Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 6 Pertengkaran
Di dalam kamar, Adinda tengah ditemani Mbak Tia. Keduanya berbincang pelan untuk mengisi waktu, sekadar menenangkan hati Adinda yang masih terguncang.
Sementara itu, Vikto dipanggil kedua orang tuanya untuk datang ke ruang kerja sang ayah.
"Ada apa Papa memanggilku?" tanya Vikto begitu memasuki ruangan itu.
"Duduklah," jawab Tuan Abdi dengan nada serius. "Papa dan Mama ingin membicarakan sesuatu denganmu."
Vikto menuruti perintah itu, duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya, seolah tengah menghadapi sidang yang menegangkan. Tuan Abdi menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan sebelum berbicara lagi.
"Papa minta kamu segera mengurus perempuan tadi. Suruh dia meninggalkan rumah ini secepatnya. Dan satu hal, Oma tidak perlu tahu."
Vikto langsung menatap ayahnya tajam. "Kenapa, Pa? Adinda itu perempuan baik. Dia baru saja dapat musibah, dia diceraikan suaminya, tanpa tempat untuk pulang. Dan sesuai perjanjian, Vikto akan bertanggung jawab atas hidupnya Adinda."
Tuan Abdi memukul meja pelan tapi tegas. "Apa kamu sudah gila, Vikto? Kamu itu akan segera menikah!"
"Menikah?" Vikto menatap heran. "Dengan siapa? Karena Vikto tidak akan menikah."
“Vikto!”
Nada suara Tuan Abdi meninggi, lalu menggebrak meja dengan keras hingga membuat ibunya Vikto ikut tersentak.
"Apa kamu sudah lupa siapa keluarga Hambalang? Mereka yang menyelamatkan keluarga Kusuma dari kehancuran. Ingat itu!"
"Vikto bukan barang penukar, Pa!" balasnya keras. "Kalau mau membayar jasa, biar Kaira yang menikah dengan putra Hambalang!"
“Vikto!” kali ini ibunya ikut membentak dengan nada penuh amarah.
Tiba-tiba, suara seorang wanita tua terdengar dari arah pintu.
"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut di dalam rumah?" tanya Oma Hela, yang muncul dengan langkah pelan tapi berwibawa.
"Oma," kata Vikto cepat-cepat, "Vikto tidak mau menerima perjodohan dari Papa dan Mama. Vikto hanya ingin menikahi Adinda. Titik."
"Lihat, Ma!" seru ibunya Vikto, menunjuk anaknya dengan wajah memerah. "Cucu Mama berani melawan orang tuanya sendiri!"
Tuan Abdi ikut bersuara, “Vikto akan tetap menikah dengan putri keluarga Hambalang, dan itu keputusan final!”
Namun Oma Hela hanya tersenyum tipis, menatap menantunya dengan tatapan tajam.
"Abdi," katanya pelan tapi menusuk, "kamu sudah lupa, ya? Dulu kamu juga sama keras kepalanya dengan Vikto. Kamu juga menolak perjodohan, dan malah memilih perempuan yang hina. Sekarang, apa bedanya kamu dengan Vikto?"
Ruangan pun seketika hening. Kata-kata Oma Hela menggema, memecah keangkuhan dan amarah yang tadi menguasai udara.
Suasana ruang kerja mendadak senyap. Hanya terdengar detik jam di dinding yang seakan memperlambat waktu.
Tuan Abdi terdiam, tak mampu membantah ucapan ibunya. Sedangkan istrinya menunduk, rahangnya mengeras menahan kesal akibat ucapan ibu mertuanya.
Vikto masih duduk di tempatnya, kedua tangannya mengepal di atas lutut.
"Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengusir Adinda," katanya akhirnya, dengan suara berat namun tegas.
“Vikto...” Sang ibu mencoba menahan nada suaranya, “perempuan itu hanya akan membawa masalah. Dia sudah diceraikan suaminya, dan kamu tidak tahu alasan di balik itu.”
“Aku tahu cukup banyak,” sahut Vikto cepat. “Dan justru karena dia pernah disakiti, aku tidak akan membiarkan dia terluka lagi.”
Tuan Abdi berdiri dari kursinya, menatap putranya tajam. “Kamu pikir ini soal cinta? Ini soal kehormatan keluarga, Vikto!”
Vikto ikut berdiri, wajahnya memucat tapi matanya begitu serius tatapannya.
