Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Rumah Yunita, memang tidak sebesar rumah Audy, tapi Audy bisa merasakan kehangatan keluarga didalamnya. Kehangatan yang lama tidak dia rasakan sejak kedua orang tuanya bercerai, dan ayahnya memilih tinggal dan menikah bersama dengan Retno selingkuhannya.
Yunita tinggal bersama dengan kedua orang tua dan juga kakak laki-lakinya yang berprofesi sebagai dokter.
Audy tengah melamun, saat dia mendengar suara pintu kamarnya diketuk dari luar.
"Dy, kamu udah tidur? Aku masuk ya" Tanya Yunita dari balik pintu.
Tanpa menunggu jawaban, Yunita masuk membawa secangkir teh madu hangat, "Nih aku bawain teh, biar pikiran kamu agak tenang dikit. Bi Ijah udah tidur di kamar sama ART aku, besok biar diantar mas Galih ke stasiun, besok dia bakal pulang ke kampung" kata Yunita.
Audy meraih teh hangat itu, menggenggamnya sebentar, "Makasih ya Yun" kata Audy.
"Yaelah Dy, kayak sama siapa aja sih. Udahlah, nggak usah makasih-makasih segala, yang penting kamu nggak celaka" kata Yunita.
Audy masih diam, Yunita menebak jika mungkin sahabatnya ini masih shock dengan pencurian dirumahnya.
"Dy, kayaknya rumah kamu udah nggak aman deh untuk sementara ini. Bayangin aja, kemaren calon mantan mertua kamu yang datang nyamperin bikin ribut, terys sebelumnya Chandra yang bikin ribut, sekarang pakai ada pencurian lagi. Mending kamu pindah deh Dy" saran Yunita.
"Tau sih, itu rumah peninggalan almarhum ibu kamu, tapi kalau kamu dalam bahaya gini. Aku juga was was" sambung Yunita lagi.
Audy termenung sejenak, lalu menoleh, "Tenang aja Yun, aku udah sewa apartemen kok. Cuma emang belum siap aja. Rumah itu udah rencana aku waqafkan atas nama almarhum ibuku. Buat dijadiin masjid, seenggaknya bisa buat amal jariyah ibu aku di akhirat nanti. Lagipula, ebih banyak kenangan buruk dirumah itu daripada kenangan baiknya. Dokumen untuk waqaf juga lagi diurus pengacara aku" lirih Audy.
"Kenapa kamu sewa Dy, kan kamu bisa beli?" Tanya Yunita.
Audy tersenyum tipis, "Aku kan masih status istri Chandra, jadi aku nggak mau beli properti dulu sebelum aku cerai" kata Audy.
"Bener juga nanti bisa-bisa Chandra nuntut apartemen itu lagi, tapi ngomong-ngomong, kamu yakin kalau Chandra dalang dibalik pencurian di rumah kamu?" Tanya Yunita.
"Aku juga nggak tahu Yun, aku nggak ada bukti soal itu. Tapi feeling aku bilang kalau ini perbuatan Chandra" kata Audy lagi.
"Kalau beneran dia, wah beneran sakit jiwa tuh orang. Gila sumpah. Nggak ada otaknya, sampai ngelakuin tindak kriminal begini" kata Yunita setengah memaki.
"Tapi aku makasih sama kamu Yun, udah ngijinin aku tinggal beberapa hari sampai tempat tinggal baru aku siap. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku harus tinggal di hotel" seloroh Audy, menyesap tehnya sekali lagi.
Yunita memeluk Audy, hampir membuat cangkir teh itu sedikit tumpah, membuat mereka terkekeh bersama.
"Pokoknya kamu bisa tinggal disini selama kamu mau, tenang aja. Papa mama aku udah ngijinin kok, jadi santai aja" jawab Yunita.
"Ya udah kamu istirahat aja duly, besok kita kerja lagi" kata Yunita.
Audy mengangguk, "Thank you"
...***...
Beberapa hari kemudian, lini masa media sosial mendadak heboh. Sebuah akun gosip ternama memposting foto Dion dan Audy yang terlihat sedang makan disebuah restoran, masuk ke sebuah hotel bersama. Narasinya dibuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah Dion berselingkuh dengan istri orang.
Postingan itu langsung viral. Kolom komentar dipenuhi hujatan. Di kantor, kasak-kusuk mulai beredar. Audy merasa tatapan miring rekan-rekannya mengikuti ke mana pun ia melangkah.
“Pantes aja belakangan keliatan deket banget, ternyata oh ternyata…” bisik seorang karyawan di yang sedang bercermin di toilet, tak sadar bahwa Yunita ada di salah satu bilik toilet.
Kepalan tangan Yunita mengeras. Detik berikutnya—BRAK!—dia menggebrak pintu bilik hingga dua perempuan yang sedang bergosip itu terkejut setengah mati.
“Heh! Kalau kalian nggak tahu duduk persoalannya, mending tutup mulut deh. Akun gosip murahan dipercaya mentah-mentah! Kalian kan tahu sendiri, Audy sering kerja bareng Pak Dion karena proyek kantor. Dan FYI, nggak cuma mereka berdua, ada aku juga yang selalu ikut!” seru Yunita, suaranya bergetar menahan emosi.
