Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Maisa sudah duduk di sofa beludru mewah itu selama hampir satu jam, di lobi kantor Jayden. Berkali-kali ia mengecek jam tangan bermerek di pergelangan kirinya, lalu beralih menatap layar ponsel yang gelap. Tak ada pesan, tak ada panggilan masuk.
“Tsk… belum juga Jay datang,” gumamnya kesal.
Sebenarnya, Maisa sudah mencoba naik ke lantai atas. Ia ingin menunggu di ruang kerja Jayden yang nyaman. Namun Feli, sang resepsionis melarang.
Pandangan Maisa kemudian terpaku pada pintu kaca otomatis yang terbuka. Sosok yang masuk bukanlah Jayden, melainkan seorang wanita dengan pakaian yang sederhana. Begitu mengenali wajah itu, garis-garis wajah Maisa langsung menegang. Ekspresinya berubah masam, penuh dengan rasa tidak suka yang mendarah daging.
Selina.
Dengan gerakan cepat yang didorong oleh rasa benci, Maisa berdiri. Ia sengaja melangkah lebar dan menghadang tepat di jalur langkah Selina.
“Hai… OB baru,” katanya dengan nada mengejek yang kental. Sebuah senyum sinis terlukis di bibirnya.
Selina menghentikan langkahnya. Ia menatap Maisa dengan pandangan datar. Tak ada ketakutan. Ia mencoba bergeser ke kanan untuk melanjutkan langkahnya, namun Maisa dengan sigap kembali menghalangi jalan.
“Tolong jangan seperti ini. Saya mau bekerja,” ucap Selina. Suaranya tenang, namun ada ketegasan yang menusuk di balik setiap suku katanya. Ia tidak ingin membuang energi untuk drama yang tidak perlu.
“Aku cuma mau memperingatkan,” sahut Maisa, suaranya kini merendah. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Selina. “Jangan sampai kamu tertarik sama pacar orang. Kamu harus tahu diri di mana posisi kamu sekarang.”
Selina tidak langsung menjawab. Sejenak, ia hanya menatap mata Maisa yang berkilat penuh kecemburuan. Tiba-tiba, Selina terkekeh sinis.
Suara tawa itu pendek namun cukup untuk membuat bulu kuduk Maisa meremang karena merasa diremehkan.
“Tertarik? Dengan pacar orang?” Selina mengulang kata-kata itu. “Segitu rendahnya kah kepercayaan dirimu sampai harus mengancam saya begitu?”
Selina melangkah maju, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. Suaranya kini lebih pelan, namun setiap kata terasa seperti tamparan bagi Maisa. “Level saya dan level kamu aja jauh berbeda. Kenapa kamu takut kalau saya bisa merebut Jayden darimu? Kalau kamu memang merasa memiliki dia seutuhnya, kamu tidak akan se-gelisah ini melihat orang seperti saya, bukan?”
Maisa terdiam sesaat. Matanya berkedip cepat, pupilnya melebar.
Selina tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan dengan nada yang lebih tajam, memberikan tekanan pada setiap kalimatnya. “Eh… tapi ya, siapa yang tahu? Takdir sering kali bekerja dengan cara yang unik. Tidak menutup kemungkinan kalau Jayden bisa saja berpaling… bahkan pada seseorang yang kamu hina sebagai ‘OB baru’ ini. Bukankah terkadang pria lebih suka ketenangan daripada keributan yang tidak jelas?”
Tangan Maisa mengepal erat di sisi tubuhnya. Ia tidak menyangka Selina, yang biasanya ia injak-injak secara verbal, berani membalas dengan cara yang seberani ini.
“Pede sekali kamu ngomong kayak gitu,” Maisa mendesis. Ia berusaha keras menahan diri agar suaranya tidak meninggi dan menarik perhatian orang-orang.
Selina hanya tersenyum tipis. “Yah, gimana ya… kamu yang mulai duluan. Saya bukan orang yang diam saja ketika diremehkan. Kamu yang menyeret saya ke dalam permainan ini, jadi jangan kaget kalau saya tahu cara membalasnya.”
