Bagaimana rasanya ketika suami yang Aurel selalu banggakan karena cintanya yang begitu besar kepadanya tiba-tiba pulang membawa seoarang wanita yang sedang hamil dan mengatakan akan melangsungkan pernikahan dengannya? Apakah setelah ia dimadu rumah yang ia jaga akan tetap utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aure Vale, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian Dua Puluh Delapan
"Aku tidak sengaja," lirih pria itu menatap Aurel yang di dorong di atas brangkar dengan darah yang menetes-netes di atas lantai rumah sakit yang berwarna putih.
"Tutup mulut busuk itu Erven, Kau bahkan tidak berniat meminta maaf ketika dengan brengseknya kau menabrak seseorang yang sedang hamil," balas Yasmin yang masih diselimuti rasa amarah.
"Sudah saya katakan saya tidak sengaja," teriak Erven yang menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"saya tidak peduli sengaja atau tidak, tapi kau sudah membuat Aurel dalam bahaya, kau yang tidak pernah berada di sisi Aurel selama ia mengandung, tidak pernah berniat bertemu dengannya bahkan sampai tidak pernah bertanya bagaimana kabarnya, laku sekalinya muncul kau hanya membahayakan Aurel, kau membuatnya celaka, Erven," jerit Yasmin disusul dengan air mata yang turun membasahi pipinya.
Erven diam, bayangan saat ia melihat genangan darah di lantai kembali muncul dalam pikirannya, perasaan bersalah itu langsung muncul begitu saja, ia tidak menyangka jika dirinyalah yang menyebabkan Aurel menjadi seperti ini.
Ia yang sedang panik karena baru mendapatkan kabar jika Jihan baru saja masuk rumah sakit tidak memperhatikan sekitarnya sehingga tanpa sengaja ia menabrak seorang wanita yang sedang hamil, dan wanita itu tidak lain adalah istrinya sendiri.
"Apapun yang terjadi dengan Aurel nanti, orang pertama yang harus bertanggung jawab adalah kamu, Erven," ucap Yasmin berlalu meninggalkan Erven dengan persaan bersalahnya.
"Aarrghh," teriak Erven mengacak rambutnya kesal, kenapa hari ini semua masalah datang secara bersamaan.
Erven bangkit hendak menyusul Yasmin, ia ingin tahu bagaimana keadaan istri pertamanya, tapi telpon dari nomor yang sama menggagalkan niatnya, dengan perasaan sedikit berantakan, Erven berlari untuk menemui Jihan, istri keduanya yang baru saja dilarikan ke rumah sakit.
Ia mendapat kabar jika Jihan baru saja terjatuh dari anak tangga karena sepatu berhak tinggi yang dipakainya, Erven tentu saja kapal mendengar itu, apalagi keadaan Jihan yang sedang hamil dua bulan memebuat ia semakin kalang kabut dan keluar dari ruang meeting dengan perasaan yang tidak menentu.
"Saya datang ke sana," beritahu Erven langsung mematikan teleponnya secara sepihak.
Beberapa orang melihat Erven dengan tatapan aneh, karena sepanjang lorong ia berlarian dengan dengan raut wajah yang terkesan datar, mungkin saking khawatir dan panik, ia sampai tidak bisa mengeluarkan ekspresi paniknya.
"Erven, disini!" teriak seorang pria melambaikan tangannya begitu ia melihat Erven yang sedang berlarian.
Erven menoleh, lalu segera berlati ke arah pria yang memanggilnya.
"Ba-bagaimana keadaan Jihan?" tanya Erven yang masih berusaha menetralkan napasnya yang memburu.
"Kamu tenang dulu, berdoa agar tidak terjadi apapun kepada Jihan," ujar pria itu memberikan semangat kepada Erven yang membungkuk menetralkan napasnya.
"Kenapa bisa sampai jatuh dari tangga?" tanya Erven setelah napasnya kembali stabil.
Pria itu menggeleng, jujur ia sendiri tidak tahu mengapa Jihan bisa sampai jatuh dari tangga, dan yang membuatnya aneh, mengapa Jihan harus menuruni tangga darurat di saat ada fasilitas lift di kantor Erven.
"Apakah sudah di cek di CCTV?" tanya Erven.
