Sania pernah dihancurkan sampai titik terendah hidupnya oleh Irfan dan kekasihnya, Nadine. Bahkan ia harus merangkak dari kelamnya perceraian menuju titik cahaya selama 10 tahun lamanya. Sania tidak pernah berniat mengusik kehidupan mantan suaminya tersebut sampai suatu saat dia mendapat surat dari pengadilan yang menyatakan bahwa hak asuh putri semata wayangnya akan dialihkan ke pihak ayah.
Sania yang sudah tenang dengan kehidupannya kini, merasa geram dan berniat mengacaukan kehidupan keluarga mantan suaminya. Selama ini dia sudah cukup sabar dengan beberapa tindakan merugikan yang tidak bisa Sania tuntut karena Sania tidak punya uang. Kini, Sania sudah berbeda, dia sudah memiliki segalanya bahkan membeli hidup mantan suaminya sekalipun ia mampu.
Dibantu oleh kenalan, Sania menyusun rencana untuk mengacaukan balik rumah tangga suaminya, setidaknya Nadine bisa merasakan bagaimana rasanya hidup penuh teror.
Ketika pelaku berlagak jadi korban, cerita kehidupan ini semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nadine
Hari itu ... hujan mendadak turun dengan begitu ganasnya. Sania baru saja melamar pekerjaan di toko alat tulis tak jauh dari apartemen sewa miliknya. Sudah hampir dua bulan sejak perceraian dan hidup Sania mulai tertata, keuangan juga mulai membaik meski dengan bekerja serabutan.
Sania mengeratkan pegangan pada payung ketika melangkah menembus dinginnya hujan untuk menemui Mutiara yang ia titipkan sebentar pada Bibi Sula, seorang pedagang makanan pinggir jalan, dimana Sania biasa membantu pekerjaannya.
"Sania!" Bibi Sula berlari ke arah Sania yang jaraknya masih begitu jauh. "Mutiara ...."
Hati Sania seperti ditarik paksa ketika melihat kepanikan Bibi Sula. Pikirannya diliputi ketakutan setiap kali melihat ekspresi panik dan nama Mutiara disebut.
Wanita itu bahkan tidak memakai payung.
"Bibi—"
"Mutiara menghilang—"
"Apa?!" pekik Sania secara refleks. Dalam hatinya langsung curiga pada Nadine, tetapi ia tidak punya bukti. "Bibi, bagaimana Mutiara bisa hilang?"
"Bibi ke kamar mandi sebentar, Mutiara duduk di bangkunya sambil makan cemilan seperti biasa, tapi sewaktu aku kembali, Mutiara sudah tidak ada." Tangis Bibi Sula makin keras. Bibirnya membiru.
"Bibi jangan panik, ayo kita cari dia! Mungkin belum jauh!" Mutiara baru 2 tahun, jadi pasti hanya sekitar sini perginya, kecuali dia diculik. Ah, Sania buru-buru mematikan prasangkanya yang itu. Dia harus berpikir positif.
"Sania, semua orang sudah mencari selama setengah jam, tapi Mutiara tidak ada dimana-mana!" Ketakutan Bibi Sula makin menjadi-jadi karena hal itu. "Ini semua karena keteledoranku, Sania ... huhuhu."
Sania menggigit bibir seraya memutar pandangan ke sekeliling, sebelum akhirnya kembali menatap Bibi Sula. "Bibi pulang aja, biar aku yang cari Mutiara."
Khawatir jika Bibi Sula malah kenapa-napa saat mencari Mutiara. Usai berkata demikian, Sania menyerahkan payung lalu berlari ke arah lain yang mungkin Mutiara kunjungi, meninggalkan Bibi Sula yang memanggilnya histeris.
"Sania ... pakailah payung ini setidaknya—ya ampun, Sania."
...
Namun hingga hampir 2 jam mencari, Sania tidak menemukan Mutiara dimana-mana.
"Sania—bagaimana?" Bibi Sula mendekati Sania dengan perasaan hancur yang tidak bisa disembunyikan lagi. Ia terus menyalahkan diri sendiri atas hilangnya Mutiara.
Sania menggelengkan kepalanya lemah, "belum, Bibi ... aku sudah mencarinya ke seluruh wilayah ini, tapi Mutiara tidak ada."
"Oh, Tuhan ... ini semua salahku." Bibi Sula menutup wajahnya dengan tangan. Tangisnya kembali pecah. "Ini semua salahku ...huhuhu."
"Sudahlah Bibi, aku akan coba lapor polisi saja." Sania mana tega melihat wanita sebaik itu menyalahkan diri sendiri. Dia sudah terlalu banyak membuat Bibi Sula repot.
Belum sempat Sania melangkah keluar, seorang polisi lalu lintas berjalan cepat ke arahnya.
"Apa salah satu dari kalian adalah wali dari anak bernama Mutiara?" tanya polisi itu kemudian.
"Saya ibunya, Pak Polisi." Sania maju, menyahut dengan perasaan panik tak terkira. "Apa terjadi sesuatu dengan anak saya?"
"Kami menemukan putri anda di dekat playground, dan sekarang dia berada di UGD Moraine Hospital."
