Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Lima Tahun Lalu.
FLASHBACK ON.
Rafael mematut diri di depan cermin kamar kostnya. Setelah beberapa hari berpisah, akhirnya hari ini ia akan bertemu kembali dengan kekasih hatinya.
Pemuda itu pun tidak ingin membuang waktu terlalu lama. Ia segera pergi menuju taman, tempat dimana mereka membuat janji untuk bertemu.
Rafael terlalu bersemangat, hingga ia datang lebih awal dari waktu yang di janjikan oleh sang kekasih. Tidak masalah. Pemuda itu tidak pernah mempermasalahkan jika Marsha—kekasihnya terlambat datang.
Bukankah, seorang gadis memerlukan lebih banyak waktu untuk bersiap?
Sebenarnya, Rafael ingin datang langsung ke rumah kost gadis itu, namun Marsha melarangnya. Dan meminta Rafael menunggu di taman.
Untuk membunuh waktu, Rafael pun membuka ponselnya agar ia tidak cepat bosan menunggu. Beberapa detik ponsel itu ditangannya, benda itu pun berdering.
“Ibu.” Gumamnya.
Ia baru saja tiba di Jakarta setelah beberapa hari berada di Yogyakarta untuk menengok sang kakak yang mengalami kecelakaan. Rafael sudah mengirim pesan pada sang ibu, jika dirinya sudah sampai di ibukota dengan selamat.
Lalu untuk apa wanita paruh baya itu menghubunginya lagi!
Apa terjadi sesuatu dengan kakaknya?
Dengan cepat Rafael menjawab panggilan masuk itu.
“Iya, Bu. Ada apa?” Tanya Rafael dengan tenang, meski jantungnya mulai berdegup kencang.
Ia takut terjadi sesuatu pada sang kakak yang kini sedang kritis di rumah sakit.
“Rafa.” Terdengar isak tangis dari suara wanita paruh baya di seberang panggilan.
“Ya, bu. Ibu tenang dulu. Bicara pelan-pelan.”
“Rafa. Kamu pulang lagi kemari nak. Farel ingin berbicara sesuatu dengan kamu.”
“Kak Farel sudah siuman?” Tanya Rafael. Ada rasa syukur terlontar dalam hati penuda itu.
Farel Haditama. Putra pertama keluarga Haditama mengalami kecelakaan sepeda motor bersama kekasihnya, Sandra Dewantara yang juga merupakan sahabat dari Rafael.
“Kakakmu siuman sebentar. Dia mencari kamu. Dia ingin meminta sesuatu padamu.” Suara tangis ibu Miranda terdengar mereda. Hal itu membuat Rafael sedikit lega.
“Meminta apa, bu?” Rafael penasaran.
Terdengar helaan nafas panjang diseberang panggilan. “Farel meminta kamu menikah dengan Sandra.”
Jantung Rafael kembali berdetak cepat. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Kembali teringat ucapan dokter. Jika kemungkinan sang kakak untuk bertahan hidup hanya menunggu keajaiban dari Tuhan.
“Apa tidak ada cara lain? Kenapa harus aku?”
Ia ingin sekali berteriak. Tetapi, semua itu tidak akan ada gunanya. Perlahan kepala pemuda itu menunduk. Memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi kedepannya.
“Tidak ada Raf. Sandra sedang hamil. Dan kita harus bertanggung jawab untuknya. Dia mengandung keturunan Haditama.”
Sandra hamil dengan Farel, lalu kenapa harus Rafael yang bertanggung jawab? Lelucon macam apa ini?
“Rafa, tolong kami, nak. Hanya kamu satu-satunya harapan ibu dan ayah. Jika pun kakakmu selamat, dia tidak mungkin menikahi Sandra dalam waktu dekat. Sedangkan—
“Baiklah. Aku akan menikahi Sandra.” Rafael memotong ucapan panjang sang ibu.
Pemuda itu tidak dapat berpikir jernih. Ia teringat dengan sang kakak yang sedang kritis dan tak mempunyai harapan untuk hidup.
Panggilan berakhir. Rafael meremat rambutnya dengan kasar.
