Karena dosa yang Serein perbuat, ia dijatuhi hukuman mati. Serein di eksekusi oleh pedang suaminya sendiri, Pangeran Hector yang tak berperasaan. Alih-alih menuju alam baka, Serein justru terperangkap dalam ruang gelap tak berujung, ditemani sebuah sistem yang menawarkan kesempatan hidup baru. Merasa hidupnya tak lagi berharga, Serein awalnya menolak tawaran tersebut.
Namun, keraguannya sirna saat ia melihat kembali saat di mana Pangeran Hector, setelah menghabisi nyawanya, menusukkan pedang yang sama ke dirinya sendiri. Suaminya, yang selama ini Serein anggap selalu tak acuh, ternyata memilih mengakhiri hidupnya setelah kematian Serein.
Tapi Kenapa? Apakah Pangeran Hector menyesal? Mungkinkah selama ini Hector mencintainya?
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, Serein memutuskan untuk menerima tawaran sistem dan kembali mengulang kehidupannya. Sekaligus, ia bersumpah akan membalaskan dendam kepada mereka yang telah menyebabkan penderitaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : The Offer
...****************...
Setelah sekian lama berada di kereta kuda, langkah Serein akhirnya menapaki tanah. Ia mengangkat sedikit gaunnya agar tidak menyentuh tanah lembap, lalu menatap sekeliling tempat asing ini.
Ini merupakan daerah perkampungan, terlihat jelas. Mereka bahkan sudah melewati perbatasan ibu kota. Kereta yang membawanya berhenti tak jauh dari sebuah pasar, yang terlihat cukup berbeda di banding pasar rakyat biasa di daerah alun-alun kota. Tak ada keramaian berdesakan atau tenda kain penuh warna, tapi justru hanya beberapa lapak sederhana dari kayu tua, sebagian sudah tampak lapuk dimakan usia.
Jika di bilang ini daerah kumuh, tidak juga. Suasana keasriannya masih sangat terjaga, walaupun sekeliling memang di dominasi pepohonan seperti hutan. Pepohonan rindang tumbuh liar di pinggir-pinggir rumah, memberi kesan seolah perkampungan ini dibangun berdampingan dengan hutan kecil yang belum sepenuhnya dijinakkan.
Beberapa rumah berdinding anyaman bambu, dengan atap jerami yang mulai kecokelatan karena usia, berdiri tak beraturan di sepanjang jalan tanah.Tapi tak jauh dari tempat Serein berdiri, juga ada warga yang sembarangan membakar sampah di tempat umum yang membuat polusi.
“Ini desanya, Agnes?” Tanya Serein memastikan
Agnes mengangguk, “Benar, Nona.”
Hati-hati, Nona. Jalannya berlumpur,” ujar Rara sambil menuntun langkah Serein, memastikan sepatunya tidak terbenam dalam tanah liat yang basah sisa hujan.
Se umur-umur, baru kali ini Serein melihat daerah seperti ini. Ia terbiasa menatap pemandangan ibu kota yang sudah maju di dua kehidupannya. Sekalipun Eldoria adalah daerah yang tertimbun salju, tapi semua kebutuhannya tetap tercukupi dengan baik.
Mereka berjalan melewati jalan kecil yang tidak bisa dilalui kereta kuda. Tanahnya masih alami, licin, dan sedikit menurun. Warga desa yang mereka lewati mulai menoleh dan memperhatikan dengan tatapan penuh tanda tanya. Beberapa bahkan berhenti dari aktivitas mereka hanya untuk menatap kehadiran gadis berwajah menawan dan dua asistennya.
“Apa dia Putri Bangsawan? Atau Putri Kerajaan?” Bisikan itu terdengar mengiringi langkah Serein dan dua asistennya.
“Untuk apa juga dia ke mari? Mungkin anak Baron dari desa seberang?”
“Dia dewi! Lihatlah kecantikan tak manusiawi itu..”
“Mungkin putri bangsawan yang tersesat..”
“Dia melangkah kemari!!”
Serein menampilkan senyum hangatnya, walaupun orang-orang itu membicarakannya dengan suara yang cukup keras. Padahal Serein sudah memakai gaun paling sederhananya untuk sehari-hari. Bagaimana pun, dengan paras demikian gadis itu memang tidak bisa di abaikan.
Mereka menghampiri salah satu warga yang sedang duduk di bangku bambu, seorang nenek berkerudung lusuh yang meskipun sudah berusia lanjut, matanya masih tajam dan tubuhnya tampak kokoh.
“Permisi nenek, ini desa Sungai Paras? Saya kemari ingin mencari tahu alamat seseorang,” ujar Serein lembut.
Nenek itu mengangguk pelan, menatap Serein dengan sorot penasaran, “Benar, nak. Siapa gerangan yang anak cari?” Tanyanya.
“Seorang penjahit tempahan bernama Maria Theodore, nek. Nenek tahu di mana arah ke rumahnya?”
“Ah, Maria…” Wajah si nenek tampak mengenali nama itu. Ia lalu menunjuk arah jalan kecil di samping pasar, “Rumahnya ada di seberang sungai kecil. Lewati jalan ini sampai ke ujungnya, nanti akan terlihat jembatan kayu kecil. Satu-satunya rumah di seberang sungai itu adalah milik Maria.”
