NovelToon NovelToon
MY FORBIDDEN EX-BOYFRIEND

MY FORBIDDEN EX-BOYFRIEND

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah dengan Musuhku / Cinta Terlarang / Murid Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.

Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.

My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13

Tiga hari telah berlalu sejak insiden di paviliun. Jakarta terasa membosankan dan penuh dengan kenangan yang tidak ingin diingat Jessy. Dengan keputusan yang impulsif—sesuai dengan karakternya—dia terbang ke Osaka, Jepang, melarikan diri dari segala sesuatu yang berbau Rayyan Albar.

Musim semi sedang mencapai puncak keindahannya di Osaka. Di Taman Nakanoshima, Jessy duduk di sebuah bangku kayu, dikelilingi oleh pemandangan yang hampir seperti lukisan. Di depannya, Sungai Okawa mengalir tenang, airnya yang jernih memantulkan langit biru cerah. Tapi yang paling memesona adalah kanopi bunga sakura yang bermekaran di sepanjang tepian sungai. Kelopak-kelopak berwarna pink pucat itu berguguran sesekali, menari-nari di udara sebelum mendarat lembut di atas air atau di rambut para pejalan kaki. Suasana romantis dan damai menyelimuti taman itu, sebuah kontras yang tajam dengan gejolak di hati Jessy.

Dia memakai yukata musim semi yang cantik, mencoba berbaur dengan suasana. Tapi matanya yang tersembunyi di balik kacamata hitam designer-nya justru tertuju pada ponselnya. Grup chat dengan Nita dan Della terus berdering.

Plink.

Sebuah foto masuk dari Nita. Foto itu menunjukkan Rayyan sedang serius membahas sesuatu dengan tim praktikumnya di perpustakaan kampus. Wajahnya yang tampan terlihat fokus, alisnya sedikit berkerut. Dan di depannya, masih setia, tergeletak laptop tua dan usangnya yang rusak keyboardnya. Laptop baru yang dibeli Jessy sama sekali tidak terlihat.

"Tuh, idola lo masih sibuk belajar," tulis Nita disertai emoticon tertawa.

Jessy mengerutkan kening. Jari-jarinya yang terawat mengetik dengan cepat, penuh rasa kesal. "Ngapain kirim poto cowok miskin itu sih!"

Della langsung menyambar. "Sapa tau kangen," balasnya disertai emoticon terkekeh.

"Kangen? Kayak nggak ada cowok lain aja," balas Jessy, berusaha terdengar acuh.

"Serius nih?" Nita mengejar, tidak percaya.

"Gue nggak serius ya sama Rayyan. Nggak level!" Jessy mengetik dengan mantap, mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih dari siapa pun. Tapi tangannya sedikit gemetar.

Dia meletakkan ponselnya dan menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Matanya yang coklat itu memandang ke arah Sungai Okawa. Di atas jembatan yang membentang di seberang, sepasang kekasih muda berjalan bergandengan tangan. Sang pria, dengan wajah penuh perhatian, mendengarkan sang wanita yang sedang bercerita dengan semangat. Sesekali dia menatapnya dengan mata penuh kasih, meluruskan helaian rambut sang wanita yang diterbangkan angin, dan senyum lembutnya tidak pernah lepas. Mereka terlihat begitu larut dalam dunia mereka sendiri, penuh dengan kelembutan dan perhatian yang tulus.

Jessy memperhatikan setiap gerakan mereka, dan sebuah rasa rindu akan sesuatu yang tidak pernah dia dapatkan menusuk hatinya.

"Harusnya begitu kan, Jes," gumamnya pada diri sendiri, suaranya lirih tertutup gemerisik daun sakura. "Cowok harus perhatian. Rayyan... nggak ada sama sekali perhatiannya." Kenangan akan tatapan dingin Rayyan, penolakannya, dan ketidaktertarikannya menyakitkan hatinya.

Tapi dengan cepat dia menggeleng, mengusir perasaan lemah itu. "Ih! Siapa juga yang ngarepin perhatian dari cowok miskin!" hardiknya pada dirinya sendiri, mencoba membangkitkan kembali sikap arogannya. "Dia cuma mainan, kali! Gue bisa dapet yang lebih dari dia! Lebih ganteng, lebih kaya, lebih... perhatian." Tapi kata-kata itu terasa hampa.

