 
                            Aprilia, gadis desa yang dijodohkan dengan Vernando, pria tampan dan kaya raya, harus menelan pil pahit kehidupan. 
Alih-alih kebahagiaan, ia justru menerima hinaan dan cacian. Vernando, yang merasa memiliki istri "jelek" dan "culun", tak segan merendahkan Aprilia di depan teman-temannya. 
Kesabaran Aprilia pun mencapai batasnya, dan kata "cerai" terlontar dari bibirnya. 
Mampukah Aprilia memulai hidup baru setelah terbebas dari neraka pernikahannya? Atau justru terjerat dalam masalah yang lebih pelik?
Dan Apakah Vernando akan menceraikan Aprilia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Surga Dunia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 22
Pagi Hari
Aprilia membuka matanya saat alarm ponsel nya berdering, memecah keheningan pagi. Ia bangkit dari ranjang, merasakan hawa dingin menusuk kulitnya.
Tanpa berlama-lama, ia bergegas keluar, menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Karna kamar tamu itu tak memiliki kamar mandi.
Langkah Aprilia terhenti di ambang pintu dapur. Mbak Yuli, sudah sibuk dengan peralatan masak. Aroma kopi menyeruak, bercampur dengan bau rempah yang menggugah selera.
"Mbak Yuli," sapa Aprilia, sedikit terkejut.
Mbak Yuli menoleh, matanya membulat. "Lho, Pril? Kok kamu ada di sini?" tanyanya, tampak heran.
Aprilia tersenyum canggung. "Mulai hari ini, saya yang jadi pengasuh Zio, Mbak. Semalam saya menginap di sini."
"Oh, ya sudah," sahut Mbak Yuli singkat, kembali fokus pada pekerjaannya.
Aprilia mengangguk, lalu melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Setelah membasuh wajahnya, ia baru menyadari masalahnya.
Jika ia mandi sekarang, ia tidak punya pakaian ganti. Handuk pun tidak ia bawa.
Dengan ragu, Aprilia menghampiri Mbak Yuli yang sedang menyiapkan bahan-bahan masakan. "Mbak, Aku mau tanya," ujarnya, sedikit bimbang.
Mbak Yuli menoleh. "Ada apa, Pril? Kok kamu belum mandi?"
"Saya nggak bawa baju ganti, Mbak. Handuk juga nggak ada," jawab Aprilia, merasa tidak enak.
Mbak Yuli berpikir sejenak. "Di laci kamar tamu ada handuk baru, kok. Memang selalu disiapkan di sana. Kamu bisa pakai itu. Tapi kalau baju, maaf, nggak ada, Pril."
"Ya sudah, nggak apa-apa deh, Mbak. Yang penting Aku bisa mandi," jawab Aprilia, merasa lega.
Ia pun bergegas menaiki tangga menuju kamar tamu yang berada di pojok rumah. Pikirannya sudah membayangkan segarnya air yang akan membasuh tubuhnya.
Beberapa saat berlalu, Aprilia keluar dari kamar mandi, mendapati Yuka sudah duduk tenang di meja makan.
Namun Zio, anak laki-laki itu, belum tampak batang hidungnya. Hatinya bertanya-tanya, apakah anak itu masih terlelap?
"Pak Yuka," sapa Aprilia ragu, "apa Zio boleh dibangunkan sekarang?"
Yuka menoleh. "Ini baru jam enam. Nanti saja. Biasanya Zio saya bangunkan jam tujuh, berangkat sekolah jam delapan, lalu pulang jam satu siang."
Aprilia mengerutkan kening. "Saya pikir Zio pulangnya sore, Pak. Soalnya, kemarin-kemarin dia selalu pulang sore."
Yuka menghela napas pelan. "Iya, karena kami baru beberapa hari ini pulang dari luar negri. Saya belum dapat pengasuh yang cocok untuk Zio. Jadi, setelah sekolah, sopir menjemputnya dan mengantarnya ke kantor saya. Dia menunggu sampai saya selesai kerja, baru kami pulang bersama sorenya."
Aprilia mengangguk-angguk, mencoba memahami.
"Nah, berhubung kamu sudah jadi pengasuh Zio," lanjut Yuka, menatap Aprilia dengan mantap, "mulai sekarang, kalau sekolahnya sudah selesai, langsung bawa pulang saja. Ajak dia main atau belajar. Jangan biarkan dia keluyuran."
"Baik, Pak," jawab Aprilia, merasa lega sekaligus tertantang. Tugas barunya sudah dimulai.
Aprilia menatap Yuka, hatinya berdebar. "Begini, Pak," ucapnya ragu, "apa saya boleh menginap... sekitar dua hari lagi di sini?"
Yuka mengangkat alis. "Silakan. Malah lebih bagus kalau kamu menginap terus di sini."
Mata Aprilia berbinar. "Terima kasih, Pak."
"Kalau begitu, saya bereskan kamar Zio dulu, ya? Sambil menunggu jam tujuh untuk membangunkannya."
Yuka hanya mengangguk, kembali fokus pada kopi dan laptopnya. Aprilia berbalik, langkahnya ringan menuju kamar Zio. Ada kelegaan yang memenuhi hatinya. Mungkin, tinggal di rumah ini tidak akan seburuk yang ia bayangkan.
***
"Di mana Aprilia?" tanya Dayana, suaranya langsung memecah keheningan rumah Vernando. Ia datang tanpa pemberitahuan, seperti kebiasaannya.
Vernando, yang baru saja terbangun, mengucek matanya. "Kenapa Ibu tidak mengabari dulu?" tanyanya dengan nada sedikit kesal.
