Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Dia Kembali
🦋
Wira kembali ke rumah Mbah Santoso, membawa seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar lima tahun. Bocah itu diam, tak menangis sedikit pun. Matanya yang sendu menatap kosong, wajah polosnya yang menggemaskan mengundang perasaan iba. Pakaian rumah sakit yang masih melekat di tubuhnya menunjukkan bahwa ia belum benar-benar sehat.
Mereka duduk berhadapan dengan Mbah Santoso, yang sedang memejamkan matanya. Wira menunggu dengan hati-hati, tak ingin mengganggu.
"Mbah... aku membawa anak laki-laki yang Mbah minta," suara Wira terdengar pelan, penuh harap. Hari ini, ia yakin usahanya akan berbuah.
Mbah Santoso membuka matanya perlahan, tatapannya langsung tertuju pada bocah kecil di samping Wira. Bagi orang biasa, ia mungkin hanya anak kecil biasa. Tapi bagi Mbah, bocah itu sangat istimewa.
"Bagus... kau telah menunaikan perintahku dengan baik," ucap Mbah Santoso dengan suara berat penuh arti.
"Terima kasih, Mbah. Lalu...?"
Dari balik jubahnya, Mbah Santoso mengeluarkan sebuah kain hitam yang sudah diikat rapi.
"Ini untuk penggaris tokomu. Letakkan benda ini di tempat penyimpanan uangmu."
Wira menerima kain itu dengan mata berbinar, seolah melihat kekayaan sudah berada dalam genggamannya. Kini, beban yang selama ini menghimpit pundaknya mulai terangkat.
"Terima kasih, Mbah."
Lalu, Wira menatap bocah kecil itu. "Nak... kamu akan tinggal di sini bersama Mbah. Mbah akan membantumu mencari orangtuamu. Mau kan?"
Anak itu mengangguk pelan. "Iya, Om."
Wira tersenyum lembut. "Anak pintar."
Setelah berpamitan, Wira melangkah keluar dengan wajah penuh kebahagiaan. Akhirnya, ia bisa melanjutkan usaha ayahnya tanpa khawatir lagi.
Anak laki-laki itu berjalan tanpa tujuan jelas saat ditemukan Wira di pinggir jalan. Ia kabur dari rumah sakit, mencari kedua orangtuanya yang katanya hilang setelah kecelakaan tragis. Keduanya meninggal di tempat, tapi keluarga memutuskan untuk merahasiakannya sampai kondisi anak itu benar-benar pulih.
Mbah Santoso meraih tangan kecil itu dan mengajaknya masuk ke sebuah kamar khusus. Kamar itu berisi sebuah kristal besar yang memancarkan cahaya putih berkilauan, sebuah penjara jiwa yang misterius.
"Masuklah. Nanti malam, aku akan membawamu bertemu keluargamu," kata Mbah Santoso penuh makna.
Anak itu membuka pintu perlahan, menatap ruangan penuh cahaya itu dengan rasa kagum. Matanya tertuju pada kristal bercahaya yang bersinar lembut.
"Sangat indah..." gumamnya, dengan senyum manis mulai terbentuk.
Namun tiba-tiba, kepalanya berputar hebat. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya goyah dan akhirnya ia pingsan.
***
Malam semakin larut, Kiran terbangun dengan perasaan gelisah yang tak bisa dijelaskan. Kamar gelap membungkusnya, sunyi menusuk hingga membuat hatinya berdebar. Ia mencoba menenangkan diri, namun pikirannya malah terus berputar.
Di perjalanan menuju dapur untuk minum air, matanya terpaku pada jam dinding 23.30 malam. Ia berbalik ke kamar dan duduk di tepi ranjang, menyalakan lampu. Mata Kiran tertuju pada cermin, di mana sebuah tulisan samar berwarna merah terbaca jelas
"Bangun."
"Apa maksud tulisan ini...?" pikirnya keras.
Gemetar, Kiran meraih ponsel dan mulai mengetik pesan. Sebuah firasat bahwa sesuatu akan terjadi, meski ia belum tahu apa.
Ia menatap ke luar jendela, memandangi bulan terang dan taburan bintang yang berkilau, sedikit meredakan kecemasan dalam dadanya.
Tiba-tiba, sebuah pelukan hangat menyergap dari belakang.
"Ada apa, sayang?" Edwin berbisik, menyembunyikan wajahnya di leher Kiran, menghirup aroma mawar yang menenangkan.
"Aku bermimpi aneh..." jawab Kiran sambil melepas pelukan.
Edwin berdiri, mendekati cermin, menyentuh tulisan merah itu. "Ini baru saja ditulis, kan? Kau yakin sudah mengunci semua pintu dan jendela?"
"Aku pastikan," kata Kiran.
"Mungkin ada sesuatu yang tidak beres. Dimana Auliandra sekarang?"
"Auliandra di mansion ‘mereka’. Aku yang mintanya menjaga ‘mereka’ dan Anthony."
"Baiklah. Aku akan mengantarmu ke kamar Jevan"
"Untuk apa?"
"Aku harus menyelidiki ini. Kau harus tinggal di sana dulu, agar aman."