Dengan gerakan kesal, dia mengambil kembali ponselnya dan membuka foto Rayyan yang dikirim Nita. Dia memperbesar gambar itu, menatap wajah tampan yang begitu serius, garis rahang yang tegas, dan mata gelap yang penuh dengan kecerdasan dan misteri.

"Tapi... kenapa dia ganteng banget sih!" gerutunya dalam hati, jari tanpa sadar menelusuri layar ponsel yang menampilkan wajah Rayyan. "Sebel deh!"

Dalam kesunyian taman Osaka yang indah, dikelilingi oleh keindahan musim semi dan pasangan-pasangan yang bahagia, Jessy Sadewo akhirnya harus berhadapan dengan sebuah kenyataan yang tidak ingin dia akui: Rayyan Albar bukan sekadar mainan. Dan melarikan diri ribuan kilometer jauhnya tidak akan membuatnya bisa melarikan diri dari perasaannya sendiri.

***

Udara sore di kampus terasa berat dan basah, cocok dengan suasana hati Rayyan. Dia baru saja keluar dari perpustakaan bersama anggota tim praktikumnya. Percakapan mereka tentang algoritma dan kode segera mereda saat masing-masing berpisah ke arah yang berbeda. Tapi bagi Rayyan, beban yang dirasakan bukan hanya dari diskusi intelektual yang melelahkan.

Tas ransel hitamnya yang sudah usang terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah berisi batu bata. Di dalamnya, bukan hanya buku-buku tebal dan laptop lamanya yang kini rusak, tapi juga sebuah kardus berisi laptop gaming terbaru pemberian Jessy. Sebuah kemewahan yang dia terima dengan paksa, dan yang kini terasa seperti piaraan di pundaknya. Dia bahkan belum bisa menggunakannya; semua data pentingnya—tugas kuliah, kode program, laporan penelitian—masih terperangkap di dalam laptop lamanya yang sedang sekarat.

Saat melintasi pelataran kampus, matanya menangkap dua sosok familiar. Nita dan Della. Mereka berdiri di dekat air mancur, terkekeh-kekeh tanpa alasan yang jelas. Tatapan mereka jatuh padanya, dan segera berubah menjadi senyuman sinis yang penuh arti. Rayyan bisa membaca pikiran mereka dengan jelas: mereka menganggapnya pria miskin yang sedang beruntung karena mendapat perhatian dari putri raja mereka. Dia mengabaikannya, berusaha melewati mereka dengan kepala tegak.

Tapi tanpa disadarinya, matanya secara refleks menyapu area di sekitar Nita dan Della, mencari sosok lain yang biasanya selalu hadir di antara mereka—sosok dengan senyum menantang dan tatapan yang selalu membakar. Namun kali ini, tidak ada. Hanya ada kekosongan. Perutnya bergetar aneh, sebuah perasaan yang segera dia tekan. Dia mempercepat langkahnya, meninggalkan kedua gadis itu dan bayangan seseorang yang tidak hadir.

Sesampainya di tempat parkir motor, Rayyan mengeluarkan ponsel lawannya. Layar kecil yang retak itu menyala, memperlihatkan daftar panggilan masuk. Di sana, sebuah nomor yang tidak tersimpan—tapi sudah terlalu hafal di luar kepala—terpampang beberapa kali. Nomor Jessy. Panggilan-panggilan itu berasal dari hari-hari sebelumnya, saat dia masih dengan gigih mengejarnya. Sejak insiden di paviliun, tidak ada satu pun panggilan atau pesan masuk. Rasa bersalah yang tadi samar, kini menusuk lebih dalam.

Dia menghela napas, mematikan layar ponsel dan menyimpannya. Hari ini, dia memutuskan untuk langsung pulang. Tapi bukan ke kamar kosnya yang sempit, melainkan ke suatu tempat yang selalu memberinya ketenangan.

---

"Kedai Roti Maryam" terlihat semakin sederhana di antara gemerlap kota Jakarta yang mulai ditingkahi lampu neon. Aroma mentega hangat dan kayu manis menyambutnya, seperti pelukan yang menenangkan. Di dalam, Ibu Maryam tampak sedang bersusah payah di dekat dinding, mencoba memperbaiki kerusakan yang ditinggalkan oleh insiden beberapa waktu lalu.

