Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Es yang Susah Mencair
Pagi itu, Rian terbangun dengan perasaan yang jauh lebih tenang dibandingkan malam sebelumnya. Semalaman ia berpikir, menimbang-nimbang ucapan Fadi tentang satu hal yang harus ia ketahui mengenai Jelita. Ia memutar ulang setiap percakapan, setiap kemungkinan, dan setiap rasa takut yang sempat menyusup ke dadanya.
Namun pada akhirnya, satu kesimpulan itu datang dengan sendirinya.
Masa lalu Jelita, apapun bentuknya bukanlah sesuatu yang ingin ia jadikan alasan untuk mundur. Rian sadar, setiap manusia punya cerita sebelum hari ini. Ia sendiri pun tidak datang dengan lembaran yang sepenuhnya kosong. Yang terpenting baginya adalah Jelita yang ia kenal sekarang. Seorang wanita yang tenang, tegas, dan jujur pada dirinya sendiri.
Seperti yang Aldi katakan juga tadi malam, jika yang terpenting itu adalah masa depan, bukan masa lalu. Lagipula… Jelita tidak ada salahnya disini. Ia hanya korban.
Soal ibunya… Rian memang belum sepenuhnya yakin. Ia tahu, Bu Sri adalah perempuan yang baik, tapi juga memegang nilai-nilai yang kuat. Ada ketakutan kecil didirinya tentang bagaimana jika ibunya sulit menerima? Namun ketakutan itu tidak cukup besar untuk menghentikannya. Jika waktunya tiba, ia akan bicara. Pelan-pelan… dan jujur, seperti laki-laki seharusnya.
Dengan tekad itu, berbekal alamat yang diberikan oleh Oma Lita, Rian berangkat ke rumah orang tua Jelita pagi-pagi sekali. Aldi ia antarkan terlebih dulu pulang ke kontrakannya untuk ‘berlibur’.
Matahari belum sepenuhnya naik ketika ia tiba. Mobil-mobil keluarga masih terparkir rapi, dan aroma sarapan sudah tercium samar dari dalam rumah.
Ia menatap bangunan bertingkat dua itu beberapa saat. Sekilas, rumah tersebut justru tampak mirip dengan rumah miliknya di kampung. Terlihat sederhana, fungsional, tanpa kemewahan berlebihan.
Sebelumnya, Rian sempat berpikir bahwa sebagai putri dari pemilik rumah sakit, Jelita pasti tinggal di rumah yang tak kalah megah dari kediaman Opa Bara atau rumah Kakek Doni. Namun kenyataannya berbeda.
Rumah itu jauh lebih sederhana dari bayangannya. Tidak ada pagar tinggi menjulang, tidak pula ornamen mencolok yang menandakan kemewahan. Justru kesan hangat dan bersahaja itulah yang pertama kali menyambut pandangan Rian.
Rian melangkah masuk dengan sedikit canggung setelah pintu dibuka langsung oleh Bunga. Wanita itu menyambut Rian dengan hangat, dan memintanya untuk masuk, bergabung dengan anggota keluarganya yang lain. Rian berjalan mengekori Bunga hingga ia mendapati seluruh penghuni rumah tengah berkumpul di meja makan.
“Lho?” suara Fadi terdengar lebih dulu. “Kamu sudah datang pagi-pagi begini. Opa Bara nggak kasih kamu makan, sampai harus sarapan ke sini?”
Beberapa pasang mata langsung tertuju pada Rian. Ada yang tersenyum, ada yang sekadar menatap penasaran.
Rian tersenyum sopan, lalu menjawab ringan, “Bukan begitu, Om. Tapi kalau sarapan di sini… rasanya nafsu makan saya bisa nambah dua kali lipat.”
Detik berikutnya, jitakan ringan mendarat di lengan Rian.
“Kurang ajar,” gumam Fadi dan mengundang senyum geli dari Bunga.
“Sudah sudah. Mas Rian… ayo duduk. Kita sarapan bareng-bareng,” ajak wanita yang masih cantik di usia 53 tahun itu.
Rian langsung duduk di sebelah Zaidan yang tadi malam akhirnya ia ketahui, jika pemuda yang ia pernah dengar namanya ini adalah adiknya Jelita.
Suasana meja makan langsung dipenuhi tawa kecil. Ketegangan yang sempat ada terasa mencair, dan Rian ikut makan seperti yang lainnya.
Di seberang meja, Jelita duduk dengan sikap yang begitu familiar di mata Rian. Tenang. Wajahnya kalem, senyumnya tipis, nyaris tak berubah seperti saat ia berada di kampung. Tidak ada tawa lepas seperti yang ia lihat tadi malam, tidak ada riasan berlebihan, tidak ada sikap canggung. Jelita yang ini adalah Jelita yang selama ini ia kenal.
Entah kenapa, itu membuat Rian jadi kepikiran. Apa Jelita tidak menyukai kehadirannya saat ini?
Setelah sarapan selesai dan sebagian anggota keluarga mulai beranjak, Rian memberanikan diri mendekati Fadi.
“Om,” ucapnya sopan, “bolehkah saya mengajak Jelita jalan sebentar hari ini?”
Fadi menoleh, menatapnya beberapa detik seolah menilai. “Bukannya kamu besok sudah balik ke kampung?”
“Iya, Om. Itu sebabnya,” jawab Rian jujur.
Fadi kembali diam, tampak berpikir. Seperti menimbang-nimbang keputusannya. Lalu Bunga datang menghampiri mereka.
“Sudah, Mas. Biarin aja mereka jalan bersama hari ini.”
“Tapi, Flo…”
Fadi diam kembali, menatap istrinya yang tengah tersenyum hangat padanya. Ia menghela nafasnya. “Boleh. Tapi ada syarat.”
Rian menegakkan tubuhnya. “Apa itu, Om?”
“Aqilla atau Zaidan harus ikut.”
Rian melirik ke arah Bunga yang mengangguk pelan. “Baik, Om.”
Namun, rencana itu tidak semulus yang dibayangkan.
“Aku nggak ikut,” ujar Aqilla datar saat namanya disebut. Gadis tomboy itu bahkan tidak menoleh dari ipad miliknya. “Aku ada tugas kuliah. Deadline.”
“Sekali-sekali aja,” bujuk Bunga.
Aqilla menggeleng tegas. “Nggak bisa, Ma. Kalau mau nyulik orang, nyulik Zaidan aja.”
“Eh!” protes Zaidan spontan. “Aku sudah janji sama teman-temanku.”
“Tunda,” kata Fadi singkat, nada suaranya tak memberi ruang bantahan.
Zaidan menghela napas panjang. “Nasib anak bontot,” keluhnya.
Beberapa menit kemudian, mereka bertiga bersiap. Rian, Jelita, dan Zaidan. Meski sempat manyun, Zaidan akhirnya ikut juga, meski dengan wajah yang jelas menunjukkan pengorbanan besar.
Sebelum berangkat, Rian melirik Jelita yang duduk di belakang. Gadis itu menatapnya balik, tenang seperti biasa.
Rian tersenyum tipis, namun tidak ada balasan yang ia terima. Ia kembali menghela nafasnya.
“Susah banget es nya cair.”
****
Jangan lupa jempolnya setelah membaca, ya. Makin lama makin sepi rasanya. Apa udah bosan ya sama cerita Jelita 😢
Jelita begitu disayangi oleh keluarga Bunga.
Gak sabar menunggu hari pernikahan Jelita dan Rian
Bahagia banget pak lurah😄
dramatisasi si fadi dan mama bunga cuma bisa tepok jidat....🤣🤣🤣🤣