“Papa bicara tentang kehormatan keluarga, tapi bagaimana dengan kehormatan seorang perempuan yang dibuang tanpa alasan? Papa mau menutup mata atas ketidakadilan itu?”
Suara langkah Oma Hela terdengar lagi, pelan tapi serius.
“Cukup, Abdi,” katanya menatap putranya. “Kau lupa, dulu aku pun menentang pernikahanmu dengan istrimu, tapi akhirnya aku mengalah karena kau bersikeras. Sekarang, biarkan cucuku menentukan pilihannya sendiri.”
Istri Tuan Abdi segera menoleh, suaranya meninggi. “Tapi, Ma—”
“Tidak ada tapi!” potong Oma Hela tajam. “Kalian terlalu sibuk menjaga nama baik keluarga sampai lupa, bahwa nama baik tanpa kasih hanya akan melahirkan luka.”
Vikto menunduk, lalu berlutut di depan sang nenek. “Terima kasih, Oma. Vikto akan bertanggung jawab atas pilihan Vikto. Terima kasih Oma sudah merestui Vikto dan Adinda.”
Oma Hela menepuk bahunya lembut. “Kalau memang niatmu tulus, lindungi dia. Tapi ingat, tanggung jawab itu bukan hanya janji di bibir, melainkan pengorbanan sepanjang hidup.”
"Baik, Oma. Vikto akan simpan baik-baik nasehat dari Oma."
"Bangunlah, tak perlu sejauh ini kamu memohon sama Oma. Asal kamu bahagia, Oma ikut bahagia."
Vikto mengangguk dan memeluk Oma Hela. Setelah itu, Vikto segera keluar dari ruangan tersebut.
Kini, tinggal Oma Hela dan putranya, juga menantunya.
"Batalkan perjodohan antara Vikto dan putri Hambalang. Tidak akan ada pernikahan dari kedua keluarga tersebut. Kalau kalian ingin menikahkan Diva dengan putra Hambalang, itu juga terserah kalian. Vikto adalah cucu kesayangan ku. Juga, penerus keluarga Kusuma. Kalian tidak mempunyai hak untuk mengaturnya."
Tuan Abdi maupun istrinya hanya saling lempar pandang, bahkan tidak ada yang bicara. Oma Hela pun segera keluar dari ruangan tersebut. Kini hanya tinggal mereka berdua.
"Sial! gimana ini, Pa? Mama benar-benar tidak habis pikir, kalau pada akhirnya akan jadi seperti ini. Mau tidak mau, perempuan itu harus kita beri ancaman untuk mengusirnya."
"Percuma, Vikto tidak semudah itu untuk kita hadapi. Mungkin benar, kalau Diva yang akan kita jodohkan dengan putra Hambalang."
"Apa? Tidak, tidak. Mama tidak setuju. Reputasi putra Hambalang sangat buruk, suka main perempuan, bukan laki-laki baik."
"Itu kan cuman rumor, belum tentu juga kenyataannya begitu. Justru, ini kesempatan emas untuk menjadi lebih disegani orang. Secara putri kita bakal mempunyai penerus di keluarga Hambalang."
"Terus, Vikto gimana?"
"Biarin saja dengan pilihannya. Jugaan sudah ada Omanya yang megang kekuasaan keluarga Kusuma."
"Tapi, Pa.... Mau gimana juga, kita punya Vikto."
"Sudah lah, kita bahas lagi nanti. Papa capek, pingin istirahat."
Malam itu, setelah pertengkaran panjang di ruang kerja, Vikto berjalan menuju kamar tamu.
Dari celah pintu yang sedikit terbuka, terlihat Adinda tertidur ditemani Mbak Tia. Kemudian, Vikto memandangi wajah pucat itu lama, lalu berbisik lirih,
“Mulai sekarang, aku yang akan menjagamu, Dinda... tak peduli siapa pun yang menentang.”
Setelah itu, Vikto segera menutup rapat pintunya. Lalu, ia segera kembali ke kamarnya. Didalam kamar, Vikto merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur, ia menatapi langit-langit kamarnya.
"Erizon, sesuai janjiku padamu, aku akan menjaga Adinda dengan baik. Aku tidak akan pernah membiarkan orang lain menyakitinya. Sekarang dia sudah bersamaku, dan aku tidak akan pernah meninggalkannya." Gumamnya.
Cukup lama melamun, Vikto perlahan memejamkan matanya, hingga tidak ia sadari akhirnya terlelap dari tidurnya.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..