Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
“Lu mau beli handphone apa, Az?”
Livia mengalihkan pandangan ke arah kanan, menatap wajah tampan Azka yang saat ini tengah sibuk memilih salah satu handphone dari berbagai macam brand ternama dan terkenal yang ada di toko tempat mereka berada sekarang.
Azka diam sejenak, memegang dagu menggunakan jari telunjuk tangan kanan sambil terus-menerus melihat berbagai macam jenis handphone yang berada di hadapannya. Ia mengedipkan mata beberapa kali, sebelum pada akhirnya menghela napas panjang dan mengalihkan pandangan ke arah kiri—membalas tatapan yang sedang diberikan oleh Livia.
“Lu aja yang pilihin, Liv … Gue bingung,” kata Azka dengan nada suara begitu sangat santai, sembari melipat kedua tangan di depan dada.
Mendengar perkataan Azka, membuat Livia sontak melebarkan mata sempurna dengan mulut sedikit terbuka—merasa tidak habis pikir dengan mindset milik sahabat baiknya itu. Namun, itu tidak berlangsung lama, lantaran dirinya sesegera mungkin berdeham pelan sambil memperbaiki posisi kacamatanya yang sedikit turun, sebelum mengalihkan pandangan ke arah depan—melihat berbagai macam jenis handphone flagship yang ada di sana.
“Hmm … kalau buat lu ….” Livia mengedipkan mata beberapa kali, sebelum mengambil sebuah handphone yang terkenal akan performa gaming-nya, lantas kembali menatap ke arah Azka. “Kayaknya ini cocok dan bagus, deh. Lu, kan, suka nge-game … terus juga desainnya bagus buat tipikal cowok idaman banyak wanita kayak lu.”
Azka melihat handphone yang telah diambil oleh Livia, kemudian tanpa berpikir panjang segera menganggukkan kepala. “Ya udah … beli itu aja.”
Livia kembali melebarkan mata, tetapi tidak selebar sebelumnya. Ia memang tahu bahwa Azka kadang-kadang suka menjadi sosok cowok yang sangat sulit untuk ditebak, tetapi kali ini benar-benar diluar ekspektasinya.
Cewek itu segera mengalihkan pandangan ke arah depan, menatap seorang pegawai perempuan yang sedang menunggu di sana, lantas menyerahkan handphone yang sedang dirinya genggam sambil berusaha mengukir senyuman—mencoba menghilangkan rasa heran serta bingung akan tingkah laku sahabat baiknya itu.
“Beli yang ini aja, Mbak,” kata Livia.
Pegawai perempuan itu mengangguk sopan dan menerimanya kotak handphone dari tangan Livia. “Baik, Kak. Mau sekalian tambah case-nya juga?”
Pertanyaan itu sontak membuat Azka dan Livia saling pandang selama beberapa detik. Livia sedikit mengerutkan kening, menunggu respons dari cowok yang sedang duduk di sampingnya itu, sebelum pada akhirnya kembali membuka suara sambil menatap ke arah pegawai toko—lantaran mengetahui bahwa sang sahabat benar-benar menyerahkan semua keputusan kepada dirinya.
“Iya, Mbak … Aaaa … sekalian earphone-nya juga … yang mendukung buat gaming sama dengerin musik,” kata Livia, tanpa menunggu persetujuan dari Azka.
Pegawai perempuan itu mengangguk lagi, lalu mulai menuliskan sesuatu di perangkat kecil yang berada di tangannya. “Siap, Kak. Case sama earphone gaming, ya. Mau yang model sporty atau yang lebih minimalis?”
Livia melirik sekilas ke arah Azka, sekadar ingin memastikan selera, meskipun dirinya tahu bahwa jawabannya akan tetap sama seperti beberapa waktu lalu.
Azka mengangkat bahu santai. “Terserah lu aja.”
Livia menghela napas panjang, sebelum kembali membuka suara. “Minimalis aja, Mbak. Yang warnanya netral.”
