NovelToon NovelToon
Pembalasan Dendam Sangkara

Pembalasan Dendam Sangkara

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Lari Saat Hamil / Anak Yatim Piatu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: apriana inut

Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.

Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.

"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"

"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22

Saat ini bukan desa saja yang hebo, akan tetapi di kabupaten, propinsi bahkan nasional pun di buat hebo dengan pemberitaan yang ada. Hampir 5 tahun lebih kematian satu keluarga yang ada di desa X baru terungkap. Hal itu karena obsesi dari kepala desa yang menginginkan desanya mendapatkan penghargaan sebagai desa teraman. Banyak template yang di buat oleh media semakin membuat hebo. Ada yang mengatakan jika kematian satu keluarga itu terkait adanya konfrontasi dan ada yang mengatakan kalau kematian satu keluarga karena dijadikan korban oleh pihak tertentu. Yang jelas, pemberitaan mengenai kematian keluarga Sangkara bukan menjadi isu di desanya lagi, melainkan isu nasional. Dan juga mendapatkan perhatian dari banyak kalangan.

Bahkan saat ini, pihak kepolisian tengah meminta ijin kepada Sangkara untuk menggali kembali kuburan keluarganya. Guna untuk melakukan autopsi. Agar bisa mempermudah penyelidikan serta mengetahui penyebab kematian keluarganya.

Awalnya Sangkara sempat menolak. Namun, karena mendapat masukan dari dokter Adit. Akhirnya Sangkara pun menyetujuinya. Dengan syarat, autopsinya segera di lakukan dan tidak boleh lebih dari tiga hari. Pihak kepolisian pun menyetujui syarat dari Sangkara. Dan memang saat itu, dokter forensik dari kepolisian sudah siap menjalankan tugasnya.

Keheboan mengenai kematian Sangkara terdengar sampai ke telinga keluarga abah dan emaknya Sangkara. Mereka sempat ragu jika yang meninggal itu adalah anggota keluarganya. Namun, setelah polisi merilis nama asli Dadang dan Lilis, mereka pun menjadi sangat hebo. Mereka pun menuju ke desa X. Tempat Adi dan Naya selama ini tinggal dan meninggal secara tragis.

Sementara itu, kepala desa yang masih dalam kondisi lemah harus menjalani interogasi di kantor polisi. Bukan hanya dirinya saja, tetapi seluruh jajaran pengurus desa pun diintegorasi. Dan sudah di pastikan ke depannya, hidup mereka tidak akan mudah. Jika mereka tidak di penjara, maka omongan dari masyarakat luas akan mereka terima setiap harinya

“Kar, gimana? Kamu puas?”

Kepala Sangkara menggeleng, “belum, Dik. Pelaku dan dalang pembunuhan keluarga aku masih bebas di sana! Aku baru bisa tenang kalau mereka sudah di tangkap atau mati dengan cara yang sama seperti yang di alami keluarga aku!”

“Kara…!”

“Sakit, Dik! Di sini sesak banget! Kamu tahu kan bagaimana aku sayang banget sama emak, abah dan Rara. Aku berjuang di sana untuk mereka, tapi saat pulang, aku tidak menemukan apa-apa. Dan aku masih saja di bohongi oleh warga desa. Bagaimana tidak sakit jadi aku?”

Dika terdiam. Dia tidak bisa berkata-kata lagi. Karena dia tidak pernah di posisi Sangkara. Bahkan untuk mengatakan kata sabar pun, dia tidak berhak. Kata sabar hanya sebuah kata klise. Yang bisa diucapkan semua orang yang belum pernah kesakitan seperti Sangkara. Dika hanya bisa menepuk dan merangkul pundak Sangkara. Seolah memberi tahu jika dirinya selalu ada di sisi Sangkara.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Dua mobil mewah berhenti di depan rumah Sangkara. Dika yang masih berada di rumah Sangkara mengernyitkan dahinya. Dia merasa bingung dan heran melihat kedatangan dua mobil mewah tersebut. Jika wartawan atau kepolisian yang datang, tidak mungkin mobilnya semewah itu. Mobil yang di gunakan pasti mobil sejuta umat. Yang selalu berlalu lalang di jalan raya.

Kebingungan Dika semakin bertambah, ketika keluar dari dua mobil orang-orang yang berpakaian rapi. Namun wajahnya tampak sedih dengan mata yang sembab.

Ketika mata mereka beradu dengan mata Dika, mata mereka pun kembali mengeluarkan airmata. Salah satu wanita paruh baya langsung menghampiri Dika. Tanpa mengatakan apa-apa, wanita paruh baya itu memeluk erat tubuh Dika. Membuat Dika tidak bisa berkutik dan bergerak sama sekali.

“Cucu oma. Maafkan, oma ya sayang. Maafkan oma!” ujar wanita paruh baya tersebut terus memeluk tubuh Dika. Dia bahkan menciumi wajah Dika dengan penuh kasih sayang dan kerinduan.