Marsha.
Ia teringat dengan kekasih hatinya. Pria itu menatap sekitarnya. Tidak ada siapapun. Bahkan, waktu temu janji mereka pun telah berlalu.
‘Sayang, kamu dimana?’
Sebait pesan ia kirim pada nomor ponsel sang kekasih. Berharap tidak terjadi sesuatu dengan gadis pujaannya.
Ponsel pemuda itu kembali berdering. Ia mengira Marsha yang menghubunginya. Namun bukan. Kali ini, nomor sang ayah.
“Ya, Yah?” Jawab Rafael berusaha tenang.
“Rafa, kamu dimana? Cepat pulang, nak. Keadaan Farel semakin memburuk. Kami butuh kamu disini.”
Rafael menghela nafas panjang. Sungguh ia sangat dilema. Antara Marsha atau keluarganya.
Ia pun harus memilih salah satunya.
“Sayang, maafkan aku. Aku harus pulang ke Jogja hari ini. Maaf jika baru memberi kabar. Ada sedikit masalah yang harus aku selesaikan. Tunggu aku kembali.”
Rafael pun memilih menyelesaikan urusan keluarganya. Setelah itu, ia baru akan menemui sang kekasih.
Semoga gadis itu mengerti, dan mau menunggu kedatangan Rafael kembali.
\~\~\~
Rafael berlari keluar dari bandara menuju tempat parkir, mencari keberadaan sopir sang ayah yang telah menunggu kedatangannya.
Ia seakan di kejar waktu. Sedetik pun tidak boleh lengah. Rafael pun meminta sopir untuk duduk di kursi samping, ia yang akan mengemudikan mobilnya.
“Den, hati-hati.” Pria paruh baya itu memegang apapun di sampingnya. Karena Rafael mengemudi dengan kecepatan tinggi.
“Pak. Doakan semuanya baik-baik saja.”
Kurang lebih dua puluh menit— sepuluh menit lebih cepat, mereka sudah tiba di rumah sakit.
Rafael kembali berlari menuju ruang ICU, dimana Farel berada.
“Yah.”
Langkah Rafael memelan, ia mendapati sang ayah— Haditama, duduk tertunduk di atas lantai.
Pria paruh baya itu mendongak. Rafael kemudian merengkuh tubuh ayahnya. Dan membawa duduk di atas kursi besi.
“Raf, Farel—
Sepertinya ayah Hadi tidak dapat melanjutkan ucapannya. Ia menangis di dalam dekapan putra bungsunya.
“Dimana ibu, Yah?” Tanya Rafael sembari mengusap punggung sang ayah. Pemuda itu yakin, sesuatu pasti terjadi pada sang kakak yang membuat sang ayah menangis seperti ini.
Ia juga merasakan kesedihan yang sama. Namun tidak mungkin ikut lemah. Harus ada yang menguatkan salah satu dari mereka.
“Ibu ada di ruangan Sandra. Gadis itu tadi siuman. Dan dia histeris mendengar keadaan Farel.” Tutur ayah Hadi.
Rafael menghela nafas pelan. Ia belum percaya dengan apa yang terjadi. Farel dan Sandra mengalami kecelakaan. Fakta baru terkuak jika sang sahabat kini tengah hamil muda.
Dan yang membuat Rafael lebih tercengang, adalah kandungan Sandra selamat, padahal kaki gadis itu mengalami cedera yang cukup parah.
Bukankah kuasa Tuhan sangat besar?
Suara langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian anak dan ayah itu. Ibu Miranda datang dengan tergesa.
“Ada apa, Bu?” Tanya Ayah Hadi.
Sementara, Rafael hanya diam. Ia masih belum terima ketika sang ibu memintanya untuk menikahi Sandra, saat Farel sedang dalam keadaan kritis.
“Sandra histeris, Yah. Tetapi, dokter sudah memberikan obat. Sekarang dia tidur.” Ibu Miranda beralih pada sang putra bungsu.
“Raf. Syukurlah kamu sudah datang.” Wanita paruh baya itu berhambur memeluk Rafael.