"Apa?" Sania kaget lalu berlari tanpa mengganti bajunya menuju Moraine Hospital, satu-satunya rumah sakit di kawasan ini.
Tak butuh waktu lama, Sania tiba di rumah sakit dan langsung berlari ke UGD, dimana saat ini Mutiara berada.
Tubuh Mutiara membiru dan terbaring lemah di ranjang. Seorang sedang menggunakan alat pacu jantung yang ditempelkan ke dadanya. Sania terhuyung, hatinya hancur melihat tubuh Mutiara yang tak berdaya seperti itu. Tubuhnya nyaris ambruk jika saja seseorang tidak menopangnya dengan cepat.
"Nyonya, tolong jangan berdiri di sini—anda orang tua dari anak ini?" Seorang wanita yang ternyata perawat itu segera membawa Sania duduk. "Putri anda ditemukan dalam keadaan yang kritis, sepertinya dia mengalami demam tinggi, kejang, dan hipotermia. Dokter sedang mengusahakan agar putri anda bisa diselamatkan."
Sania makin tergugu mendengar itu, tetapi melihat dokter datang, ia segera berdiri. "Dokter, anak saya—"
"Dia akan dipindahkan ke ICU untuk memantau kondisinya beberapa hari ke depan." Dokter itu mengusap kening dan menghela napas, "dia anak yang kuat, Nyonya ... tekatnya untuk hidup sangat kuat."
Tubuh Sania lemas, bibirnya bergetar saat mengatakan ucapan terimakasih pada dokter dan bersyukur pada Tuhan.
Selepas kepergian dokter, Sania diarahkan ke ruang ICU, diberi beberapa arahan dan dimintai keterangan mengenai Mutiara, lalu dia diberitahu bahwa wali baru diizinkan melihat Mutiara usai kondisi kritisnya terlewati.
Saat Sania termenung di depan ruang ICU, polisi yang tadi mendatanginya datang bersama seorang opsir.
"Saya Maxwell, detektif polisi yang menerima laporan penemuan anak di sebuah playgroup."
Sania mendongak perlahan. "Anak saya pasti diculik oleh Nadine, anak konglomerat terkenal itu," ujarnya spontan.
Polisi itu berdehem. "Apa anda punya bukti?"
Ucapan menohok itu membuat Sania bingung. Dia tidak punya bukti apapun saat ini.
"Jika anda tidak punya bukti yang kuat, anda akan dituduh mencemarkan nama baik orang lain. Apalagi dia adalah orang penting, yang pasti nama baik adalah segalanya. Hukumannya pasti tidaklah ringan."
Tubuh Sania menegang. Hatinya membara penuh amarah dan dendam. Tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk membalas orang itu sekarang. Yang ada pasti hanya penderitaan untuknya terutama untuk Mutiara.
Sania memilih pergi dari hadapan polisi. Ia ingin menangis meratapi kepedihannya. Disaat itu, sebuah batu terlempar ke arahnya. Sania kaget dan menyadari bahwa batu itu terikat dengan lipatan kertas.
Sania sudah menduga siapa itu, sehingga segera memungutnya dan membaca isinya.
"Beruntung sekali anak itu selamat kali ini, tapi tidak lain kali."
Sania syok, melempar kertas itu seraya menjerit keras. Ia ketakutan. Bukan sekali ini teror seperti ini terjadi, tetapi ini adalah yang paling parah.
Kejadian itu masih membekas di benak Sania meski waktu berlalu cukup lama. Apalagi ketika membaca kembali surat teror yang jumlahnya sangat banyak ini. Rasanya hati Sania menciut dan tercekik napasnya.
Dulu semua ini tidak berguna karena kata Max, bukti yang dimiliki tidaklah cukup kuat, bahkan tidak ada hal lain yang bisa membuktikan bahwa Nadine pelakunya.
Max beberapa tahun kemudian memberitahunya, bahwa ada rekaman cctv di playgroup yang dihapus tepat di hari Mutiara ditemukan. Namun, Sania yang saat itu masih fokus menata hidup dan ingin melupakan kejadian itu tidak menggubris Max.
Kemarin, Max mengirimkan file rekaman itu dan Sania terkejut karena mengetahui fakta bahwa kasus itu ditutup sepihak oleh atasan Max yang tak lain adalah saudara ayah Nadine.
"Orang yang menculik Mutiara saat ini dalam pencarian. Ini membutuhkan waktu, kuharap kau bersabar sebentar," tulis Max dalam pesannya bersama video itu.
"Baiklah," gumam Sania seraya menutup laptopnya. "Kau yang memulainya lebih dulu, Nadine ... jadi jangan salahkan aku jika kali ini aku mengambil tindakan untuk membalasmu!"
...
"... mediasi atas gugatan hak asuh Mutiara." Irfan membaca kata demi kata dalam surat pemberitahuan mediasi yang akan diadakan di kantor Alveron beberapa hari ke depan, di hadapan Nadine yang tampak membeku.
Irfan meletakkan surat itu dan menatap Nadine tajam. "Kau bilang kita akan datang di acara kelulusan Mutiara nanti untuk memperkenalkan diri, bukan merebutnya dari ibunya seperti ini."
