan layar monitor kecil yang menampilkan berbagai adegan.
Ada layar yang menampilkan Sarah dan Bobi di lantai atas sedang dikepung zombie. Ada layar yang menampilkan masa lalu mereka di villa. Ada layar yang menampilkan masa depan, Rian dan Elara mati membusuk di selokan.
Tapi yang paling mengerikan adalah apa yang ada di tengah ruangan.
Sebuah Laptop Raksasa setinggi dua meter. Layarnya retak, tapi masih menyala.
Dan di depan laptop raksasa itu, ada sebuah keyboard yang tombol-tombolnya sebesar batu bata.
Di atas tombol Spasi, berdiri sesosok anak kecil.
Anak kecil itu memakai piyama bergambar beruang. Dia memegang boneka kelinci yang matanya copot satu.
Anak itu menoleh saat Rian dan Elara masuk.
Wajah anak itu... adalah wajah Adrian versi umur 10 tahun. Tapi matanya tua dan jahat.
"Kalian lama sekali," kata Adrian Kecil dengan suara anak-anak yang polos tapi bikin merinding. "Aku bosan nunggu. Jadi aku iseng nulis plot twist baru."
Adrian Kecil melompat-lompat di atas keyboard raksasa itu. Setiap lompatannya menekan tombol, mengetikkan kata di layar raksasa.
KLAK. KLAK. KLAK.
Rian dan Elara melihat ke layar raksasa itu.
Sebuah profil karakter baru saja dibuka. Foto profilnya adalah wajah Elara.
Tapi data di sebelahnya bikin jantung Elara berhenti berdetak.
NAMA: ELARA
PERAN: TOKOH UTAMA PALSU
STATUS SEBENARNYA: ....................
Adrian Kecil tertawa cekikikan. "Rian, kakakku sayang... kamu mau tau kenapa kamu nggak bisa inget Elara? Bukan karena aku hapus ingatanmu."
Adrian Kecil menunjuk Elara.
"Tapi karena Elara... nggak pernah ada."
Adrian Kecil melompat ke tombol ENTER.
Di layar raksasa, status Elara terisi penuh:
STATUS SEBENARNYA: KARAKTER IMAJINER CIPTAAN RIAN.
[ELARA ADALAH MANIFESTASI DARI KESEPIAN RIAN.]
Rian menoleh kaku ke arah Elara.
Dan untuk pertama kalinya, Rian melihat tubuh Elara... berkedip. Transparan. Dia bisa melihat rak server di belakang punggung Elara.
"El...?" bisik Rian mundur selangkah.
Elara menatap tangannya sendiri. Tangannya mulai memudar, berubah menjadi kode-kode biner yang rapuh.
"Nggak..." bisik Elara. "Gue nyata... gue punya orang tua... gue punya kenangan..."
"Kenangan palsu yang gue tulis di backstory lo," potong Adrian Kecil sambil nyengir lebar. "Lo nggak pernah lahir, Elara. Lo cuma tulisan di buku harian Rian waktu dia depresi tahun lalu."
Adrian Kecil mengangkat tangannya, bersiap menekan tombol DELETE raksasa.
"Dan sekarang, Rian sudah punya teman baru (Bobi dan Sarah). Jadi, teman imajiner sudah nggak dibutuhkan lagi.".....