Serein mengangguk mengerti, ia menatap nenek ini dengan senyuman tipis, “Saya mengerti nek, terima kasih, ya.” Serein bersalaman dengan nenek itu, berlanjut Agnes dan Rara. Tindakan yang cukup mengejutkan bagi warga setempat. Biasanya, bangsawan tidak pernah menyentuh tangan rakyat biasa.
“Ini ada sedikit dari Nona saya untuk nenek,” ujar Rara sembari menyelipkan beberapa keping uang koin.
Orang-orang di sekitar mereka cukup memperhatikan itu, begitupun dengan si nenek yang terlihat terkejut dengan koin logam yang baru pertama kali dimilikinya, “ya ampun, ini benar-benar untuk nenek, nak? Berlebihan sekali..” Tanyanya memastikan saking terkejutnya.
Serein mengangguk, “Iya nek, tidak apa.” Sahutnya tersenyum.
“Kalau boleh tahu, apa Nona ini bangsawan?” Tanya salah seorang pria paruh baya di sana.
“Benar Pak, saya dari ibu kota.” Jawab Serein memasang wajah ramah, membuat orang-orang semakin terkejut.
“Perlu Nenek antar ke tempat Maria? Tempatnya cukup jauh, Nak,” tawar si nenek penuh perhatian.
Serein menggeleng pelan. “Tidak perlu, Nek. Saya bersama ajudan saya ke sana.” Tolaknya halus, tidak ingin merepotkan lebih jauh.
Setelah sedikit berpamitan dengan sang nenek dan para warga yang mengiringi mereka dengan tatapan penuh kekaguman, mereka kembali melanjutkan langkah menuju rumah Maria Theodore—menyusuri jalan tanah yang perlahan mengarah ke tepian sungai kecil di depan sana.
Cukup jauh, dan jujur saja terasa melelahkan bagi Serein yang terbiasa berdiam diri atau menggunakan keret kuda ke manapun. Agnes saja sampai menawarkan untuk menggendongnya, tentu saja Serein menolaknya.
Setelah menyeberangi jembatan kayu yang menghubungkan jalan, Mereka pun tiba di satu-satunya rumah dari kayu yang ada di sana.
Agnes mengetuk pintu kayu itu dengan sopan. Tak butuh waktu lama, daun pintu terbuka, menampilkan sosok seorang wanita muda berusia pertengahan dua puluhan. Wajahnya sederhana, rambut hitamnya dikuncir rendah, dan pakaian yang ia kenakan jelas mencerminkan kehidupan sederhana di desa.
“Apa Maria Theodore ada di sini?” tanya Serein dengan nada ramah.
Wanita itu tampak sedikit bingung, dahinya berkerut sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Saya sendiri. Ada apa, ya?”
Senyum Serein semakin lebar. Akhirnya, ia menemukan wanita yang sejak awal ingin ia temui.
***
“Ke ibu kota?” Maria mengulang pertanyaan itu, matanya membulat tak percaya. Ia tampak masih sulit mencerna maksud kedatangan mereka yang mendadak.
Kini mereka duduk di ruang tamu rumahnya yang sangat sederhana. Bangku kayu dengan bantalan tipis menjadi tempat duduk mereka, dan di atas meja kecil yang sedikit miring, hanya tersedia air putih yang Maria sajikan. Ia meminta maaf karena tidak memiliki jamuan lain, tapi Serein justru tersenyum tenang.
“Benar,” jawab Serein sambil menatapnya lekat. “bukankah Anda seorang penjahit dan juga bisa merancang pakaian?” Tanya Serein yang di jawab anggukan oleh Maria, “Saya ingin kita bekerja sama. Nantinya saya akan membuka butik dan Anda bisa memberikan desain sekaligus membuatnya. Saya yang akan mendanai semuanya.”
Maria terlihat masih mencerna situasinya, “Apa nona serius?” Tanyanya memastikan. Bagaimana bisa ada gadis bangsawan yang tiba-tiba mendatangi rumahnya.
“Saya serius, Maria.” Jawab Serein yakin.
“Tapi, bagaimana bisa Anda mengajak saya? Anda bahkan sampai tahu rumah saya, dan tiba-tiba mempercayai saya yang hanya seorang penjahit biasa?” Tanya Maria lagi.
Serein tersenyum tipis, tidak mungkin ia bilang ia dari masa depan. Tapi baginya reaksi Maria sangat wajar, terlebih Serein yang membuat situasi secara tiba-tiba. Bahkan Serein sendiri mungkin akan bereaksi serupa jika berada di posisi yang sama.
“Anggap saja ini cara Tuhan untuk memberikan Anda jalan agar bisa berkreativitas dengan lebih bebas. Saya ingin memberikan Anda ruang untuk berkarya lebih bebas. Saya akan menjamin kehidupan Anda di ibu kota—tempat tinggal, kebutuhan harian, semuanya akan saya atur. Yang saya butuhkan hanya karya dan dedikasi Anda.”
“Jadi, apa Anda bersedia?”
Maria terlihat terdiam sebentar. Ini jelas kesempatan bagus di depan matanya, di banding ia menjahit di desa yang hanya mendapatkan bayaran tidak seberapa. Walaupun ia tak bisa sepenuhnya mempercayai orang asing. Tapi bisa ke ibu kota saja sudah merupakan pencapaian besar yang entah kapan bisa ia raih.
Maria akhirnya mengangguk, “saya bersedia, Nona.”
Senyum puas menghiasi wajah Serein, “Terima kasih, tawaran saya tidak akan mengecewakan.”
...****************...
tbc.