Irfan menyugar rambutnya kasar ke belakang hingga tatanan rambutnya tampak kacau berantakan.
Nadine menggigit bibir karena cemas. Bagaimana bisa surat itu diterima oleh suaminya, padahal dia sudah mengatakan pada pelayan rumah untuk menyembunyikan surat yang datang dari Alveron.
Dasar pelayan tidak berguna. Semua jadi kacau karena kebodohan mereka.
"Sayang ...." Nadine berdiri, meraih lengan Irfan lembut. "Coba kamu pikir lagi, Mutiara adalah anak yang sangat cantik dan pintar. Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali melihatnya dulu. Tapi aku tidak berani memintanya secara langsung pada mantan istrimu itu ... karena meski aku sangat ingin mengasuhnya, bukankah Mutiara lebih baik diasuh oleh ibu kandungnya sendiri?"
Irfan menghela napas dalam. Benar, melihat Mutiara pertama kali dan beberapa kali di televisi maupun ketika sembunyi-sembunyi menunggu Mutiara di sekolahnya, Irfan benar-benar merasa kalau putrinya itu sangatlah mempesona. Siapapun pasti jatuh hati padanya, Irfan menyadari hal itu. Tak dipungkiri, Irfan juga sangat merindukan anaknya itu, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena terikat oleh perjanjian hukum.
Irfan bahkan tidak berani menggunakan kekuasan mertuanya untuk menggertak pengadilan, karena dia sendiri sampai saat ini belum memiliki pencapaian apapun. Paling bagus prestasinya adalah menjadi CEO di anak usaha yang diwariskan mertuanya kepada Nadine. Ya, benar ... Dia menjadi CEO karena menggantikan Nadine.
Sampai saat ini, Tuan Brooch masih dingin dan menjaga jarak. Belum pernah sekalipun mereka ngobrol kayaknya mertua dan anak mantu yang hangat dan akrab. Bahkan beberapa kali, tampak Tuan Brooch menunjukkan betapa jomplang perbedaan kelas mereka.
Nadine tersenyum penuh kepuasan saat ia merasa kalau Irfan sebenarnya sangat menginginkan Mutiara jatuh ke tangannya. Sedikit saja pengaruh pasti akan membuat Irfan berbalik dan berterima kasih padanya.
"Sayang, dengar ...." Nadine mengajak Irfan duduk. Ia bersimpuh didepan Irfan dan menggenggam tangannya. Dipandangnya Irfan penuh cinta dan kasih sayang. "Mantan istri kamu itu tidak punya kualifikasi yang bagus untuk membesarkan Mutiara, kehidupan mereka yang pas-pasan pasti akan sulit untuk menghidupi Mutiara ke depannya. Apa lagi pendidikan Mutiara makin ke sini, makin membutuhkan biaya banyak. Aku yakin dengan alasan itu saja, kita bisa mengambil Mutiara tanpa penolakan berarti dari mantan istri kamu itu."
Irfan masih ragu. "Tapi putusan hakim waktu itu tidak bisa diganggu gugat kecuali Sania meninggal dunia."
Nadine menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Lantas ia berdiri untuk duduk disebelah Irfan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka.
"Aku bisa mengurusnya, Sayang ... dan apakah untuk menemui dan mengasuh anak sendiri kenapa mesti harus menunggu ibunya mati? Lagipula mantan istri kamu itu tidak pernah membawa Mutiara menemuimu, setidaknya mengenalkanmu sebagai ayah pada anak kandungmu sendiri."
Irfan menatap Nadine dengan tatapan kosong. Ucapan Nadine mendadak terasa benar di dalam pemikirannya. Logika Nadine benar-benar masuk akal.
"Sampai-sampai, kamu harus sembunyi-sembunyi menemui anakmu itu di sekolah." Nadine melirik Irfan yang gelisah karena merasa ketahuan. Bibirnya sedikit menyunggingkan senyum puas. "Lebih buruk, Mutiara tidak mengenalimu ketika kalian berpapasan."
Irfan terpojok telak. Semua yang Nadine katakan itu semuanya benar. Sakit hati Irfan ketika darah dagingnya sendiri tidak mengenalinya. Bahkan menyapanya seperti orang asing saat Irfan didapuk sebagai pengalung medali untuk Mutiara. Medali emas yang pertama kali diraih oleh Mutiara.
Melihat Irfan terpengaruh, Nadine diam-diam mengirim pesan pada asisten ayahnya.
"Katakan pada Ayah untuk segera menyiapkan modal untuk perusahaan baruku."
Sedetik kemudian tampak pesan itu telah terbaca, sehingga sebuah senyum kepuasan muncul disudut bibirnya.
"Maaf, Sania ... kali ini aku pinjam anakmu untuk memuluskan tujuanku."
tp gk apa2 sih kl mau cerai juga, Nadine pasti nyesek🤣
Sifat dasar Nadine suka menghancurkan. Bukan hanya benda, pernikahan orang lainpun dihancurkan.
Dan sekarang rumahtangganya mengalami prahara akibat ulahnya yang memuakkan.