NovelToon NovelToon
Pengantin Dunia Lain

Pengantin Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Hantu
Popularitas:749
Nilai: 5
Nama Author: BI STORY

Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kakak Ipar Mistik

​Kamar tidur utama milik Reno sangat luas dan elegan, tetapi malam ini terasa dingin.

​Reno sudah berganti pakaian santai, duduk di tepi tempat tidur sambil melepas dasi.

Lilis berdiri di depan cermin besar, melepaskan perhiasan pengantinnya satu per satu dengan gerakan yang presisi dan tidak tergesa-gesa.

​Reno memandang Lilis, ada perasaan lega yang bercampur dengan kelelahan.

Reno menghela napas.

"Akhirnya selesai juga. Kamu tahu, aku merasa seperti baru saja melewati balapan marathon. Setidaknya, sekarang aku bisa bernapas lega. Niat Papa Mama menjodohkanku dengan Clarissa benar-benar membuatku gila."

​Lilis meletakkan kalung berlian di atas meja rias, tatapannya melalui cermin bertemu dengan tatapan Reno.

"Aku tahu, Reno. Itu sebabnya aku di sini. Aku akan memastikan kamu tidak perlu mengkhawatirkan perjodohan atau Clarissa lagi. Tidak akan pernah."

​Reno berjalan mendekat, meraih tangan Lilis.

"Terima kasih, Lis. Kamu benar-benar penyelamatku. Aku tahu pernikahan ini terkesan terburu-buru, dan aku menghargai kesediaanmu."

​Reno berniat mencium Lilis, tetapi Lilis memiringkan kepalanya sedikit, membuat ciuman itu hanya mengenai pipinya.

"Aku mengerti. Kita tidak perlu terburu-buru. Aku tahu kamu lelah. Aku juga perlu waktu untuk menyesuaikan diri di rumah baru ini."

​Reno menarik tangannya, merasa sedikit canggung, tetapi menerima.

"Baiklah. Tentu saja. Kita punya waktu seumur hidup."

​Reno naik ke tempat tidur, menyelimuti dirinya.

"Selamat malam, ya?"ucap Reno.

​Lilis berdiri memandang Reno dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Selamat malam, Reno. Tidurlah yang nyenyak."

​Reno memejamkan mata. Lilis berdiri mematung di tengah ruangan sampai Reno terdengar mendengkur halus.

​Lilis berjalan ke arah ranjang, tetapi tidak tidur. Ia hanya berdiri di sampingnya selama beberapa saat, mengawasi Reno yang tertidur.

Kemudian, tatapannya beralih ke jendela yang gelap.

​Lilis mengeluarkan selembar kertas yang terlipat dari saku gaun tidurnya. Di dalamnya ada sketsa wajah seorang wanita yang sangat mirip dengannya.

Aline, kembarannya.

​Lilis mencium sketsa itu, lalu meletakkannya kembali.

​Ia memejamkan mata, dan seketika, tubuh Lilis mulai kehilangan kekuatannya. Bukan dalam artian lemah, tetapi ia mulai kehilangan massa.

​Ia tidak berjalan menuju pintu. Ia melayang, tanpa suara, menembus pintu kamar seolah-olah pintu itu tidak ada.

​Lilis melayang di koridor yang panjang. Cahaya bulan bersinar samar dari jendela.

​Di depannya, ia melihat bayangan Bu Ninda yang tampak gelisah, baru saja keluar dari kamar tidurnya dan berjalan ke ujung koridor, mungkin menuju dapur untuk minum.

​Bu Ninda berhenti, merasakan hawa dingin yang tiba-tiba. Ia berbalik, tetapi tidak melihat apa-apa. Jantungnya berdebar kencang. Ia mengusap lengannya dan mempercepat langkahnya menuruni tangga.

​Lilis, yang masih melayang di balik bayangan pilar, hanya melihat kepergian Bu Ninda dengan ekspresi tanpa emosi.

​Lilis melanjutkan perjalanannya, ia melewati kamar Zian. Zian masih terbangun, memeluk lututnya, wajahnya terpantul di layar ponsel yang menyala. Di bawah selimut, lampu tidurnya masih menyala.

​Lilis berhenti sejenak, melayang di samping pintu, seolah-olah ia bisa melihat menembus kayu itu. Ia membiarkan bayangannya sejenak jatuh di celah bawah pintu.