"Yan... Tumben ke toko," ujar sang ibu, wajahnya yang mulai berkeriput merekah senyum lelah namun tulus saat melihat anak semata wayangnya.

"Sekalian lewat, Bu," jawab Rayyan, suaranya lembut, sangat berbeda dari nada dinginnya di kampus. Dia meletakkan tasnya yang berat di sebuah kursi. "Ibu lagi apa?"

"Ini, benerin dinding yang waktu itu ditabrak," ujar sang ibu, menghela napas. Tangannya yang berurat menyentuh pecahan plester yang mengelupas. "Kemarin Ibu tanya kalau pake tukang berapa. Mahal, Yan, tukangnya minta borongan." Ada kepasrahan dalam suaranya, sebuah penerimaan bahwa beberapa hal dalam hidup mereka harus ditunda karena keterbatasan dana.

Rayyan memandangi dinding itu, dan kenangan pahit itu kembali menghantui—suara benturan, senyum sinis Jessy, dan uang yang beterbangan. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di hatinya.

"Bu, Rayyan ada rejeki," ujarnya, merogoh tasnya dan mengeluarkan amplop coklat tebal pemberian Adi Sadewo yang sama sekali belum dia buka. Dia menyodorkannya kepada ibunya.

Ibu Maryam menerimanya dengan ragu. Begitu membuka dan melihat isinya, matanya membelalak. "Lho, dari mana ini, Nak? Kok banyak sekali?" suaranya berbisik, campur takut dan heran.

"Rayyan ngajar private, Bu. Itu bayarannya," jawab Rayyan, menghindari tatapan ibunya. Dia merasa sedikit tenggorokannya mengencang.

"Kok bayarannya gede ya, Nak?" tanya Ibu Maryam, masih tidak percaya. Uang di tangannya mungkin setara dengan penghasilan kedai itu selama berbulan-bulan.

"Kan mereka orang kaya, Bu," balas Rayyan, berusaha terdengar wajar. Lalu, untuk mengalihkan perhatian dan rasa bersalahnya, dia mengambil alih pekerjaan ibunya. "Biarkan Rayyan yang urus ini, Bu."

Dia menggulung lengan bajunya dan mulai membersihkan area yang rusak, menyiapkan peralatan sederhana untuk memperbaikinya. Kerja fisik yang jujur ini terasa lebih menenangkan daripada segala rumus matematika yang rumit.

Ibu Maryam berdiri di sampingnya, memperhatikan anaknya yang rajin dan berbakti. Dia menggeleng-geleng pelan.

"Ibu heran, kok ada ya perempuan modelan mereka," ujarnya, suara rendah penuh kekhawatiran. "Ugal-ugalan, membahayakan orang lain." Dia tidak menyebut nama, tapi mereka berdua tahu siapa yang dimaksud.

Dia melanjutkan, dengan nada setengah bercanda setengah serius, "Amit-amit deh kalau punya mantu modelan begitu." Lalu, dengan kekhawatiran khas seorang ibu, dia menatap Rayyan. "Kamu yang ati-ati ya, Nak, kalau cari pasangan. Harus dipilih dengan selektif. Cari yang baik hati, jangan yang sombong dan semaunya sendiri."

Rayyan berhenti sejenak, palu di tangannya terasa lebih berat. "Belum mikirin kesitu, Bu," jawabnya, fokus kembali pada pekerjaannya, menghindari mata ibunya. "Rayyan masih pengen lanjut kuliah dan kerja."

Dia memukul paku dengan keras, seolah-olah ingin memalu jauh semua konflik di hatinya. Apa yang harus dia katakan pada ibunya sekarang? Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa uang yang sedang digunakan untuk memperbaiki kedai ini berasal dari orang tua gadis yang dengan arogannya menghancurkan bagian dari kehidupan mereka? Bagaimana dia bisa mengungkapkan bahwa saat ini, kebebasan dan masa depannya sendiri terbelenggu oleh kekuasaan dan uang keluarga itu?

Dia hanya bisa terus memalu, membenamkan semua kebenaran pahit itu jauh ke dalam dinding kayu, berharap suatu hari nanti, seperti dinding ini, lukanya bisa tertutup dan terlupakan. Tapi di sudut hatinya, dia tahu, beberapa luka terlalu dalam untuk disembunyikan begitu saja.