Kiran menelan berat, sebenarnya tidak nyaman berada di satu kamar dengan Jevano, tapi tak ada pilihan lain.
Tok... tok... tok...
"Jevan... belum tidur?"
Suara Kiran terdengar gugup.
Jevano menatap Edwin lalu Kiran, bertanya-tanya maksud kunjungan tengah malam ini.
"Aku ada urusan mendadak, jadi titip Kiran dulu," kata Edwin singkat.
Jevano mengangguk tanpa kata.
Edwin mengelus kepala Kiran lembut. "Sayang, kau di kamar Jevan dulu ya. Jangan keluar sebelum aku kembali."
"Iya," jawab Kiran pelan.
Pintu kamar tertutup dengan keras, menandai awal malam yang penuh ketegangan.
Kiran berdiri canggung di depan jendela, memandang bintang demi menenangkan diri. Jevano mendekat, memeluknya erat dari belakang, menyembunyikan wajah di lehernya.
"Aku senang kau di sini," lirih Jevano.
Kiran berbalik, matanya menatap wajah yang selama ini sulit ia lupakan.
"Apa kau tidak senang bersama Auliandra?"
Jevano tersenyum tipis. "Wajahnya memang sama, tapi Auliandra tidak seperti kamu."
Dengan lembut, ia mengangkat Kiran ke pangkuannya, memeluknya erat.
"Apa yang kau lakukan?!" Kiran gugup, tubuhnya kaku.
"Aku hanya merindukanmu," bisik Jevano penuh kerinduan.
Keringat dingin mengalir di pelipis Kiran saat malam itu mereka berbagi kehangatan yang selama ini terpendam.
"Malam ini begitu dingin, kenapa cintaku berkeringat hmm?" Jevan menyeka keringat di pelipis Kiran dengan tangan kekarnya
Kiran berusaha bangun dari pangkuan Jevano namun Jevano tetap menahan tubuh Kiran agar tidak bangun.
"Jevan... aku tidak nyaman"
"Tapi aku nyaman"
"Auliandra akan marah jika kamu seperti ini"
"Auliandra itu jiwamu yang satunya, jadi apa salahnya? lagipula Auliandra juga tau apa yang kita lakukan saat ini" lirih Jevano kembali memeluk erat tubuh ramping Kiran, tangannya mengelus-ngelus punggung Kiran
Ini yang Kiran tidak suka dari Jevano. Jevano akan menjadi pria hyper jika bersama Kiran sedangkan jika bersama Auliandra ia akan menjadi pria lembut dan penyayang
***
Di dalam kamar jiwa, anak laki-laki itu membuka matanya perlahan. Wajahnya datar, tatapannya kosong. Ia berdiri dan berjalan ke jendela, cahaya bulan menerangi wajahnya tanpa ekspresi.
"Aku kembali..." bisiknya pelan.
Mbah Santoso membuka pintu, senyum sinis menghiasi bibirnya.
"Akhirnya berhasil juga," ucapnya lirih.
Ia menggandeng tangan bocah itu, mengajaknya keluar menuju tempat yang telah disiapkan.
Di sebuah tanah lapang sunyi diterangi cahaya bulan purnama, Shara berdiri di tengah, mendengarkan bisikan angin yang memanggil namanya.
"Shara!"
Mbah Santoso tiba dengan anak laki-laki di sebelahnya.
"Siapa dia?" tanya Shara.
"Cucumu," jawab Mbah Santoso.
Shara terkejut, tidak percaya. "Bagaimana bisa?"
Mbah Santoso menjelaskan bahwa tubuh anak itu cocok dengan jiwa yang selama ini mereka simpan. Ini adalah tubuh ketujuh yang diterima, setelah enam tubuh sebelumnya hancur karena kekuatan jiwa itu terlalu besar.
"Bawalah pulang cucumu," perintah Mbah Santoso.
Dengan tangan gemetar, Shara menyentuh wajah anak itu, merasakan campuran kebahagiaan dan harapan.
"Panggil aku nenek," pinta Shara.
Anak itu diam saja, seolah linglung.
"Kenapa tidak merespons?" tanya Shara cemas.
"Tenang, jiwa itu masih beradaptasi. Letakkan dia di kamar Valora," jawab Mbah Santoso.
"Kenapa kamar Valora?"
"Di sana masih ada energi yang akan membantu pemulihan."
Shara mengangguk, lega. "Terima kasih, Mbah. Uang akan aku kirim seperti biasa."
Mbah Santoso mengangguk dan pergi meninggalkan mereka.
Shara membawa anak itu ke kamar Valora. Lampu di kamar gelap dan tidak menyala, mungkin karena listrik konslet.
"Nak, tidak apa-apa tidur dalam gelap. Bulan malam ini sangat terang," kata Shara membuka tirai balkon.
Ia membimbing anak itu masuk dan menutup pintu.
"Besok pagi nenek akan minta ayahmu untuk membangunkanmu."
Anak itu mengangguk. Shara pergi meninggalkan anak itu sendiri.
Di kegelapan, suara kecil terucap dengan penuh tanda tanya
"Siapa aku...?"
🦋To be continued...