​Di dalam kamar, Zian tiba-tiba merasa bulu kuduknya berdiri. Ia mematikan ponselnya dan memeluk lututnya lebih erat. Ia menatap ke arah pintu, yakin

ada sesuatu di sana.

​Lilis tersenyum kecil, seringai yang tipis dan dingin.

​Ia melanjutkan perjalanannya.

​Lilis melayang keluar melalui jendela kaca besar ruang keluarga, tanpa membukanya.

​Ia melayang perlahan menuju ayunan taman antik yang terletak di bawah pohon beringin tua.

​Lilis mendarat di bangku ayunan dengan keheningan total. Ia duduk di sana, sendirian di tengah taman yang gelap.

​Ia mengambil sketsa Aline lagi, memandanginya dengan tatapan yang sangat melankolis.

Lilis/Alice berbisik, suaranya seperti bisikan angin.

"Aku kangen kamu, Aline. Aku sudah ada di sini. Di rumah ini."

​Air mata, yang terasa dingin seperti embun, mengalir di pipi Lilis, tetapi air mata itu menghilang sebelum mencapai dagunya.

​Lilis menutup mata, mengayunkan dirinya perlahan di ayunan yang sunyi. Ia bergoyang maju mundur, seorang hantu pengantin baru dengan kesedihan dan ancaman yang tersimpan.

​​Pagi hari. Kamar Zian masih remang-remang karena ia sengaja menutup tirai rapat-rapat.

Zian sudah berpakaian seragam, tetapi ia duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya sedikit gemetar.

​Ia membolak-balik buku pelajaran di pangkuannya, tetapi matanya tidak fokus. Wajahnya terlihat pucat dan lelah. Ia tidak berani mematikan lampu tidurnya semalam.

​Ia mengangkat lengan seragamnya. Memar-memar bekas cengkeraman di lengannya, yang semalam terasa panas, kini terlihat lebih jelas, warnanya ungu gelap, kontras dengan kulitnya yang putih.

​Zian dengan cepat menarik lengan bajunya ke bawah, matanya berkaca-kaca. Ia merasa takut, bukan hanya pada pembulian di sekolah, tetapi juga pada pandangan "Kak Lilis" semalam yang seperti melihat menembus dirinya.

​Tiba-tiba, ada ketukan di pintu, disusul suara Reno.

"Zian, ayo sarapan! Kamu bisa terlambat."

​Zian menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.

"Y-ya, Bang! Sebentar lagi!"

​Ia berjalan ke cermin, berusaha memaksakan senyum tipis. Ia mengusap matanya dan keluar dari kamar.

​Ruang makan mewah, tetapi suasananya kaku. Reno, Bu Ninda dan Lilis sudah duduk di dekat meja.

​Bu Ninda tampak tegang. Ia menatap ke luar jendela sesekali, ke arah taman belakang.

​"Pasti tukang kebun lupa menyiram bunga... tapi tidak mungkin secepat itu..."

​Reno sambil membaca HP bertanya,

"Ada apa, Ma?"

"Tidak apa-apa, Ren. Sarapanmu dingin nanti."

​Zian masuk, berjalan lesu ke kursinya.

"Wah, Adikku yang paling rajin! Kenapa mukamu kusut begitu? Kamu tidak tidur semalam?"

​Zian duduk, menghindari kontak mata.

"Tidur, Bang. Cuma... perutku masih sedikit sakit. Aku rasa aku tidak enak badan."

​Ia mengambil sepotong roti, tetapi tidak menyentuhnya.

​Reno menaruh HP.

"Aduh, kalau sakit, jangan memaksakan diri. Bagaimana kalau hari ini izin lagi saja?"

​Zian tiba-tiba panik

"Nanti aku ketinggalan pelajaran! Aku baik-baik saja, sungguh Bang!"

​Zian memaksakan diri untuk menggigit rotinya, tetapi ia tampak hampir tersedak. Ia hanya tidak ingin sendirian di rumah ini, tetapi ia juga tidak ingin bertemu para pembulinya.

​Lilis, yang sedari tadi hanya mengamati, kini meletakkan garpunya dengan suara dentingan kecil yang tajam. Semua mata tertuju padanya.

