Novel ini sakuel dari novel "Cinta yang pernah tersakiti."
Tuan, Dia Istriku.
Novel ini menceritakan kehidupan baru Jay dan Luna di Jakarta, namun kedatangannya di Ibu Kota membuka kisah tentang sosok Bu Liana yang merupakan Ibu dari Luna.
Kecelakaan yang menimpa Liana bersama dengan suami dan anaknya, membuatnya lupa ingatan. Dan berakhir bertemu dengan Usman, Ayah dari Luna. Usman pun mempersunting Liana meski dia sudah memiliki seorang istri dan akhirnya melahirkan Luna sebelum akhirnya meninggal akibat pendarahan.
Juga akan mengungkap identitas Indah yang sesungguhnya saat Rendi membawanya menghadiri pesta yang di adakan oleh Jay.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Banilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nathan Emilio Pramudya
Krukkk
Krukkk
Krukkk
Dalam dekapan Jay, Luna begitu malu saat perutnya tiba-tiba berbunyi.
"Kamu lapar sayang?" Tanya Jay, Luna tersenyum kikuk seraya memegangi perutnya.
"Hehehe, Iya Mas, aku lapar." Ucapnya malu.
Jay tersenyum, dia lupa kalau ini sudah lewat dari jam makan malam.
"Maaf ya, Mas lupa, kita belum makan malam." Ucapnya merasa bersalah.
"Iya, ngga apa-apa Mas." Ucap Luna.
"Gan, kita mampir ke restoran terdekat, pokoknya cari yang paling dekat, istriku sudah kelaparan." Ucap Jay seraya melirik sang istri yang pipinya memerah karena menahan malu.
"Baik Tuan." Sahut Gani yang terus melajukan mobilnya seraya celingukan mencari restoran.
"Kamu kenapa ngga bilang dari tadi sayang." Ucap Jay seraya memegang kedua pipi Luna gemas.
"Hehehe, aku malu Mas." Ucap Luna, "Tapi sekarang malah lebih malu lagi, gara-gara perut yang ngga bisa di ajak kompromi." Sambungnya malu malu.
"Hahaha, lain kali jangan begitu ya, kalau mau apapun tinggal bilang, jangan di pendam." Ucap Jay lalu mencubit pipi Luna.
"Ihhh Mas, sakit." Luna mengusap pipinya yang jadi semakin merah.
"Habis kamu, gemesin." Ucap Jay, Luna pun mencebik kan bibirnya.
"Maaf Tuan, di depan ada restoran cukup mewah, apa kita kesana saja?" Tanya Gani tanpa menoleh ke belakang, saat matanya menemukan sebuah restoran.
"Iya, kita kesana." Jawab Jay.
"Baik Tuan." Sahut Gani kemudian membelokkan mobilnya masuk ke halaman restoran.
Gani keluar lebih dulu lalu membukakan pintu untuk Jay, "Silahkan Tuan." Ucapnya sopan.
Jay segera turun dari mobil lalu dengan sigap membantu Luna untuk turun.
"Dasar kebo." Rutuk Jay saat melihat Ardan masih tidur lelap di kursinya.
"Tuan seperti tidak tau dia saja, nanti biar saya bangunkan Tuan." Sahut Gani.
Jay pun mengangguk, lalu segera menggenggam tangan Luna, "Bangunkan dia, lalu kamu cari tempat untuk kalian makan, kalian bebas memilih makanan apapun, nanti aku yang bayar." Ucapnya sebelum masuk ke dalam restoran.
"Baik Tuan, saya permisi." Ucap Gani gegas masuk kembali ke dalam mobil untuk memarkirkan mobilnya.
Jay dan Luna pun gegas masuk ke dalam restoran, dan duduk di tempat yang di rasa paling nyaman.
***
"Marvin!"
"Marvin!"
Teriak seseorang memanggil laki-laki bernama Marvin yang merupakan asisten pribadinya. Wajahnya sudah merah padam menahan amarah.
Seorang laki-laki masuk dan nampak terburu-buru, "Ada apa Tuan?" Tanya laki-laki bernama Marvin itu dengan kepala menunduk.
Srakkk
Laki-laki yang di panggil Tuan itu melempar beberapa berkas dengan kasar ke wajah Marvin.
"Apa kalian tidak bisa bekerja dengan baik." Bentak laki-laki itu, "Kenapa saham perusahaan bisa mengalami penurunan sebesar ini, apa saja yang kalian kerjakan Hah?" Tanya laki-laki itu dengan mata yang mulai memerah.
Marvin diam, keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhnya.
Marvin mengambil berkas itu dan membacanya, "Maaf Tuan, saya akan coba selidiki." Ucap Marvin.
"Hari ini juga, temukan penyebab saham perusahaan anjlok, aku mau masalah ini segera di selesaikan." Titah laki-laki itu.
"Tapi Tuan, ini saja sudah sangat malam, tolong beri saya waktu lagi Tuan." Mohon Marvin, karena dia tidak mungkin secepat itu menemukan penyebab turunnya saham perusahaan.
"Aku ngga mau tau, besok penyebab utamanya harus di temukan. Mengerti?" Sentak laki-laki itu lagi.
"Ba..baik Tuan." Sahut Marvin yang akhirnya hanya bisa pasrah.
