Niat hati Parto pergi ke kampung untuk menagih hutang pada kawannya, justru mempertemukan dia dengan arwah Jumini, mantan cinta pertamanya.
Berbagai kejadian aneh dan tak masuk akal terus dialaminya selama menginap di kampung itu.
"Ja-jadi, kamu beneran Jumini? Jumini yang dulu ...." Parto membungkam mulutnya, antara percaya dan tak percaya, ia masih berusaha menjaga kewarasannya.
"Iya, dulu kamu sangat mencintaiku, tapi kenapa kamu pergi ke kota tanpa pamit, Mas!" tangis Jumini pun pecah.
"Dan sekarang kita bertemu saat aku sudah menjadi hantu! Dunia ini sungguh tak adil! Pokoknya nggak mau tahu, kamu harus mencari siapa yang tega melakukan ini padaku, Mas! Kalau tidak, aku yang akan menghantui seumur hidupmu!" ujar Jumini berapi-api. Sungguh sekujur roh itu mengeluarkan nyala api, membuat Parto semakin ketakutan.
Benarkah Jumini sudah mati? Lalu siapakah yang tega membunuh janda beranak satu itu? simak kisah kompleks Parto-Jumini ya.
"Semoga Semua Berbahagia"🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tubuh yang Dipinjam
Parto membuka mata perlahan. Tampak di sekelilingnya sebuah ruang hampa yang gelap dan terasa pengap.
“Apa lagi ini? Aku dimana?” ujar Parto.
Ting!
Lalu terdengar suara ting yang menggema tajam dan dingin seperti dentingan logam yang menghantam keheningan.
Bersamaan dengan gema yang menghilang lambat itu, Parto melihat kilasan-kilasan ingatan peristiwa seakan seseorang dengan sengaja menunjukkannya.
..........🫒
“Ibu berangkat kerja dulu ya, Nduk! Jangan nakal ya, jadilah anak penurut sama Nenek dirumah!”
“Iya, Bu, hati-hati dijalan ya, nanti kalau pulang bawain oleh-oleh ya!”
Secara aneh, Parto merasakan itu, perasaan yang tercerai-berai, antara kasih sayang yang mendalam dan tanggung jawab yang harus dipenuhi.
Rasa sedih yang mendalam dan rasa tidak tega meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang, perasaan khawatir dan cemas tentang keselamatan dan kesejahteraan anaknya saat tidak ada di sampingnya dan rasa menyesal karena harus meninggalkan anaknya, serta perasaan trenyuh karena tahu bahwa anaknya masih membutuhkan kehadiran seorang ibu.
“Dasar menantu nggak tahu diri! Bikin malu saja! Pergi kamu dari sini!”
Dalam slide ini, Parto merasakan hati yang bergetar karena kata-kata kasar yang terlontar dari seorang wanita tua. Rasa sakit dan kecewa yang tak terkira, seperti ditusuk dari belakang, tak mampu membela diri dan tak tahu harus berbuat apa untuk membuktikan diri.
Plak! Parto merasakan panas di pipi oleh tamparan keras seseorang.
“Dasar istri tak berbakti! Membunuhmu saja tak akan cukup!”
Parto merasakan Perasaan kecewa dan hancur yang bercampur aduk, seperti hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian dan kekerasan, seperti kehilangan rasa aman dan kepercayaan pada orang yang seharusnya menjadi tempat berlindung.
Slide terakhir, Parto mendapati dirinya tengah berjalan melewati berbagai cibiran dan tatapan miring banyak warga.
“Oh! Wanita seperti itu toh dia sebenarnya! Pantas diceraikan!”
“Benar! Usir saja dari sini! Mencoreng nama baik kampung kita aja ya!”
“Owalah kerjanya di diskotik? Paling setiap malam kerjaannya cuma ngangkang! Memalukan! Pembawa aib!”
“Mungkin saja anaknya juga nggak jelas siapa bapaknya!”
Parto merasakan tangannya gemetar, kaki yang lemah, dan hati yang berdebar-debar kencang, membuatnya merasa seperti tidak bisa berdiri tegak di hadapan orang-orang sinis itu.
Suaranya yang tercekat di kerongkongan, membuatnya tidak bisa berbicara untuk membela diri, sementara air mata yang menggenang membuatnya merasa seperti kehilangan kendali atas emosi.
Rasa kalut dan panik yang membingungkan, kehilangan kendali atas diri sendiri dan tidak tahu bagaimana menghadapi hujatan dan fitnah tak berdasar yang datang bertubi-tubi, membuatnya merasa seperti terperangkap dalam neraka yang tidak ada jalan keluar.
...........🫒
Kemudian, Parto mendapati dirinya tak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Ia melihat dirinya berkaca, di kamar, di lantai dua ruko itu tengah menyisir rambut dengan gerakan manis bak seorang wanita. Lalu menyunggingkan senyuman mengintimidasi dan penuh dengan dendam.
Lalu tubuhnya bangkit, berjalan perlahan menuruni tangga, membuka pintu, lalu bersenandung lagu aneh yang ia sendiri tak mengerti lagu apa itu.
Berjalan anggun membelah kegelapan malam, menyusuri jalan kampung yang sangat sepi.
