Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
“Setelah ini, menghindarlah saat kebetulan bertemu denganku?” ucap Chesna, sebelum Alan dan Gideon baru saja hendak pergi.
Alan dan Gideon sempat terpaku beberapa detik.
“Tolong,” bisiknya sekali lag.
Alan mengangguk kecil lalu menyusul Gideon keluar dengan langkah berat
Pintu menutup. Sunyi.
Chesna menghela napas panjang. Tubuhnya masih lemah, tapi ada rasa tidak nyaman jika terus berbaring di sana. Ia menyingkap selimut, bangkit perlahan meski kepalanya sedikit berputar. Ia pun keluar dari kamar IGD.
Beberapa perawat menatap heran ketika melihatnya berjalan sendirian, masih dengan infus yang baru saja dilepas.
Sampai akhirnya, ia tiba di meja administrasi rumah sakit. Dengan suara pelan, ia bertanya, “Mbak… boleh saya tahu berapa biaya perawatan saya tadi?”
Petugas administrasi mengangkat kepala, menatapnya sebentar, lalu tersenyum sopan. “Untuk Anda, Nona, tagihannya sudah dilunasi.”
Chesna tertegun. Matanya membesar. “Sudah… dibayar? Oleh siapa?” tanyanya cepat, jantungnya berdebar.
Petugas hanya membuka catatan di komputer, lalu berkata, “Kami tidak bisa menyebutkan detail pribadi, tapi… penyebutannya tercatat atas nama keluarga besar yang menghadiri pasien di ruang operasi lantai atas. Jadi, Anda tidak perlu khawatir.”
Tangan Chesna terkepal di sisi meja, wajahnya tertunduk. Ada rasa malu, campur aduk dengan perasaan tak nyaman. “Kenapa… mereka harus ikut campur dalam hidupku?” batinnya menjerit.
Namun bibirnya tetap diam. Ia hanya mengucapkan terima kasih pelan, lalu melangkah menjauh dengan dada yang makin berat.
___
Di ruang kerjanya yang sepi, Miko baru saja meletakkan berkas penting rapat yang ia tinggalkan siang tadi. Gelas kopi di mejanya sudah dingin. Ia baru saja menyalakan laptop ketika ponselnya bergetar pelan.
Nomor tak dikenal muncul di layar. Dahi Miko berkerut. Ada keraguan sejenak sebelum ia menggeser tombol hijau.
“Hallo?” suaranya datar.
Tak ada jawaban beberapa detik, hanya terdengar suara napas tertahan dari seberang. Lalu, perlahan terdengar suara perempuan yang begitu familiar.
“Miko… ini aku.”
Sekejap, tubuh Miko menegang. “Rania…?” ucapnya, setengah tak percaya.
“Ya. Aku… mau bertanya. Tentang Alan,” suara Rania, pelan.
"Tentu, dia baik-baik saja. Apa kau mau menemuinya?"
"Iya, aku akan pulang besok, maaf sebelumnya, kau harus menepati perkataanmu membiarkan aku bertemu dia. Tolong jangan berubah pikiran."
"Kau tenang saja. Aku tidak akan menghalangi apa yang membuat putraku senang."
Miko menutup telepon dengan gerakan tergesa. Ia berdiri mematung beberapa saat di depan jendela besar kantornya, menatap keluar. Ada bara kecil yang tiba-tiba menyala di dadanya.
“Rania…” gumamnya, nyaris seperti bisikan. Bibirnya membentuk senyum samar, sebuah ekspresi belum pernah ia tampakkan saat memikirkan wanita.
Tanpa menunggu lebih lama, ia meraih ponsel meja kerjanya, menekan satu nomor cepat. Tak sampai dua detik, suara berat penuh wibawa terdengar.
“Ya, Tuan?” jawab Ardi.
Miko mengatur napas, lalu berkata tegas, “Ardi, aku ingin kau segera menyiapkan sebuah apartemen. Tidak sembarangan, aku mau semuanya lengkap. Furnitur, peralatan dapur, sampai hal-hal kecil seperti sprei dan perlengkapan mandi. Besok harus siap.”
Di seberang sana, Ardi sempat terdiam beberapa detik, heran. “Apartemen, Tuan? Untuk siapa… jika boleh tahu?”
“Untuk seseorang yang akan tinggal di sana,” jawab Miko cepat, nada suaranya penuh semangat yang tak bisa disembunyikan. “Aku tidak mau ada kekurangan sedikit pun. Buat senyaman mungkin. Anggap saja seperti menyambut seseorang yang sangat… istimewa.”
Ardi mengerutkan dahi, bingung. Dalam sekian tahun bekerja bersama Miko, ia jarang sekali mendengar nada suara seantusias ini. Biasanya Miko begitu terukur, dingin, bahkan terhadap urusan keluarga sekalipun.
“Baik, Tuan. Akan segera saya atur,” jawab Ardi, meski rasa heran membuat nadanya terdengar kaku.
