Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 21
Begitu sampai di halaman mansion, suara langkah kaki Zia terdengar pelan menapaki anak tangga menuju pintu masuk. Udara malam yang dingin seolah ikut menekan dadanya, membuatnya merasa sedikit sesak. Baru saja ia ingin membuka pintu, suara berat dan dingin menyambutnya.
Tanpa peringatan, sebuah tangan besar langsung menarik pergelangan tangannya dengan kasar. “A—” Zia tersentak, tubuhnya sedikit terseret ke dalam. Rasa nyeri langsung menjalar di pergelangan tangannya, membuatnya meringis.
“Lepas… sakit,” gumamnya pelan, mencoba melepaskan genggaman itu.
Azka menatapnya tajam, sorot matanya penuh amarah. “Lo tau nggak? Di sini nggak ada pekerja yang pulangnya larut malam kayak lo!” suaranya tegas, bahkan terdengar menggelegar di ruang tamu yang sepi.
Zia hanya menunduk, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu Azka marah, tapi nada bicaranya kali ini terasa lebih menusuk dari biasanya.
“Lo itu cuma pembantu, bukan pemilik mansion ini. Jadi jangan sesuka hati lo pergi dan pulang kapanpun lo mau!” lanjut Azka, suaranya meninggi, membuat Zia merasa semakin kecil di hadapannya.
Zia mencoba membuka mulut, ingin menjelaskan. “Tapi aku nggak sendiri, tadi sama—”
“Mana main sama cowok lagi!” potong Azka, terkekeh tajam, tapi sama sekali tidak terdengar seperti tawa yang menyenangkan.
Zia buru-buru menambahkan, suaranya nyaris berbisik. “Bukan cowok doang kok… sama cewek juga. Namanya Jenny.”
Namun, tatapan Azka justru semakin menusuk. “Jangan bicara sebelum gue selesai ngomong,” ucapnya dingin, setiap katanya seperti cambuk yang memukul hati Zia.
“Iya…” jawab Zia lirih, matanya memandang lantai.
Azka mendekat sedikit, nadanya lebih tajam, seolah setiap kata dipilih untuk membuatnya merasa bersalah. “Gimana kalau pekerja lain mikir yang nggak-nggak tentang lo? Pulang malam kayak gini… Lo mau orang nganggep lo cewek murahan, hah?!”
Kata-kata itu menusuk seperti belati. Zia terdiam, dadanya terasa sesak. Ia ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa semua itu nggak benar, tapi bibirnya terkunci. Ia hanya bisa menatap lantai, mendengar langkah kaki Azka yang menjauh, meninggalkannya begitu saja di ruang tamu yang kini terasa dingin dan sunyi.
Sesaat setelah itu, suara langkah lain terdengar. April muncul dari arah dapur dengan tangan menyilang di dada, ekspresinya penuh kepuasan. “Emang enak dimarahin Tuan Azka?” tanyanya sinis, matanya menyipit.
Zia hanya diam, mencoba menahan air matanya. Namun, April masih melanjutkan. “Ngeyel sih…” ucapnya sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan Zia sendirian lagi.
Zia menghembuskan napas panjang, seolah mencoba mengeluarkan semua rasa sakit dari dadanya. Namun, yang keluar justru helaan nafas yang berat, disertai tetesan air mata yang akhirnya tak bisa ia tahan lagi. Ia menghapusnya dengan cepat, takut ada orang lain yang melihat.
“Iya… ini salah aku. Harusnya aku sadar diri. Aku cuma pembantu di sini,” ucapnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi… perkataan Kak Azka tadi…” suaranya serak, air matanya jatuh lagi. “Nusuk banget… sampai relung hati.”
Langkahnya pelan menuju tangga, setiap anak tangga terasa lebih berat dari biasanya. Kakinya terasa lemas, pikirannya penuh dengan suara-suara tajam yang baru saja ia dengar. Saat membuka pintu kamarnya, Zia langsung menutupnya rapat, bersandar di baliknya sambil menatap kosong ke arah langit-langit.