Salah satu karyawan mencoba membalas, “Ya kan bisa aja mereka kencan di luar sepengetahuan kamu, Yun…”
“Emang kalau mereka kencan kenapa? Urusannya sama lo apa? Hidup lo kurang kerjaan ya, nyari sensasi dari gosip?!” hardik Yunita. Dengan kasar, dia melempar tisu ke tempat sampah lalu melangkah keluar, wajahnya bersungut-sungut.
Saking kesalnya, Yunita hampir menabrak seseorang yang baru keluar dari toilet pria.
“Aduh, maaf! Nggak sengaja,” ucap Yunita terburu-buru.
“Oh nggak apa-apa, saya juga kurang hati-hati,” jawab pria itu sopan.
Yunita buru-buru menunduk dan melangkah pergi.
“Eh… tapi…” pria itu sempat hendak memanggil, tapi Yunita sudah menghilang di ujung koridor.
“Pak Evan, mari Pak. Meeting di lantai atas,” sapa seorang staf.
“Oh ya,” Evan mengangguk, tersenyum tipis. "Sayang banget, nggak sempet ngobrol banyak" batinnya.
...***...
Sementara itu, Audy dan Dion dipanggil ke ruang komisaris utama, Pak Hutama.
Keduanya duduk berseberangan dengan pria tua itu. Suasana hening cukup lama sebelum Hutama membuka suara.
“Kalian tahu alasan kenapa saya memanggil kalian?” tanyanya datar.
Audy menghela napas, lalu memberanikan diri. “Kalau soal gosip yang beredar, saya pastikan itu tidak benar, Pak. Saya dan Pak Dion memang sering bersama, tapi semua murni urusan pekerjaan. Bahkan ada staf saya, Yunita, yang bisa jadi saksi.”
Hutama menatap tajam, lalu berkata, “Saya percaya integritas kalian. Tapi masalah ini tidak bisa dianggap sepele. Gosip ini bisa merusak nama baik, bukan hanya kalian, tapi juga bisa merusak reputasi perusahaan.”
Dion maju sedikit, suaranya mantap. “Izinkan saya menyelidiki hal ini, Pak. Saya pastikan nama baik perusahaan tetap bersih, dan siapa pun yang menyebar gosip ini akan bertanggung jawab.”
Hutama mengangguk. “Baiklah. Saya percaya kalian. Audy, silakan kembali bekerja. Dion, kamu tetap di sini. Ada hal lain yang ingin saya bicarakan.”
Audy menatap Dion sejenak, ragu, lalu berdiri dan keluar.
Kini hanya tinggal mereka berdua. Hutama bersandar, tatapannya menusuk.
“Dion, jawab pertanyaan kakek dengan jujur. Apa kamu punya perasaan pada Audy?”
Pertanyaan itu membuat Dion tercekat. Ia terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengaku, “Awalnya cuma kagum, Kek. Tapi entah sejak kapan… dia terasa berbeda. Dia perempuan yang menarik.”
BRAK!
Hutama menghantam meja dengan telapak tangan.
“Kamu sadar nggak kalau dia istri orang?! Bisa-bisanya kamu jatuh cinta sama istri orang! Memangnya nggak ada perempuan lain, selain Audy yang bisa kamu dekati?”
Dion menggertakkan rahang. “Tapi suaminya brengsek. Dan mereka juga akan segera bercerai.”
“Lalu setelah itu apa?! Apa yang mau kamu lakukan setelah mereka cerai?! Kamu mau menikahi dia? Iya?!?!" bentak Hutama.
Dion terdiam. Tidak ada jawaban yang bisa dia berikan.
“Dari dulu kakek selalu menganggap kamu cucu yang terbaik, kamu cerdas, dan selalu bisa diandalkan. Tapi ternyata kamu bisa sebodoh ini hanya karena masalah perempuan!” suara Hutama bergetar menahan emosi.
“Dengar! Kamu harus keluar dari lingkaran gosip ini. Kakek mau kamu berangkat ke China secepatnya, urus bisnis kita di sana. Jangan kembali sampai keadaan di sini tenang."
“Kakek, masa cuma karena gosip murahan aku harus pergi?” protes Dion.
“Jangan membantah! Atau kamu mau kakek kirim balik ke London?! Atau kamu lebih suka Audy diberhentikan?!”
Dion mengepalkan tangan, menahan marah. Akhirnya dia mengangguk dengan nada menantang, “Oke aku pergi tapi hanya sampai beberapa bulan. Tidak lebih. Setelah itu aku bakalan balik, mau kakek setuju atau nggak. Tapi sebelum berangkat, aku harus tahu siapa yang menyebarkan gosip ini. Aku nggak bakalan tinggal diam.”
“Nggak perlu. Kakek sudah mengatur semuanya. Gosip itu juga akan reda sendiri kalau salah satu dari kalian pergi. Kamu berangkat lusa.” Suara Hutama tegas, tidak lagi memberi kesempatan Dion untuk mendebat lebih lanjut.
Dion keluar dari ruangan dengan wajah muram. Di luar, ternyata Audy masih menunggu. Begitu melihat Dion, dia langsung berdiri, matanya penuh khawatir.
“Dion…?” tanyanya pelan.
Dion hanya menatap Audy sebentar, lalu tersenyum tipis menutupi keresahannya. “Nanti aku jelasin. Sekarang kita kerja aja dulu.”
Namun di balik senyum itu, hatinya remuk—karena keputusan besar yang akan memisahkan mereka sementara waktu.
...***...