Dengan santai, Selina mengulurkan tangan dan menepuk bahu Maisa. “Sekarang menyingkir lah. Saya harus bekerja. Kalau tidak, pacarmu yang galak itu akan marah sama saya. Kamu tidak mau kan kinerjaku buruk dan Jayden malah jadi lebih sering memanggilku ke ruangannya?”
“Ada apa ini?”
Suara berat dan bariton itu memecah ketegangan yang nyaris meledak. Suara yang sangat familiar bagi mereka berdua.
Maisa yang tadinya bersungut-sungut dengan wajah merah padam langsung menoleh.
Ekspresinya berubah seketika, berganti dengan senyum sumringah.
Di sana, Jayden berdiri. Pria itu baru saja kembali setelah menemui klien penting. Jas mahalnya masih tersampir di lengan kiri.
“Jayden!” seru Maisa. Ia segera berlari kecil ke arah pria itu. Tanpa mempedulikan situasi, Maisa langsung memeluk tubuh Jayden erat, menyandarkan kepalanya di dada pria itu.
Reaksi Jayden sama sekali tidak seperti yang diharapkan Maisa. Alisnya bertaut rapat, dan matanya melotot tajam ke arah wanita yang sedang bergelayut padanya.
“Hei, lepaskan. Ini kantor,” katanya dengan suara dingin. Jayden berusaha melepaskan lilitan tangan Maisa dari pinggangnya kasar.
“Kenapa sih?” Maisa mencebikkan bibirnya. Ia mendongak menatap Jayden dengan tatapan manja yang dibuat-buat.
“Siapa yang menyuruhmu datang ke sini?” Nada suaranya datar, tidak menunjukkan sedikit pun keramahan.
“Aku kangen. Masa aku nggak boleh datang? Aku kan calon istri kamu…” jawab Maisa dengan nada percaya diri.
“Calon istri?” Jayden mendengus sinis. “Kamu bukan calon istriku, Maisa. Dan aku sudah bilang berulang kali, aku tidak akan pernah menikah denganmu.”
“Tapi—orang tua kita—”
“Dan kamu juga bukan kekasihku,” potong Jayden cepat. “Aku saja muak melihat wajahmu.”
Maisa mengepalkan tangannya erat-erat, wajahnya yang tadi ceria kini memerah padam karena rasa malu yang luar biasa, terutama di hadapan Selina yang masih berdiri tak jauh dari mereka.
Selina, yang sejak tadi hanya diam mengamati, tak bisa menahan senyum miring yang tersungging di sudut bibirnya. Ia baru mengetahui bahwa selama ini Maisa hanya berbohong soal status hubungannya dengan Jayden.
Bagaimana mungkin Maisa begitu berani mengancamnya dan menyuruhnya menjauh, sementara di mata Jayden, kehadiran Maisa tak lebih dari sekadar gangguan. Status "calon istri" dan "pacar" yang selama ini diagung-agungkan Maisa ternyata hanyalah sebuah delusi sepihak.
Jayden melepaskan genggaman tangan Maisa dengan kasar dari lengannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, ia melangkah pergi begitu saja menuju lift eksekutif.
“Jayden!! Tunggu! Aku ikut!” Dengan langkah terburu-buru, ia mengejar Jayden, berusaha mengimbangi langkah pria itu yang cepat.
Selina masih berdiri tegak di tempatnya. Ia menatap punggung Jayden yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu lift yang tertutup, dengan Maisa yang kini kembali berupaya melilitkan tangannya di pergelangan tangan pria itu.
Selina merasakan sesuatu yang aneh, ada sesuatu yang menelusup ke dalam hatinya. Sebuah perasaan asing yang tidak nyaman—semacam rasa sesak atau gelisah yang sulit ia definisikan dengan kata-kata. Apakah itu rasa tertarik dengan pria dingin bernama Jayden itu?
Ia menarik napas panjang, menggelengkan kepala pelan, mencoba menepis perasaan tidak jelas itu dan kembali fokus pada tujuannya berada di gedung ini.