Di dalam hatinya, ia mencoba menenangkan diri, tapi kata-kata Azka terus terulang di kepalanya, seperti gema yang enggan pergi. Dan malam itu, di balik pintu kamarnya, Zia hanya bisa memeluk dirinya sendiri, mencoba mengusir rasa sakit yang tak kasat mata.
____
Azka menutup pintu kamarnya dengan keras, suara dentumannya sampai membuat bingkai foto di dinding bergetar. Napasnya terengah-engah, rahangnya mengeras, dan jemarinya mengepal di sisi tubuh. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri dengan kasar, lalu menjatuhkan tubuhnya ke ranjang.
“Kenapa sih gue marah liat Zia pulang sama cowok?” gumamnya pelan, tapi nada suaranya terdengar kesal dan bingung sekaligus. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba mencari alasan logis, tapi yang ada di kepalanya hanya wajah Zia yang tersenyum pada cowok itu. Cowok yang bahkan dia tidak kenal.
Azka memejamkan mata sebentar, namun pikirannya tetap penuh. Rasa kesal bercampur rasa… yang bahkan dia sendiri tidak mau mengakui. “Ah, sialan…” desisnya sambil membalikkan badan.
Sementara itu, di kamar sebelah, Zia terduduk di tepi ranjangnya. Air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. Kata-kata Azka tadi terngiang-ngiang di telinganya, menusuk lebih dalam dari yang ia kira. Ia nggak habis pikir, kenapa Azka marah sebesar itu padanya. Dia bahkan tidak melakukan masalah yang besar.
Tangannya mengusap pipinya yang basah, tapi semakin ia mencoba menahan, air matanya semakin deras. Sampai akhirnya, lelah menguasai tubuhnya. Dengan mata sembab dan napas tersengal, Zia terlelap begitu saja, masih memeluk bantalnya erat-erat.
Di sisi lain, Azka gelisah. Ia bangkit dari ranjang, berjalan mondar-mandir di kamarnya. Sesekali, ia melirik ke arah pintu, seolah ingin keluar. Ingin mengetuk pintu kamar Zia, masuk, dan meminta maaf. Tapi langkahnya berhenti di depan pintu sendiri.
“Enggak. Gue nggak bisa langsung minta maaf,” pikirnya. “Dia harus tau kalau gue nggak suka dia kayak gitu. Biar dia kapok, biar dia nggak ulangin lagi.”
Meski begitu, dadanya terasa sesak. Ada perasaan aneh saat membayangkan Zia di kamar, sendirian. Tapi ego Azka menahannya. Ia kembali ke ranjang, menarik napas panjang, lalu menatap dinding yang memisahkan kamarnya dengan kamar Zia.
“Biarin aja dulu… besok gue liat sendiri dia masih berani pulang sama cowok atau nggak,” gumamnya. Namun suaranya terdengar lebih seperti pembenaran untuk dirinya sendiri.
_____
Sementara itu, di kamar Aksa, suasana terlihat santai.
Dia duduk selonjoran di kasurnya, wajahnya tertutup masker sheet beraroma teh hijau, sambil asyik mengunyah snack dan menonton film zombie di laptop.
Baru saja ia tertawa karena adegan zombie yang konyol, tiba-tiba terdengar BRUK! — suara gebrakan keras dari arah luar kamar. Bersamaan dengan itu, samar-samar terdengar suara tangisan lirih, seperti seseorang yang sedang menahan tangisannya.
Bulu kuduk Aksa langsung berdiri.
“Anjirr… siapa sih malem-malem nangis?” gumamnya, nada suaranya bercampur antara kaget dan takut.
Ia menelan ludah, matanya melirik ke arah jam dinding. Tepat pukul 23.59.
“Aduh… mana ini malam Jumat lagi,” ucapnya sambil menggigit bibir.
Tanpa pikir panjang, Aksa segera bangkit. Ia mencabut masker dari wajahnya dengan gerakan cepat, lalu meraih selimut tebal dan menutup seluruh tubuhnya, seakan kain itu bisa melindunginya dari apapun di luar sana.
Namun suara tangisan itu… justru semakin jelas.
★
★
★
...babayyy segitu dulu ya...
...jangan lupa follow akun aku dan baca cerita novel aku yang lain...
...i love youuuuu kalian...
...and...
...I really love blue and the sea...