"Aku mencintaimu, Hayeon-ah. Mungkin caraku mencintai salah, kacau, dan penuh racun. Tapi itu nyata." Jin Seung Jo.
PERINGATAN PEMBACA:
Cr. pic: Pinterest / X
⚠️ DISCLAIMER:
· KARYA MURNI SAYA SENDIRI. Cerita, karakter, alur, dan dialog adalah hasil kreasi orisinal saya. DILARANG KERAS mengcopy, menjiplak, atau menyalin seluruh maupun sebagian isi cerita tanpa izin.
· GENRE: Dark Romance, Psychological, Tragedy, Supernatural.
· INI BUKAN BXB (Boy Love). Ini adalah BxOC (Boy x Original Female Character).
· Pembaca diharapkan telah dewasa secara mental dan legal.
©isaalyn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isagoingon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan pada Nyonya Lee
Desas-desus tentang kehancuran Seung Jo—akhirnya, sampai juga ke telinga Nyonya Lee. Wanita tua itu, yang kini merasakan sepinya toko roti tanpa kehadiran Hayeon yang pendiam, tercekik oleh rasa bersalah yang menggerogoti hatinya, seolah-olah ada sesuatu yang menekan dadanya...
Suatu pagi yang dingin, tangan Nyonya Lee bergetar saat dia memutuskan untuk melangkah menuju mansion Seung Jo. Tak ada kepastian tentang apa yang akan dia temui, tetapi dorongan untuk pergi itu begitu kuat—seperti magnet yang menariknya ke tempat yang penuh kenangan.
Mansion itu—oh, betapa menyedihkannya! Terbengkalai, seolah waktu berhenti di sana. Seorang pelayan tua, yang mengenalinya, membiarkannya masuk dengan ragu-ragu, seolah-olah mengizinkan hantu masa lalu untuk kembali.
“Tuan... tidak seperti dulu,” bisik pelayan itu, matanya berkilau dengan air mata sebelum dia bergegas pergi, meninggalkan Nyonya Lee dalam kesunyian.
Di perpustakaan, Nyonya Lee menemukan Seung Jo. Dia duduk di kursi tinggi, menatap jendela yang kotor, seolah-olah dunia di luar telah melupakan keberadaannya. Dia tampak sepuluh tahun lebih tua—seperti bayangan yang hilang dari masa lalu.
“Tuan Seung Jo,” sapanya, suaranya bergetar, penuh keraguan.
Seung Jo menoleh perlahan, matanya yang kosong seolah mengenali wanita tua itu. Dalam sekejap, ada kilatan—entah itu harapan atau kesedihan—yang melintas di wajahnya.
“Nyonya Lee,” jawabnya, suaranya serak, penuh beban.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya, seolah terperangkap dalam labirin pikirannya sendiri.
“Saya... saya datang untuk meminta maaf,” ucap Nyonya Lee, tangannya meremas apron, seolah itu bisa menghapus rasa bersalah yang menggerogoti.
Seung Jo mengerutkan kening, tampak bingung. “Meminta maaf? Untuk apa?”
“Untuk... Hayeon,” jawabnya, air mata mulai mengalir di pipinya yang berkeriput, seolah setiap tetesnya adalah penyesalan yang terpendam.
“Saya tahu. Saya tahu siapa Anda. Dan saya tahu apa yang mungkin terjadi padanya,” kata Seung Jo, suaranya datar, tetapi ada sesuatu yang bergetar di dalamnya.
Nyonya Lee menarik napas dalam-dalam, berusaha menata pikirannya. “Dulu, suami saya berhutang besar pada organisasi Anda. Ketika dia meninggal, Anda yang melunasi hutangnya, dengan syarat saya... saya melaporkan jika ada yang mencurigakan di sekitar toko.”
Dia terdiam sejenak, merasakan beratnya kata-kata yang akan diucapkannya. “Lalu Hayeon datang. Dia sendirian, tak punya keluarga. Saya merasa kasihan... tapi juga takut. Saya tahu dia dari Jeju, dan saya pernah mendengar tentang kecelakaan itu. Saya curiga dia mungkin terlibat dengan... dengan orang yang Anda ‘urus’ dulu.”
“Jadi kau mempekerjakannya dan mengawasinya untukku,” simpul Seung Jo, nada datarnya kembali, seolah menegaskan kenyataan pahit.
Nyonya Lee mengangguk, malu. “Iya. Dan saat dia mulai terlihat takut, saat Anda mulai sering datang... saya tahu sesuatu yang buruk akan terjadi. Tapi saya tidak melakukan apa-apa. Hanya bilang padanya untuk ‘hati-hati’, seolah itu cukup.” Dia terisak, suara hatinya tertekan.
“Saya bisa mengusirnya. Saya bisa membantunya lari. Tapi saya tidak... saya egois. Dan sekarang... sekarang dia...”
“Dia mati,” ucap Seung Jo, blak-blakan, seolah mengeluarkan racun dari dalam dirinya.
“Aku yang membunuhnya. Tidak langsung, tapi aku penyebabnya,” Nyonya Lee menutup mulutnya, menahan isakan yang ingin meluap.
“Jadi, kau datang untuk membersihkan hatimu?” tanya Seung Jo, sedikit sarkasme terlintas dalam nada suaranya.
“Tidak,” bantah Nyonya Lee, mengusap air matanya yang tak kunjung reda. “Saya datang karena saya merasa bersalah. Dan saya ingin Anda tahu... bahwa Hayeon... dia tidak pernah mencurigai apa pun. Dia mempercayaiku. Dia menganggapku seperti ibu. Dan saya... saya mengkhianatinya.”
Kata-kata itu—menusuk Seung Jo lebih dalam dari yang dia kira. Dia pun mengkhianati Hayeon, dengan cara yang jauh lebih mengerikan.
“Keluarga Hayeon di Jeju,” tanya Seung Jo tiba-tiba, “Apa ada yang tersisa?”
Nyonya Lee menggeleng. “Tidak. Setelah kecelakaan, tidak ada yang berani mengurus warisan kecil mereka. Semua sudah dijual atau ditinggalkan.”
Seung Jo mengangguk pelan. Tak ada yang tersisa. Tak ada keluarga, tak ada teman, tak ada kenangan. Hayeon benar-benar sendirian di dunia ini, dan mereka—dia dan Nyonya Lee—adalah orang-orang yang seharusnya melindunginya, justru mengkhianatinya.
“Pergilah, Nyonya Lee,” ucap Seung Jo akhirnya, suaranya lelah, seolah mengangkat beban yang tak tertahankan.
“Maafkan dirimu sendiri jika kau bisa. Karena aku tahu, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri.”
Nyonya Lee memandangnya sejenak, lalu membungkuk pelan sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan Seung Jo sendirian sekali lagi dengan hantu-hantunya.
Pertemuan ini—tidak membawa kedamaian bagi siapa pun. Hanya mengingatkan Seung Jo bahwa kehancuran Hayeon bukan hanya karena tangannya sendiri, tetapi juga oleh diamnya orang-orang di sekitarnya. Dan dia—oh, dia adalah yang paling bersalah di antara mereka semua...