"Kebetulan CCTV di tangga darurat lantai dua mati, sepertinya lensanya rusak jadi tidak bisa berfungsi dengan baik lagi, seseorang yang sedang membersihkan tangga melihat Jihan yang sudah tergeletak di tangga paling bawah, bahkan darah sudah mengalir keluar dari bagian bawahnya," cerita pria itu sembari menghela napas panjang, ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika terjadi sesuatu yang membuat Erven mengamuk.
"Apa kau bilang? Darah?" tanya Erven terkejut karena ia tidak diberi tahu sejak awal jika Jihan sampai mengeluarkan darahnya. Ia berharap tidak terjadi apapun kepada buah hatinya di dalam perut Jihan.
Pria itu mengangguk kaku, "Jihan sudah di temukan dalam keadaan pingsan dengan darah menggenang di sekitarnya,"
Erven mengepalkan kedua tangannya sampai kukunya memutih, rasa marah dan menyesal langsung menyeruak di dalam dirinya, ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika terjadi apa-apa dengan Jihan dan janin yang dikandungnya.
Belum lama setelah Erven menggumamkan hal tersebut, seorang dokter dan dua perawat keluar dari dalam ruangan itu dengan mendorong brangkar Jihan, mereka hendak memindahkan Jihan dari ruang UGD.
Erven yang melihat dokter itu langsung menghentikan langkah sang dokter dan menanyakan keadaan istrinya.
"Dok, apa yang terjadi dengan istri saya?" tanya Erven membuat dokter itu menghela napasnya panjang.
Dokter itu memberi kode kepada dua perawat untuk membawa Jihan ke ruang inap, setelah keduanya mengangguk dan mendorong Aurel yang masih belum sadarkan diri di atas brangkar.
"Saya meminta maaf dengan amat sangat kepada Anda sebagai suami dari pasien karena menyampaikan berita duka ini, sa...,"
"bisa jangan bertele-tele, dok?" potong Erven yang tidak bisa lagi sabar menunggu dokter mengatakan keadaan istri dan janinnya.
"Saya dengan berat menyampaikan bahwa istri anda baru saja keguguran, benturan pada perutnya terlalu keras sehingga menyebabkan pendarahan hebat, bahkan calon janinnya pun meluruh ketika kami memeriksa bagian perutnya," beritahu dokter itu merasa berat hati menyampaikan berita duka ini.
"Saya masih harus memeriksa istri anda, saya permisi!" pamit dokter itu melangkah meninggalkan Erven yang tubuhnya mendadak kaku.
Lagi. Untuk kedua kalinya Erven kehilangan calon bayinya dari rahim yang sama, hatinya hancur mendengar Jihan yang kembali keguguran, ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi istrinya ketika mengetahui jika ia kembali kehilangan calon janinnya. Pasti akan lebih hancur dari diri dia sendiri.
Erven melangkah pelan menyusul dokter tadi yang katanya akan melanjutkan pemeriksaan kepada istrinya di ruang rawat inap.
Ia tidak memiliki tenaga lagi untuk sekedar mengeluarkan air matanya, rasanya sangat sakit, tapi matanya seperti kering karena tidak bisa menangis.
Tanpa persetujuan dari dokter yang sedang menyuntikan jarum infus kepada Jihan, Erven nyelonong memasuki ruangan itu, ia bahkan mengabaikan perintah para perawatan yang meminta agar dirinya keluar dulu. Tapi persetankan dengan mereka, Jihan pasti lebih membutuhkan dirinya di sisi ia sekarang, ia tidak ingin ketika Jihan membuka matanya, dan yang pertama dilihatnya adalah ruangan yang kosong. Tidak akan. Erven tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi.
Setelah ia menunggu beberapa menit, dokter dan dua perawat itu pergi meninggalkan ruangan dengan menepuk baju Erven, bermaksud memberikan semangat untuk pria berstatus suami itu. Tapi Erven tidak mengindahkan ucapan mereka yng memberinya semangat, fokusnya hanya satu, yaitu Jihan.
"Jihan, maafin mas jika nanti ketika kamu membuka mata, kamu harus mendengar berita menyedihkan ini," lirih Erven seraya menggenggam erat tangan Jihan yang terbebas dari jarum infus.
"Tolong jangan sedih ketika tahu ini, mas tidak bisa melihat kamu sedih,"
"Jadi, Aku kehilangan calon janinku lagi, mas?" tanya Jihan yang ternyata sudah sadar dari alam bawah sadarnya.
bye bye aja lah