"Apa aku perlu izinmu dulu untuk berkunjung ke sini?" balas Dayana, tatapannya tajam.
"Bukan begitu, Bu, tapi aku..." Vernando menggantung kalimatnya, merasa percuma menjelaskan.
"Sudah, Ibu tidak ingin dengar apa pun. Di mana Aprilia?" desak Dayana, tidak sabar.
Vernando menghela napas. "Dia sedang kuhukum. Tidak boleh pulang ke rumah selama tiga hari."
"Astaga! Kenapa kau menghukumnya?" Dayana terkejut, suaranya meninggi.
"Dia bekerja tanpa meminta izin padaku, Bu! Aku merasa tidak dihargai. Awalnya, aku menghukumnya agar tidak keluar kamar untuk merenung, tapi dia bersikeras tetap ingin bekerja, jadi aku mengusirnya. Selama tiga hari tidak boleh pulang," jelas Vernando dengan nada kesal.
"Bodoh! Apa kau lupa, seberapa penting Aprilia untuk kita!" bentak Dayana, emosinya meluap.
"Dia tidak akan ke mana-mana, Bu. Tenanglah," jawab Vernando, berusaha meredakan amarah ibunya.
"Apa kau masih bisa tenang setelah sepupumu itu pulang! Dia akan merebut kembali posisi pewaris itu!" seru Dayana, matanya berkilat marah.
"Aduh, Bu, Kakek belum mengumumkan siapa pewaris keluarga kita. Lagi pula, dengan Kakek menyukai Aprilia, sudah pasti aku yang menjadi pewarisnya. Kakek tidak mungkin menjadikan Yuka sebagai pewaris dengan reputasi buruknya di masa lalu," ucap Vernando, terdengar terlalu percaya diri.
"Jangan terlalu senang! Kita tidak bisa diam saja, Vernando! Patuhlah jika kau masih menginginkan posisi itu!" bentak Dayana sekali lagi, lalu berbalik dan pergi meninggalkan Vernando yang tampak kesal dan kebingungan. Suasana tegang menggantung di udara, menyisakan Vernando dengan pikirannya yang berkecamuk.
Vernando bergegas ke dapur, mencari Mbok Ratmi. "Mbok, apa ada kabar dari Aprilia?"
Mbok Ratmi menggeleng. "Belum, Tuan. Non April tidak mengirim pesan atau menelepon saya."
"Coba telepon dia sekarang," titah Vernando, tidak sabar.
Dengan ragu, Mbok Ratmi mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Aprilia. Setelah beberapa saat, terdengar suara dari seberang.
"Halo, Mbok," sapa Aprilia.
"Apa kau masih tidak ingin pulang?!" Vernando merebut ponsel dari tangan Mbok Ratmi, emosinya tersulut.
"Aku sedang bekerja. Aku akan pulang nanti malam," jawab Aprilia dengan nada tenang, namun terdengar tegas.
"Sudah bisa membantah, ya?!" bentak Vernando, merasa harga dirinya diinjak-injak.
"Maaf, Vernando, tapi aku harus bekerja. Aku akan kembali malam hari, nanti kita bicarakan lagi," ucap Aprilia, lalu langsung memutuskan panggilan.
Vernando dengan kesal mengembalikan ponsel ke Mbok Ratmi. Ia merasa ada yang berbeda dari Aprilia.
Keberanian macam apa yang tiba-tiba muncul pada diri gadis itu? Vernando merasa kesal karena Aprilia mulai berani melawannya. Ada perasaan tidak nyaman yang mulai menggerogoti hatinya.
***
Aprilia membangunkan Zio dengan sentuhan lembut. "Zio, bangun, yuk," bisiknya sambil mengusap lembut kepala anak itu.
Zio mengerjapkan matanya, lalu tersenyum lebar saat melihat Aprilia di hadapannya. "Kak April," gumamnya senang, langsung memeluk Aprilia erat.
"Mandi, yuk? Kak April sudah siapkan air hangat, loh," bujuk Aprilia dengan nada riang.
Zio mengangguk semangat. Aprilia pun dengan cekatan membuka baju Zio dan menggendongnya menuju kamar mandi.
Dengan hati-hati, Aprilia mendudukkan Zio di bathtub yang sudah terisi air hangat. Ia mulai menggosok lembut tubuh Zio dengan sabun, menciptakan busa-busa putih yang menggelitik kulit anak itu.
Setelah beberapa saat, Aprilia mengangkat Zio dari bathtub, membungkusnya dengan handuk lembut, lalu menggendongnya keluar dari kamar mandi.
Aprilia mulai memakaikan baju seragam sekolah pada Zio, menyisir rambutnya dengan rapi, dan menyemprotkan sedikit parfum anak-anak yang harumnya segar.
"Terima kasih, Kak April," ucap Zio tulus, menatap Aprilia dengan mata berbinar.
"Sama-sama, sayang," jawab Aprilia lembut, mencium pipi Zio sekilas.
TOK TOK
Suara ketukan pintu menginterupsi mereka. Yuka masuk ke kamar Zio.
"Papa," sapa Zio riang, melambaikan tangan pada ayahnya.
"Hai, sayang," balas Yuka, tersenyum hangat pada putranya.
"Ini, seragam kamu mulai sekarang," ucap Yuka sambil menyodorkan setelan berwarna pink.
"Terima kasih, Pak," ucap Aprilia, menerima seragam itu dengan sedikit terkejut. Pilihan warna yang tidak biasa.
 
                     
                     
                    