***

Setelah seminggu menghilang di Jepang, Jessy Sadewo kembali ke Jakarta dengan aura yang bahkan lebih dingin dari udara ber-AC di bandara. Liburannya seharusnya menjadi pelarian, tapi justru membuatnya semakin kesepian. Pagi itu, dia sudah berada di kampus, duduk di barisan depan kelas dengan pakaian baru yang dibelinya dari Ginza. Siangnya, dia dan kedua sahabatnya memilih meja strategis di kantin kampus yang ramai, menjadi pusat perhatian seperti biasa.

Tiba-tiba, seorang gadis dengan kacamata tebal dan berpakaian sederhana, yang sedang berjalan sambil memegang jus dan buku, tidak sengaja menabrak sudut meja mereka. Jus jeruknya tumpah, mengenai tas branded Jessy dan—yang paling parah—menetes di sepatu putih bersihnya yang limited edition.

"Sorry, Jes!" ujar gadis bernama Era itu, wajahnya langsung pucat pasi, matanya membesar seperti rusa yang disorot lampu mobil. "Sumpah, gue nggak sengaja!"

Jessy berdiri perlahan. Matanya yang tajam menyapu dari ujung kepala hingga kaki Era, menganalisis dengan dinginnya setiap detail kesederhanaan dan kepanikan gadis itu. Suaranya keluar seperti semburan es.

"Lo tau nggak harga baju dan sepatu gue berapa?"

Era terdiam, menggigit bibir bawahnya yang gemetar. "Sorry, Jes," ulangnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Della dan Nita yang duduk di samping ikut berdiri, menyeringai menikmati tontonan ini. "Cepet bersihin!" seru Della.

"Jangan bengong aja," tambah Nita dengan tatapan menghina.

Era, dengan tangan gemetar, sudah bersiap untuk berjongkok dan menggunakan ujung bajunya yang sederhana untuk membersihkan sepatu Jessy. Rasa malu dan ketakutan memancar kuat dari seluruh tubuhnya.

Tapi sebelum dia melakukannya, sebuah suara yang dalam dan tenang, namun penuh wibawa, memotong ketegangan.

"Biar aku aja yang bersihin, Er."

Jessy menoleh, dan dadanya serasa ditinju. Rayyan Albar berdiri di sana, tas ransel usangnya tergantung di pundak, wajahnya tenang namun matanya memancarkan ketegangan yang sama seperti terakhir kali mereka bertemu.

"Aku nggak ada urusan sama kamu!" seru Jessy, suaranya lebih tinggi dari yang dia rencanakan, mencoba menutupi rasa sakit karena kehadirannya yang selalu membela orang lain.

"Selalu aja ikut campur!" balas Nita, mendukung sahabatnya.

Tapi Rayyan mengabaikan mereka. Dia mendekati Era dan dengan lembut menarik tangannya untuk berdiri. "Nggak papa, biar aku aja," ujarnya pada Era, suaranya terdengar lembut, sebuah nada yang belum pernah Jessy dengar darinya.

"Nggak usah, Yan. Aku yang salah kok," bantah Era, merasa bersalah.

"Kamu nggak denger kalau dia yang salah!" seru Jessy, merasa diabaikan.

Rayyan akhirnya menatapnya langsung. "Kalau gitu, biar aku yang tanggung jawab sama kesalahan dia." Lalu dia berpaling ke Era. "Er, kamu pergi aja."

"Tapi Yan..." Era ragu, merasa tidak enak.

"Nggak papa," ucap Rayyan dengan senyum kecil yang menenangkan, sebuah senyuman yang membuat hati Jessy semakin perih. Mengapa dia tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu?

Era akhirnya pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Rayyan yang kemudian berjongkok di depan Jessy. Dia membuka jaketnya yang sederhana, bersiap untuk mengelap sepatu mahal Jessy.

Tapi Jessy langsung menarik kakinya menjauh seolah tersengat listrik. Rasa cemburu, sakit hati, dan amarah memuncak menjadi ledakan.

"Gila ya kamu! Cuma demi cewek nggak guna itu mau begini!" hardik Jessy, suaranya nyaris melengking, memecah keramaian kantin. Semua mata tertuju pada mereka. "Aku pastiin dia bakal dikeluarin dari kampus!"