Parto yang kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri, mendapati dirinya berdiri menatap kosong pada rumah pak Ngatnu. Lalu kakinya melangkah lagi dan berhenti di rumah bercat kuning gading.
Hingga terakhir langkah Parto berhenti tepat di depan pintu sebuah rumah sederhana namun asri oleh deretan berbagai macam bunga. Bahkan dalam kegelapan malam pun, aroma semerbak kesegaran berbagai macam bunga begitu jelas terasa menyentuh indra penciumannya.
Tok!
Tok!
Tok!
Ketukan pintu dibuatnya tanpa sadar.
“Seli! Buka pintunya, Nak! Ibu pulang!”
“Ibu?!”
Deg!
Parto panik, saat seseorang telah berdiri di belakangnya, menatap aneh padanya. Bagaimana tidak, tiba-tiba seorang pria muda berdiri mengetuk pintu dengan terang-terangan, bahkan mengaku sebagai seorang ibu.
“Kamu! Si penghuni ruko, apa yang kamu lakukan di sini? Bagaimana kamu bisa mengenal anakku? Apa yang kamu inginkan, hah?!”
Parto terkejut, ‘Di-dia pria kasar yang menggedor ruko, dan dia juga yang menamparku sebelumnya.”
Namun tubuh yang kehilangan kendali atas dirinya sendiri itu tak bisa berbuat banyak. Hanya berdiri mematung, pasrah dengan kemarahan Sukijo.
Bugh!
Satu pukulan keras mendarat di ulu hati Parto. Ia menunduk kesakitan memegangi bagian itu.
“Akhirnya aku mengerti, jadi kamu adalah pria itu kan?!” Bukan pertanyaan yang butuh jawaban, nada bicara Sukijo tampak dipenuhi dengan amarah yang membuncah seakan telah lama terpendam.
Sukijo mencengkeram kaos Parto bagian leher, lalu melayangkan beberapa pukulan tepat di wajah pria muda itu.
Parto jatuh kelimpungan tanpa bisa membela diri, hanya bisa merasakan sakit di wajah dan ulu hatinya.
“Hen-hentikan! Jumini! Cukup! Jangan menimbulkan kesalahpahaman lain! Kembalikan tubuhku sekarang!” pekik Parto sekencang mungkin, namun suara itu hanya terdengar menggema di ruang hampa, dimana ia terperangkap secara aneh.
“Kenapa diam saja! Berani-beraninya kamu datang menyebut dirimu ibu!” Satu lagi pukulan penuh amarah mendarat di dagu Parto, membuat pria itu tersungkur dan terjatuh menimpa beberapa pot bunga.
Namun Sukijo tampak membungkam mulutnya sendiri, berdiri limbung memundurkan kakinya beberapa langkah ke belakang. Matanya yang membulat menunjukkan ia tengah teringat akan sesuatu,—sesuatu yang mengejutkan dan cukup mengguncang nalarnya.
“Ibu?! Ta-tadi kamu menyebut dirimu ibu dari Seli?” cicit Sukijo. Tangannya mulai gemetar, lalu bergerak perlahan meremas rambutnya yang tampak acak-acakan. “Ti-tidak mungkin!” pekiknya lalu jatuh luruh dan bersimpuh ditanah.
Sukijo meraung, dipukulinya sendiri dadanya yang bidang, gertakan gigi itu cukup membuat Parto tahu, bahwa pria itu tengah berada dalam emosi aneh yang mungkin membingungkan.
Sukijo mengepalkan lagi kedua tangannya, meninju tanah di depannya, lalu bangkit kembali dengan ke-geram-an yang semakin liar. Ia kembali berjalan dengan sorot mata kemerahan karena amarah telah sampai pada puncaknya.
“Hei-hei! Ap-apa yang akan kamu lakukan? Cu-cukup Jemini! Kembalikan tubuhku! Di-dia seperti tampak ingin membunuhku!”
“Tidak! Kamu harus merasakannya sendiri, agar tahu bagaimana rasa sakit yang aku pendam sendirian selama ini!” pekik Jumini merasa menang, dengan suara serak yang menggema.
“Ta-tapi aku bisa mati kalau caramu begini!” protes Parto.
Terlambat! Tak ada waktu untuk mengelak. Sukijo telah mencengkeram leher Parto. Kilatan amarah itu, Parto bisa merasakannya.
“Jadi ternyata benar apa kata orang-orang, jika Seli itu bukan darah dagingku! Ternyata kamu!”
Bugh!
Tiiit ….
Pukulan keras dan bertubi dilayangkan Sukijo. Tak sekalipun Parto bisa menghindar apalagi melawan. Hingga akhirnya tubuh itu ambruk lunglai diikuti suara denyit memekik, membuat Parto limbung tak sadarkan diri.
...****************...
Bersambung.
Ternyata benar, komentar pembaca menyesuaikan image othornya. Jiyan, nggak ada takut-takunya kalian ya, padahal udah pakai AVA Shinchan yang galak dan menakutkan, tapi komentar kalian tetep aja bengek yak🤣.
Btw terimakasih semuanya. Maap kalau othor suka nggak balas komentarnya satu persatu. Ya mau bagaimana lagi, author ini org yg sibuk. Sibuk pura-pura sok sibuk gitu lah🥴🥴🥴✌️