Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Hujan turun pelan di luar jendela, membasahi halaman luas rumah mewah keluarga Frenderick. Suara gemericiknya lembut, hampir menenangkan. Namun suasana kamar pengantin yang begitu elegan malam itu terasa… terlalu sunyi.
Keyla duduk di sisi ranjang, tangannya menggenggam ujung gaun tidur satin yang baru saja ia kenakan. Rambutnya yang terurai masih tercium wangi bunga kamomil sisa acara resepsi. Bibirnya sedikit bergetar setiap kali mengingat satu hal:
Dia sudah resmi menikah lagi dengan Kenny.
Tapi tidak ada satupun dari perasaannya yang terasa sama seperti kehidupan sebelumnya.
Kenny keluar dari kamar mandi dengan rambut sedikit basah, mengenakan kaos tipis dan celana rumah hitam. Cahaya lampu membuat bentuk tubuh tegapnya terlihat jelas. Keyla menelan ludah. Bukan karena gugup… tapi karena ia tidak tahu harus bersikap seperti apa di kehidupan barunya.
Kenny berhenti beberapa langkah dari ranjang.
“Sudah nyaman?” tanyanya pelan.
Suara itu lembut, bahkan terlalu lembut untuk seorang Kenny yang ia kenal dulu.
Keyla mengangguk. “Lumayan.”
Kenny berjalan mendekat, namun tidak duduk. Ia hanya memandang Keyla beberapa detik, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak merasa terpaksa, tidak tertekan.
“Aku harap hari ini tidak terlalu melelahkan buat kamu,” katanya.
Keyla menatap tangannya. “Sedikit lelah, tapi aku senang.”
Kenny mengangkat alis sedikit. “Benarkah?”
“Ya.” Keyla tersenyum kecil. “Pernikahannya berjalan lancar. Semua terlihat bahagia.”
Termasuk Kenny.
Itu kalimat yang menekan halus dadanya. Mengingat bagaimana di kehidupan lamanya, Kenny tidak pernah benar-benar tersenyum di hari pernikahan mereka.
“Bagus kalau begitu,” jawab Kenny.
Keheningan masuk lagi. Bukannya canggung, tapi ketidakpastian yang mengambang.
Kenny menarik napas, lalu duduk di sisi ranjang—menjaga jarak yang cukup, tapi tidak terlalu jauh.
“Keyla… malam ini, kamu tidak perlu khawatir tentang apa pun,” katanya. “Aku tidak akan memaksakan apa pun dari kamu. Kita… bisa tidur saja jika kamu mau.”
Keyla merasakan dadanya sakit, tapi dengan cara yang lembut.
“Kenny…” Ia memanggil pelan.
Kenny menoleh.
“Aku tahu. Aku tahu kita masih belajar, dan aku tidak keberatan. Tapi kamu tidak perlu bersikap seperti aku akan lari.”
Kenny terdiam beberapa detik sebelum berkata, “Aku hanya tidak ingin kamu merasa aku menuntut apa pun darimu.”
Keyla menghembuskan napas. “Aku tidak merasa begitu.”
“Baik.” Kenny mengangguk pelan.
Sunyi. Lagi.
Tetapi kali ini…
Keyla membuka diri duluan.
“Kenny… boleh aku tanya sesuatu?”
“Tentu.”
“Kenapa kamu… terlihat takut?”
Kenny membeku.
Bukan kaget. Lebih seperti tertangkap basah.
“Aku tidak takut,” jawabnya.
“Kamu takut,” sanggah Keyla lembut. “Tapi bukan takut padaku. Lebih seperti… takut menyakitiku.”
Kenny terdiam lama sebelum berkata,
“Aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama…”
Keyla menatapnya.
“Kenny… kamu tidak pernah membuat kesalahan denganku.”
Kenny tersenyum tipis—senyum yang terlihat seperti ia tidak sepenuhnya percaya.
“Kalau begitu… aku hanya berusaha berhati-hati.”
Keyla ingin menjawab sesuatu, tapi Kenny sudah bangkit.
“Aku tidur di sofa.”
Keyla mengerjap. “Kenapa?”
“Agar kamu lebih nyaman.”
“Kenny, ini kamar kita berdua.”
“Ya. Dan aku tidak ingin membuat kamu tertekan.”
Keyla menarik napas panjang dan menggeleng. “Kamu tidak membuatku tertekan.”
Kenny menatapnya lama.