“Hidup kamu pasti sangat sulit, sayang! Sekarang oma dan opa sudah datang. Kamu tidak perlu merasakan sedih dan sepi lagi!” tambahnya.

Setelah wanita paruh baya itu memeluk tubuh Dika, sekarang gantian dengan yang lain. Mereka semua memeluk Dika secara bergantian bahkan turut menciumi wajah Dika.

Dika yang tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan tidak di beri kesempatan, hanya bisa diam dan pasrah saja menerima semua perlakuan dari semua orang asing tersebut.

“Dik, mereka siapa?”

Sangkara yang baru selesai mandi. Dengan handuk masih menempel di pinggang dan badan yang terekspos, memperlihatkan otot badannya yang sangat bagus. Bahkan roti sobek yang ada di perut Sangkara terlihat sangat jelas. Membuat siapapun yang melihatnya ingin menyentuh dan meraba. Dia keluar dari rumah dan berjalan ke teras. Penasaran dengan keributan yang terjadi di teras rumahnya.

Dika menggelengkan kepalanya. Wajah sahabatnya Sangkara tersebut tampat tertekan dengan sebuah rangkulan pada bahunya.

“Kamu siapa?” tanya salah satu laki-laki paruh baya menatap Sangakara dengan mata menyipit.

“Seharusnya saya yang tanya, anda dan kalian itu siapa? Mengapa ada di rumah saya?” sahut Kara.

Laki-laki paruh baya yang tadi sempat mengenali dirinya sebagai Opa Herman, melototkan matanya. “Kamu Sangkara???”

“Iya, saya Sangkara. Lantas anda siapa?”

“Kalau kamu Sangkara, dia siapa? Mengapa dia ada di rumah kamu? Jadi, tadi tadi kami salah orang?” seru opa Herman menatap Dika dan Sangkara secara bergantian.  “Kamu mencari kesempatan dalam kesempitan ya?” tudingnya pada Dika.

“Eh, enak aja kek! Kakek-kakek dan nenek-nenek semua yang datang terus langsung meluk aku. Tanpa nanya aku siapa dan juga tanpa memberikan aku kesempatan untuk bicara!” sahut Dika membela dirinya sendiri.

Opa Herman berdecak kesal. Tatapannya sekarang terfokus pada Sangkara. Dia hendak mendekati Sangkara dan memeluk cucu aslinya. Namun, pergerakannya terhenti karena Sangkara mengangkat sebelah tangannya.

“Jangan mendekat! Saya pakai baju dulu!” tolak Sangkara tegas. Dia membalikkan badannya, berjalan cepat masuk ke dalam kamarnya. Jika tidak di hentikan, dia pasti mengalami hal yang sama dengan Dika. Dan kemungkinan terburuknya, handuknya bisa melorot ataupun terlepas.

Sepeninggalan Sangkara yang masuk ke dalam rumah, sebuah mobil kembali berhenti. Kemudian keluar dua orang berbeda jenis kelamin. Namun, sepertinya mereka tampak akrab satu sama lainnya.

“Dek, jangan tampak wajah jutek kamu dan kamu harus berakting hari ini! Ingat, jangan sampai ada yang curiga! Pokoknya bisa-bisa kamu!”

“Iya, bang! Aman aja! Kamu juga jangan diam, karena bang Adi dekatnya sama kamu!”

“Gak usah meragukan kemampuan abang, dek! Lihat aja nanti!” sahut Johan berjalan terlebih dahulu masuk ke dalam rumah Sangkara.

Mereka terpaksa datang ke rumah Sangkara yang berada di desa X. Mereka harus menunjukkan kepedulian mereka agar keluarganya tidak ada yang curiga.

“Wow, semakin rame ya?” seru Sangkara keluar dari kamar setelah berpakaian lengkap. Matanya yang tajam terus menatap kearah pintu rumahnya. Dimana di sana berdiri dua orang yang sebelumnya pernah dia temui.

“Kara…! Papa, mama??? Ngapain di sini???”

Kedatangan dokter Adit memutuskan eyes contact antara Sangkara dan dua orang tersebut. Dan itu langsung membuat dua orang tersebut napas lega.

“Thank’s bro!” lirih Johan pelan, ketika dokter Adit melewatinya.

Sontak saja langkah dokter Adit terhenti. Dia memutar tubuhnya menghadap Johan.

“Kamu…???”

1
Nurhartiningsih
waduh...jangan2 dokter Adit bagian dari mrk..
Pelita: Hmm, mungkin kali ya kak...? Tunggu aja bab berikutnya...

Hmm... Mungkin kali ya kak? Jawabannya tunggu di bab selanjutnya...😁
total 1 replies
Taufik Ukiseno
Karya yang keren.
Semangat untuk authornya... 💪💪
Taufik Ukiseno
😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!