Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Sekarang sudah pukul sembilan malam, namun Elira belum terlelap. Setelah kepergian Axel dini hari akibat diusir halus oleh Cedric, kini Elira jadi banyak berpikir.
Wanita itu terlihat menghela panjang sembari bersidekap, menatap beberapa foto yang ia tempel ke styrofoam. Sesekali tatapannya terlempar ke catatan yang Axel tulis di buku catatan miliknya. Memanfaatkan itu, Elira mengurutkan beberapa alur yang ia ingat di dalam novel.
"Semuanya bermula dari masa lalu Cedric yang bersohib dengan Vaelric," gumamnya dengan menatap foto-foto itu.
"Namun sebuah pengkhianatan dimulai saat Vaelric mencintai Naomi istri Cedric, yang kala itu bekerja di perusahaan Vaelric sebagai seorang akunting."
Elira terpejam, mengingat-ingat sesuatu.
"Naomi dijebak, dan Vaelric menawarkan sebuah jaminan agar reputasi perempuan itu aman dengan cara-" jedanya.
Wanita itu benar-benar merasa tak sudi mengatakannya.
"Hah, jadi semuanya karena cinta? Cih," sebalnya sambil terkekeh singkat. Itu membuat Elira geli sendiri.
"Keluarga Vaelric memang tak punya malu. Mereka sendiri yang menyalakan api, tapi mengkambinghitamkan orang lain untuk memadamkannya."
"Elira?" suara Cedric terdengar di luar pintu kamar.
Yang dipanggil tak langsung menyahut. "Lalu, harus kuapakan pria itu?" gumam Elira dengan mata tajam pintu.
"Ada yang ingin Ayah bicarakan."
Elira menghela napas. Ia sangat malas, karena kalimat itu mirip sekali dengan Demian.
"Elira ... Ayah tahu kau masih marah pada Ayah. Tapi ini sangat penting. Tolong."
Elira berdecak dan mengerling malas. Dengan tergesa, ia menyembunyikan buku catatan ke dalam laci dan membalikkan posisi styrofoam. "Masuklah."
"Sepertinya dugaan Ayah benar, kau masih sibuk dengan ingatanmu sendiri," ucap Cedric menelisik putrinya.
"Aku hanya berusaha mengurutkan fakta, sesuatu yang seharusnya kau lakukan sejak dulu," balas Elira cepat tanpa mau menoleh.
Cedric mendengkus singkat. Ia merasa tersindir dengan perkataan itu. "Nak, Ayah datang untuk memberitahumu sesuatu."
Elira akhirnya menoleh, lagi-lagi dengan helaan malasnya. "Sepenting apa?"
"Ini soal Arsen," tegas Cedric, membuat Elira terdiam kesal.
"Kenapa dengan bajingan itu? Apa dia masih hidup setelah kutusuk?" Elira menaikkan sebelah alis, di saat Cedric mendengarkan sabar celotehan kasarnya.
Cedric menatap anaknya lelah. Elira terus saja mengungkit hal itu. "Beri Ayah waktu untuk menjelaskannya padamu."
Elira berpindah ke atas tempat tidur, menyelimuti kakinya dengan selimut hangat, sedangkan Cedric duduk di tepi ranjang.
"Soal kejadian siang tadi cepat menyebar, hingga kelompok mafia yang selama ini berdiri di belakang keluarga Vaelric mengetahui tahu siapa dalangnya." Kedua manik tajam Cedric memancarkan rasa khawatir seperti dulu, seperti yang pernah ia alami saat bersama Naomi.
"Wah absurd sekali. Jadi kali ini aku berhubungan dengan mafia?"
"Mereka tahu Arsen terluka parah, dan mereka pasti bisa menebak siapa yang melakukannya."
Elira menyeringai tipis. "Baguslah. Bukankah itu sesuai dengan keinginan Ayah?"
"Elira." Tatapan Cedric tampak menajam. Ia mulai geram di saat putrinya terus melawan padanya. "Apa kau pikir, jika seandainya kala itu Arsen berhasil kita habisi ...," ujarnya lirih, "Mereka tetap akan tinggal diam saja?"
Kelopak mata Elira berkedip satu kali.
"Apakah kau sudah paham dengan maksud Ayah?"
Kedua mata Cedric mulai memerah, memancarkan sorot memohon agar putrinya mau mengerti. "Mereka tak akan pernah berhenti, sebelum mereka melihat keturunan Maeven hancur."
Kali ini Elira berhenti mencibir. Dia diam dengan tatapan berpikir.
"Elira, dengarkan Ayah baik-baik." Cedric memegang kedua bahunya.
"Mereka berbeda dengan musuh-musuh kecilmu. Ini dunia mafia. Sekali menjadi sasaran, kita akan sulit mencari tempat hidup yang aman."
"Jemarinya terasa bergetar di bahuku. Apakah dia setakut itu?"
Elira memiringkan kepala. "Kau takut pada mereka, Ayah?"
Cedric bukanlah tipe pria yang gentar menghadapi siapa pun. Dengan pengaruh dan kekuatan yang ia miliki, membentuk rencana dan pasukan kapan saja bukanlah perkara sulit baginya.
Namun, kehilangan Naomi telah memberinya pelajaran paling pahit dalam hidup. Dulu Cedric pernah mengerahkan segalanya, namun pada akhirnya semua tetap berakhir sia-sia.
Luka itu tak pernah benar-benar sembuh. Maka dari itulah, Cedric enggan mengulanginya lagi. Ia tidak sanggup kehilangan lagi, apalagi Elira adalah satu-satunya yang kini menjadi alasannya untuk terus hidup.
"Ayah?"
"Maafkan Ayah," ujar Cedric yang tiba-tiba menarik Elira ke dalam peluknya. "Maaf karena kau memiliki orang tua seperti Ayah."
Ada sesuatu yang menghunus perasaan Elira. Rasanya sesak dan sakit. Hingga tanpa sadar, air matanya menggenang dan memburamkan pandangnya.
"Kenapa ... kata maaf ini begitu menusuk hatiku?"