“Baik, Kak. Ditunggu sebentar, ya,” sahut pegawai itu, sebelum berbalik badan dan melangkah pergi untuk mengambil barang yang telah diminta.
Begitu pegawai perempuan itu pergi, Livia kembali menghela napas—kali ini lebih pelan daripada sebelumnya—sembari mengalihkan pandangan ke arah kiri, melihat pegawai lain yang saat ini sedang memasangkan tempered glass pada layar handphone miliknya.
“Lu tahu nggak, Az … gue sekarang tuh ngerasa kayak lagi jadi personal shopper lu,” kata Livia, tanpa mengalihkan pandangannya.
Azka melirik ke arah Livia sambil secara perlahan-lahan mulai mengukir senyuman samar. “Ya, kan, gratis. Harusnya lu bangga bisa milihin barang-barang buat gue … cewek-cewek di luar sana pada iri tahu sama lu dan Rhea.”
Livia mengerjapkan mata beberapa kali, menoleh ke arah Azka sepenuhnya sambil tanpa aba-aba menggerakkan tangan untuk merangkul leher sahabat baiknya itu—menariknya agar terkunci pada ketiaknya. “Bangga? Yang ada gue cape jadi otak lu. Lu itu kalau lagi ada masalah pasti selalu kayak gini, deh … bikin orang pusing … kadang malah bikin orang jadi ketakutan.”
Azka refleks terkekeh pelan saat mendengar ucapan Livia. Ia hanya diam, membiarkan sang sahabat terus-menerus mengunci dirinya pada ketiak bagian kanan.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, karena mereka berdua sontak menghentikan aktivitas yang sedang dilakukan, saat tiba-tiba saja mendengar suara seorang perempuan tengah memanggil nama Azka dari arah belakang.
Azka spontan menoleh ke arah belakang, kemudian segera merubah tatapan menjadi sangat datar kala melihat sosok Vanessa tengah berdiri tepat di belakang dirinya sambil mengukir senyuman begitu sangat manis.
“Hai, Az … ternyata kamu juga ada di sini ….” Vanessa melangkahkan kaki mendekat, lantas mendudukkan tubuh tepat di sisi kiri Azka sambil terus-menerus mengukir senyuman begitu sangat manis. “Kamu lagi beli apa di sini? Mau aku bantu pili—”
“Liv, handphone lu udah selesai, tuh,” potong Azka, kala melihat handphone milik sang sahabat telah terpasang tempered glass baru.
Mendengar hal itu, membuat Livia yang sedang menatap penuh tanda tanya ke arah Vanessa sesegera mungkin mengalihkan pandangannya, lantas bergegas mengambil handphone miliknya dari atas etalase samping tempat mereka berada.
Tepat setelah Livia mengambil handphone miliknya, pegawai perempuan tadi kembali dengan membawa case serta earphone gaming.
Pegawai perempuan itu mengukir senyuman manis ke arah mereka bertiga, sebelum membuka earphone serta case yang sedang dirinya bawa. “Yang modelnya seperti ini, Kak? Atau diubah lagi?”
Pegawai perempuan itu memajukan dua pilihan case dan earphone ke atas etalase, menggesernya sedikit agar Azka dan Livia bisa melihat dengan sangat jelas—case matte hitam dan satu lagi abu-abu, earphone model in-ear dengan desain sederhana clean, satu kabel dan satu wireless.
Livia mengamati dua pilihan itu, tetapi sebelum dirinya sempat memberikan respons, Vanessa terlebih dahulu membuka suara.
“Yang hitam kayaknya cocok, deh. Lebih elegan dan kelihatan premium buat Azka. Terus earphone yang wireless, ya, Mbak. Biar nggak ribet kabel—”
“Bukan lu yang milih,” potong Azka dengan begitu sangat datar, tanpa menaikkan volume suaranya, tetapi sangat tegas untuk membuat Vanessa seketika terdiam seribu bahasa. Ia mengalihkan pandangan ke arah Livia, lantas menggerakkan tangan untuk memberikan elusan lembut di puncak kepala sahabat baiknya itu—memberikan kode agar sesegera mungkin memberikan pilihan untuk dirinya.