Dia sudah bekerja lebih dari lima tahun bersama Tuannya ini, dan dia sangat tau jika Tuannya di bantah, maka hanya akan mendapat amukan, meskipun Tuannya ini lebih muda darinya, tapi tidak di pungkiri kalau dia sangat menyeramkan saat marah.
Nathan Emilio Pramudya. Iya, dia adalah CEO dari perusahaan Pram's Corporation. Laki-laki itu meneruskan beberapa perusahaan Kakeknya, dari sekian banyaknya cabang perusahaan, Nathan lebih memilih tetap tinggal di Jakarta, sementara perusahaan yang lain, dia serahkan pada orang orang kepercayaannya, namun Ia tetap memantaunya dari jauh.
Dua puluh tahun yang lalu keluarganya mengalami kecelakaan tepat di hari ulang tahunnya. Hingga membuat keluarganya yang terdiri dari Mamah, Papah dan kakak perempuannya itu dinyatakan meninggal, meski hanya jasad dari Ayahnya yang berhasil di temukan.
Hal itulah yang membuat Nathan menjadi laki-laki arogan, dia selalu merasa Tuhan tak pernah adil padanya dengan merenggut semua orang-orang yang Ia sayangi, termasuk neneknya yang meninggal karena terus meratapi kepergian putra semata wayangnya.
"Tuan, bolehkah saya meminta bantuan seseorang?" Tanya Marvin yang merasa tak sanggup kalau harus melakukan penyelidikan seorang diri.
"Sudah, tinggalkan saja. Kamu temani aku makan malam." Ajak Nathan yang mulai bisa meredam emosi nya.
"Lalu, bagaimana dengan pekerjaan saya, Tuan?" Tanya Marvin.
"Biarkan saja, aku sedang tidak ingin membahas pekerjaan." Jawab Nathan bangkit dan berjalan lebih dulu meninggalkan Marvin.
"Hufffttt, gini amat punya bos yang moodnya naik turun." Gerutu Marvin seraya merapihkan berkas yang baru saja Ia periksa.
"Marvin." Terdengar teriakan Nathan, Marvin pun gegas meninggalkan semua berkas.
"Iya Tuan." Sahutnya gegas berlari menghampiri Tuannya yang sudah menunggunya di depan Lift.
Saat pintu Lift terbuka, keduanya gegas masuk ke dalam lift.
"Tuan, mau makan di restoran mana?" Tanya Marvin.
"Rit's Resto." Jawab Nathan singkat dan jelas.
"Baik Tuan." Sahut Marvin gegas mengambil gawai nya dan menghubungi seseorang yang bisa di pastikan itu adalah nomor dari restoran yang akan mereka kunjungi.
Hingga saat tiba di sana, seorang pelayan langsung menyambut kedatangannya.
"Selamat datang Tuan Nathan, mari, saya akan tunjukan meja anda." Sapa seorang pelayan wanita sopan lalu segera menunjukan sebuah tempat yang sudah di pesan oleh Marvin.
"Makanannya mau di hidangkan sekarang atau Nanti Tuan?" Tanya pelayan itu saat Nathan dan Marvin sudah duduk di kursi masing-masing.
"Sekarang saja." Sahut Nathan.
"Baik Tuan, kami akan menyiapkannya." Ucap Pelayan itu gegas berlalu untuk menyiapkan makanan yang sudah di pesan Marvin.
Nathan dan Marvin kini berbicara layaknya seorang teman, karena selain sebagai asisten pribadi, Marvin juga merupakan sahabatnya.
"Aku merindukan mereka Vin." Ucap Nathan dengan wajah sendunya.
"Saya Paham Tuan, anda pasti sangat berharap bisa menemukan Ibu dan Kakak anda." Ucap Marvin.
"Iya, aku sudah kerahkan banyak orang untuk mencari mereka, bahkan aku beberapa kali meminta mereka untuk menyusuri sungai itu lagi, namun hasilnya tetap nihil, aku tidak menemukan petunjuk apapun." Ucap Nathan yang sebenarnya mulai putus asa, namun hati kecilnya selalu menolak saat dia ingin menghentikan pencarian.
"Sabar Tuan, saya yakin, suatu saat Tuan akan bertemu kembali dengan mereka." Ucap Marvin menguatkan.
"Aku tidak yakin Vin, bahkan aku tidak tau apa mereka masih hidup atau...."
Namun tiba-tiba Nathan menghentikan ucapannya saat mendengar suara wanita yang tak asing baginya.
***
"Kamu dengar sendiri kan tadi, Ayah bilang wajah kamu di foto ini persis seperti Ibu." Ucap Jay setelah menghubungi Pak Usman.
Tadi Pak Usman langsung menelponnya setelah Jay mengirim foto Luna saat di pemakaman, dan Pak Usman mengatakan kalau foto itu benar benar persis seperti istrinya yang sudah meninggal.
"Hehehe, Iya Mas." Ucap Luna yang masih betah menatap foto di ponsel Jay, "Pokoknya aku ingin mencetak foto ini dengan ukuran besar Mas, nanti aku akan pajang foto ini di kontrakan kita." Ucap Luna.
"Baiklah Tuan putri, apapun yang membuatmu bahagia, Mas akan turuti." Sahut Jay yang terus tersenyum melihat Luna tertawa bahagia.
Nathan yang duduk paling pojok, terus menatap sepasang suami istri yang sedang bersenda gurau, lebih tepatnya dia terus menatap Luna.
"Dia... kenapa aku merasa tidak asing dengan wajah itu." Batin Nathan.