“Aku tidur di sini saja?” tanyanya akhirnya, hampir seperti meminta izin.
Keyla mengangguk.
Kenny kembali naik ke ranjang, menyesuaikan posisi di samping Keyla, memberikan jarak yang cukup. Lampu mati, meninggalkan cahaya redup dari lampu meja.
Tapi detak jantung Keyla justru semakin keras.
Hanya ada selimut tipis yang memisahkan kulit mereka.
Terlalu dekat. Terlalu nyata. Terlalu… hangat.
“Keyla,” bisik Kenny.
“Hm?”
“Aku bahagia hari ini.”
Keyla mengerjap pelan. “Aku juga.”
“Aku pikir… pernikahan tidak akan membuatku gugup. Tapi ternyata aku salah.”
Keyla tersenyum dalam gelap. “Itu hal yang wajar.”
“Tidak bagiku.”
“Kenapa?”
Kenny diam beberapa detik sebelum berkata pelan,
“Aku selalu yakin. Selalu pasti. Tapi bersamamu… aku tidak pernah merasa cukup. Aku selalu merasa ingin melakukan lebih, agar kamu merasa aman.”
Keyla membeku.
Kata-kata itu terlalu lembut untuk seorang pria yang dulu bahkan tidak peduli saat ia sekarat.
Kenny melanjutkan.
“Aku tidak tahu kenapa aku sangat takut mengecewakan kamu.”
Tangan Keyla perlahan bergerak di atas selimut, mencari tangan Kenny. Ketika ia menemukannya, Kenny menegang sebentar—lalu mengendur, menggenggamnya.
“Sama,” gumam Keyla. “Aku juga takut.”
Kenny menoleh sedikit. “Takut padaku?”
“Takut jatuh hati terlalu cepat.”
Keheningan.
Lalu Keyla merasakan sesuatu—ibu jari Kenny mengusap punggung tangannya. Gerakan kecil, tapi lembut.
“Aku tidak akan membiarkan kamu jatuh sendirian.” Suara Kenny rendah, nyaris bergetar. “Kalau kamu jatuh… aku akan ikut jatuh.”
Keyla menutup mata rapat-rapat, mencegah air mata.
“Kenny…”
“Hm?”
“Jangan bilang hal manis seperti itu kalau kamu tidak serius.”
Kenny mendekat sedikit, suara napasnya terasa di telinga Keyla.
“Aku menikah denganmu, Keyla. Tentu aku serius.”
Dan untuk pertama kalinya malam itu… Keyla kehilangan kata-kata.
**
Beberapa menit berlalu. Dalam gelap, Keyla masih terjaga. Begitu juga Kenny.
“Kamu belum tidur,” ucap Kenny.
“Kamu juga.”
“Aku takut kalau aku tidur duluan, kamu akan bangun dan kabur.”
Keyla tertawa kecil, suara yang membuat Kenny menoleh.
“Aku tidak akan kabur.”
“Janji?”
“Janji.”
Kenny akhirnya menutup mata dengan lebih tenang.
“Selamat tidur, Keyla.”
“Selamat tidur, Kenny.”
Untuk beberapa saat, keheningan kembali mengisi ruangan.
Namun kini… bukan keheningan yang asing. Melainkan keheningan dua jiwa yang sama-sama sedang belajar mencintai dengan cara yang baru.
Keyla membiarkan dirinya perlahan tenggelam dalam ketenangan itu.
Bahwa malam pertama mereka bukan tentang tubuh. Tapi tentang hati yang berani terbuka sedikit demi sedikit.
Tentang ketakutan yang diakui. Tentang kesabaran yang diberikan.
Tentang dua orang yang berusaha menghapus luka lama tanpa harus menyentuh masa lalu.
Ia tidak tahu apa yang menanti mereka besok: Apakah cinta? Apakah konflik? Apakah badai?
Tapi malam ini…
Ia merasa aman.
Dan di sisi Keyla, Kenny membuka mata lagi, memandangi siluet istrinya yang mulai tertidur.
Ia menyentuh ujung rambut Keyla pelan, hampir tidak menyentuh.
“Maaf kalau dulu aku tidak bisa melihatmu,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Aku tidak akan mengulanginya.”
Ia memejamkan mata.
Dan malam pun menutup mereka dalam pelukan yang lembut—seolah dunia memberi satu kesempatan lagi bagi dua hati yang pernah hancur oleh waktu.
Dua hati yang kini belajar mencintai dalam kegelapan yang tenang.