Livia refleks sedikit melebarkan mata saat tiba-tiba saja mendapatkan elusan dari Azka, tetapi itu tidak berlangsung lama, lantaran dirinya mengangguk pelan dan segera mengalihkan pandangan ke arah depan—menyadari kode yang telah diberikan oleh sang sahabat—mengamati sekilas barang, lalu menunjuk case abu-abu dan earphone yang memiliki kabel. “Yang ini aja, Mbak. Wireless gampang delay soalnya kalau buat gaming.”
“B-baik, Kak,” jawab pegawai itu, mengambil kotak handphone, case, serta earphone yang telah dipilih oleh Livia, lantas mulai menghitung total semuanya sebelum memasukannya ke dalam sebuah paper bag toko berwarna putih, “Total semuanya dua puluh juta rupiah, Kak.”
Azka mengangguk paham, segera mengambil dompet dari dalam saku celana dan mengeluarkan sebuah kartu ATM miliknya, lantas menyerahkannya kepada pegawai perempuan itu. “Sekalian bayar tempered glass punya dia, Mbak.”
Pegawai perempuan itu kembali mengangguk sopan, menerima kartu ATM dari tangan Azka dan segera melangkahkan ke mesin EDC.
Sementara itu, suasana di sekitar etalase menjadi sedikit hening—bukan karena canggung, melainkan karena energi yang mendadak berubah sepenuhnya setelah ucapan datar Azka kepada Vanessa tadi.
Vanessa masih terus diam, jari-jemari ramping nan lentik miliknya mengepal di atas pangkuan. Ia menundukkan kepala, bukan karena malu—melainkan karena sedang menahan sesuatu yang lebih dalam dan juga gelap.
“Silahkan masukkan PIN-nya, Kak,” ujar pegawai perempuan itu, memecah keheningan di sekitar etalase.
Azka sesegera mungkin memasukkan PIN tanpa ragu, lalu menyerahkan kembali mesin kepada pegawai itu.
“Terima kasih, Kak,” sahut pegawai itu sambil memberikan paper bag serta struk pembelian.
Azka mengambil paper bag serta struk dari tangan pegawai perempuan itu, lantas menggenggam tangan kanan Livia dan mulai bangun dari atas tempat duduknya.
“Karena lu yang milihan semuanya. Jadi, lu yang harus bawa,” kata Azka, menyerahkan paper bag kepada Livia saat mereka telah berdiri.
Livia menggeleng-gelengkan kepala pelan, menerima paper bag itu seraya membiarkan Azka terus-menerus menggenggam tangan kanannya. “Kalau semua gini terus, gue bisa daftar kerja sebagai manajer pribadi lu, tau.”
Azka mengangkat kedua bahu pelan, sembari mulai melangkahkan kaki menuju pintu keluar toko—meninggalkan Vanessa yang masih terdiam di tempat semula. “Silahkan, gaji di gue lumayan, kok.”
Livia hanya kembali menggeleng-gelengkan kepala pelan saat mendengar jawaban yang telah diberikan oleh Azka, sembari mengikuti langkah kaki sang sahabat yang masih terus menggenggam tangannya.
Sepeninggal Azka dan Livia, Vanessa semakin mengencangkan kepalan pada kedua tangannya sambil merubah tatapan menjadi begitu sangat tajam—seolah dirinya bisa membunuh siapapun hanya dengan melihat mereka.
“Berani-beraninya … berani-beraninya dia mesra-mesraan sama Azka! Gue pastiin … gue pastiin ngerebut Azka dari dia … apa pun yang terjadi pada nantinya!”