Begitu panggilan terputus, Ardi menatap kosong ke arah jalanan luar dari mobil dinas yang ia tumpangi. “Kali ini... Tuan agak berbeda... Apa mungkin tentang seorang wanita?” gumamnya.
__
Suasana ruang makan keluarga Miko malam ini terasa agak berbeda. Biasanya Miko makan dengan tenang, jarang banyak bicara, tapi malam itu raut wajahnya seakan menyimpan sesuatu. Ada binar yang membuat Alan tak berhenti melirik curiga.
Ardi berdiri di samping meja, melaporkan dengan nada datar seperti biasa.
“Tuan, apartemen sudah saya pesan. Besok pagi tim akan datang untuk menata isiannya. Saya juga sudah memerintahkan agar bahan makanan segar diantar rutin setiap minggu.”
Miko mengangguk, senyum kecil menyelip di sudut bibirnya. “Bagus. Aku tidak mau ada yang kurang.”
Alan meletakkan sendoknya perlahan. “Apartemen, Pa? Untuk siapa?” tanyanya santai, tapi matanya menelisik.
Miko menoleh singkat, lalu kembali menunduk ke piring. “Untuk urusan bisnis. Kau tak perlu khawatir.” Jawabannya singkat, terlalu singkat.
Ardi melirik Alan sekilas, lalu cepat-cepat menunduk. Ia tak menyebutkan nama siapa pun.
Alan menyandarkan tubuh ke kursi, berpura-pura acuh, tapi pikirannya penuh tanda tanya. Papa… sejak kapan begitu semangat menyiapkan sesuatu untuk orang lain? Bahkan sampai tersenyum seperti itu…
Suasana makan malam berlanjut dalam diam yang janggal. Hanya suara denting sendok beradu dengan piring.
Alan sesekali mencuri pandang ke arah Ardi. Ia kenal baik sosok itu setia, loyal, tapi kali ini Alan bisa melihat jelas ada kegugupan kecil pada tatapannya.
Di dalam hati, Alan bergumam lirih, Ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Dan aku akan cari tahu…
Setelah makan malam usai, Alan sengaja menunggu sampai Miko naik ke lantai atas. Ruang makan sepi, hanya tinggal dirinya dan Ardi yang sedang merapikan meja. Alan bersandar pada kursi, matanya menatap tajam, suara dibuat serendah mungkin.
“Om Ardi…” panggilnya.
Ardi menghentikan gerakan tangannya, lalu menoleh dengan tatapan hati-hati. “Ada apa, Tuan Muda?”
Alan menyilangkan tangan di dada. “Apartemen itu… untuk siapa, sebenarnya? Jangan bilang urusan bisnis. Aku tidak percaya.”
Ardi menarik napas, sejenak terlihat ragu. “Saya hanya menjalankan perintah, Tuan Muda. Selebihnya, saya benar-benar tidak tahu.”
Alan mengerutkan kening. Matanya tak lepas dari wajah Ardi, mencari celah kebohongan. “Om sudah kerja sama Papa bertahun-tahun. Masak sih, sampai sedetail itu Papa atur tempat tinggal… Om nggak tahu sama sekali?”
Ardi tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Bukan berarti saya tahu semua isi hati Tuan. Yang saya tahu, beliau ingin memastikan seseorang bisa hidup dengan nyaman.”
Alan terdiam, menatap kosong ke arah meja. Perlahan, pikirannya mulai menghubungkan potongan-potongan aneh. Senyum Papa yang tidak biasa. Perintah mendadak soal apartemen. Semangat yang muncul tiba-tiba.
“Jadi…” Alan bergumam pelan, suaranya mengeras seiring pikirannya membentuk dugaan. “Papa punya seseorang. Wanita, kah? Papa sedang menyiapkan apartemen untuk wanita simpanannya?”
Ardi tampak kaget, tepat seperti isi kepalanya. “Jangan berpikir sejauh itu, Tuan Muda. Tidak ada yang salah jika Tuan menginginkan pendamping hidup. Beliau sudah terlalu lama sendiri.”
Alan mengangkat wajahnya, menatap Ardi lekat. “Pendamping hidup?”
“Ya,” jawab Ardi hati-hati. “Siapa pun orangnya, wajar jika Tuan ingin ada seseorang yang bisa menemani. Bukan hanya untuk beliau, tapi juga untuk keluarga ini. Anda dan Nona Lila juga butuh sosok yang bisa mendampingi Tuan.”
Batin Alan bergejolak. Ada perasaan marah sekaligus resah. “Tapi kenapa harus sembunyi-sembunyi? Kenapa aku harus mengetahuinya dari sikap Papa yang berubah?”
Ardi tak punya jawaban. Ia hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajahnya.
Alan menatap kosong ke arah pintu kamar ayahnya di lantai atas. "Aku... juga harap papa bahagia. Memiliki pendamping yang bisa menemani masa tua papa nanti. Dan aku, aku akan menemani mama. Berjuang sama Chesna untuk mama."
___
bersambung....
baru sebentar sdh habis..
ayo Thor semangat lagii....💪💪