​Lilis suaranya tenang dan tegas.

"Zian terlihat tidak baik-baik saja, Reno."

​Reno memandang Lilis dengan heran.

"Kamu lihat? Lilis tahu kau sakit. Dia memang sensitif."

​Lilis mengabaikan Reno. Ia memandang Zian, tatapannya dingin dan menenangkan secara aneh.

​"Kamu bisa pergi ke sekolah. Aku jamin, hari ini kau akan baik-baik saja. Kamu tidak perlu takut."

​Zian gugup,

"Aku gak takut, Kak Lilis."

​Lilis tersenyum tipis, menyeramkan.

"Tentu saja. Karena tidak ada alasan untuk takut lagi. Siapa pun yang berani mengganggumu, mereka akan berurusan denganku."

​Bu Ninda menatap Lilis dengan kaget. Ini bukan pembicaraan wajar seorang kakak ipar.

​"Lilis, jangan menakutinya. Itu namanya bullying, kita harus lapor ke sekolah, bukan?" tanya Bu Ninda.

​Lilis membalas ucapan Bu Ninda dengan kejam, tanpa menoleh.

"Penyelesaian yang efisien jauh lebih baik daripada birokrasi, Bu."

​Lilis kemudian beralih lagi ke Zian, kehangatan semu kembali dalam suaranya yang dingin.

​"Aku akan mengantarmu, Zian."

​Zian terkejut. Reno juga.

"Wah, itu ide bagus, Sayang! Mobilku sedang dipakai driver ke bengkel." kata Reno.

​Zian hampir berbisik, panik.

"Tidak perlu, Kak! Aku bisa naik taksi!"

​Lilis mengambil tas tangan dan kunci mobil dari meja, menatap Zian dengan intens.

"Aku bersikeras. Aku adalah anggota keluarga sekarang dan aku akan menjaga apa yang menjadi milikku. Lagipula, aku juga perlu melihat di mana adik iparku menuntut ilmu."

​Lilis berdiri.

"Ayo, Zian. Jangan terlambat."

​Zian merasa kakinya lemas, tetapi ia tidak berani menolak. Ia merasa terjebak.

"B-baik, Kak."

​Lilis tersenyum puas. Itu adalah senyum yang tidak mencapai matanya.

​Bu Ninda hanya bisa menatap punggung Lilis yang berjalan keluar, diikuti Zian yang seperti kehilangan roh.

Bu Ninda berbisik kepada Reno,

"Istrimu... dia bukan orang biasa, Reno."

​Reno tidak mendengar, ia sibuk membalas pesan di ponselnya.

​​Mobil Reno yang mewah melaju keluar dari gerbang. Lilis menyetir dengan sangat mulus.

​Di dalam mobil, suasananya hening.

Zian mencoba memecah keheningan.

"Kak Lilis tidak perlu merepotkan diri..."

​Lilis matanya lurus ke depan, tetapi ia memandang Zian dari pantulan kaca spion.

"Aku tidak merasa direpotkan. Kamu adalah adik Reno dan aku harus melindungi keluargaku."

​Lilis tiba-tiba memperlambat mobilnya.

"Tunjukkan padaku di mana mereka?"

​Zian bingung.

"Siapa?"

​Lilis nada suaranya menjadi sangat dingin, hampir mengancam.

"Anak-anak sekolah yang menyakitimu. Mereka di sekolahmu, kan? Di mana mereka biasanya berada sebelum bel masuk? Tunjukkan padaku?"

​Zian gemetar. Lilis tidak mengajaknya untuk lapor guru. Lilis terdengar seperti sedang merencanakan sesuatu yang lebih gelap.

​Zian menggigil.

"Aku... aku tidak tahu, Kak."

​Lilis menghentikan mobil. Ia memutar kepalanya dan menatap Zian. Meskipun wajahnya cantik dan tenang, ada sesuatu yang sangat kuno dan berbahaya di matanya.

​"Kamu akan memberitahuku, Zian. Aku akan pastikan kamu tidak akan terluka lagi. Tapi mereka..."

​Lilis tersenyum lebar, menunjukkan gigi putihnya yang sempurna.

​"Mereka akan mengerti apa artinya rasa sakit yang sesungguhnya."

​Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!