Kali ini, Rayyan berdiri tegak. Postur tubuhnya yang tinggi tiba-tara terasa sangat mengancam. Tatapannya, yang biasanya dingin, kini membara dengan api kemarahan yang jarang terlihat.

"Yang kamu sebut cewek nggak guna itu," ujarnya, suaranya rendah namun jelas terdengar hingga ke sudut ruangan, "adalah anak yatim piatu yang sedang berjuang demi masa depannya. Yang bisa berkuliah di sini, sama seperti aku, dari beasiswa." Dia mendekat satu langkah, menatap Jessy tanpa rasa takut. "Kalau kamu bikin dia keluar dari sini, aku juga bakal pergi dari sini."

Ancaman itu menggantung di udara, sebuah tantangan yang tidak pernah Jessy duga. Dia terkesiap.

"Kamu belain dia. Kamu suka sama dia?!" tanya Jessy, suaranya pecah oleh cemburu dan rasa tidak percaya.

"Bukan urusan kamu," balas Rayyan dengan dingin, sebuah penolakan dan pembatas yang terasa lebih menyakitkan daripada teriakan.

"Kamu!" Amarah Jessy mencapai puncaknya. Harga dirinya yang sudah babak belur oleh penolakan Rayyan kini diinjak-injak di depan umum. "Orang miskin seperti kalian emang nggak tau diuntung!"

Dengan langkah gemas dan mata yang berkaca-kaca oleh kemarahan dan luka yang tak tertahankan, Jessy berbalik dan menyisir kerumunan, meninggalkan Rayyan, Nita, dan Della yang terpana.

"Jes... Jessy!" panggil Nita dan Della, akhirnya menyusul sahabat mereka yang terluka.

Rayyan tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan Jessy menghilang. Di sekelilingnya, bisikan-bisikan penuh selidik dan tatapan heran memenuhi kantin. Tapi yang paling berat adalah perasaan campur aduk di dadanya sendiri—antara kemenangan kecil karena membela yang lemah, dan sebuah kegelisahan aneh melihat betapa hancurnya Jessy oleh tindakannya. Pertempuran mereka telah memasuki babak baru, dan kali ini, luka yang ditimbulkan mungkin terlalu dalam untuk disembuhkan.

1
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
gemes bgt sama Rayyan...kpn berjuang nya yaa...😄
IndahMulya
thor dikit banget, ga puas bacanya
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
Rayyan berjuang dongggg
IndahMulya
gedeg banget sama ibunya rayyan
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
Arsya mundur Alon Alon aja yaaa...udah tau kan Rayyan cinta nya sama Jessy...
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
mengsedih.begini yaa...
kudu di pites ini si ibu Maryam
Naura Salsabila
lemah amat si rayyan
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
kak..disini usia Rayyan brp THN ?Jessy nya brp THN ??aku udah follow IG nya siapa tau ada spill visual RayyannJessy🤭🤭😄
Nona Lebah: Rayyan itu saat ini udah 23 tahun dan jessy 20 tahun.
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
sabarr Rayyann....
Nona Lebah: Jangn lupa mampir di novelku lainnya ya kak. Terimakasih
total 1 replies
IndahMulya
bagussss ayo dibaca...
IndahMulya
lanjut thor.. ceritamu ini emg bikin candu banget 😍
A Qu: ter rayyan rayyan pokoknya thor... ayo kejar cinta jessy
total 1 replies
IndahMulya
makanya rayyan jgn cuma tinggal diam aja, kalau msh syg tuh ayo kejar lagi jessynya, ga usah mikir yg lain, ingat kebahagiaanmu aja kedepan...
Nona Lebah: Hay kak. Bantu aku beri ulasan berbintang ⭐⭐⭐⭐⭐ yaa untuk novel ini. Terimakasih
total 1 replies
IndahMulya
ayo rayyan.. semangattt
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊: semangat Rayyan
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
langsung kesini kak
Nona Lebah: Terimakasih kak. Bantu aku dengan beri ulasan berbintang ⭐ ⭐ ⭐ ⭐ ⭐ ya kak untuk novel ini.
total 1 replies
IndahMulya
lanjut thor.. aku dari paijo pindah ke sini cuma buat nyari rayyan sama jessy
Nona Lebah: Makasih kak. Kamu the best 💪
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
akhirnya ketemu juga sama cerita ini...keren dan recommend
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!