Sabrina rela meninggalkan status dan kekayaannya demi menikah dengan Zidan. Dia ikut suaminya tinggal di desa setelah keduanya berhenti bekerja di kantor perusahaan milik keluarga Sabrina.
Sabrina mengira hidup di desa akan menyenangkan, ternyata mertuanya sangat benci wanita yang berasal dari kota karena dahulu suaminya selingkuh dengan wanita kota. Belum lagi punya tetangga yang julid dan suka pamer, membuat Sabrina sering berseteru dengan mereka.
Tanpa Sabrina dan Zidan sadari ada rahasia dibalik pernikahan mereka. Rahasia apakah itu? Cus, kepoin ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Zidan pulang ke rumah begitu mendapat kabar kalau Pak Yadi dan Niken jatuh ke kolam ikan. Hal ini karena Ceu Romlah yang juga mendengar keributan dari halaman belakang penasaran apa yang sedang terjadi di rumah Bu Maryam. Tentu saja salah satu biang gosip sekabupaten itu merekam kejadian yang sedang berlangsung, lalu mengirim ke grup se-RT dan se-RW.
"Ini semua gara-gara istri kamu itu, Zidan!" ucap Niken dengan penuh emosi sambil nunjuk ke arah Sabrina.
"Enak saja nuduh sembarang. Memangnya apa yang sudah aku lakukan sama kamu? Menyentuh kamu saja aku tidak." Sabrina membela diri.
"Itu karma kamu yang akan mencuri ikan punyaku," lanjut Bu Maryam yang tentu saja membela menantu kesayangannya. Mau Sabrina benar atau tidak membuat Niken jatuh.
Zidan tahu Sabrina bukan orang yang suka bohong. Jika melakukan kesalahan pun akan mengakui, sebaliknya jika tidak maka akan ngotot pada ucapannya.
"Sebenarnya Niken jatuh karena kesundul pan'tat Sabrina yang sedang jongkok mau berdiri," kata Pak Yadi takut-takut karena Zidan terus menatapnya tajam.
Seketika tawa Bu Maryam pecah. Dia bisa membayangkan kejadian itu. Muncul rasa puas di dalam hatinya karena pelakor itu menderita.
"Kang, Neng mana tahu ada orang mau lewat. Neng sedang isi tanah ke polibag dan memindahkan tunas cabai. Sejak awal tidak ada siapa-siapa di sana. Makanya aku juga merasa heran kenapa Niken bisa jatuh ke kolam ikan," ucap Sabrina dengan lirih. Dia takut Zidan marah kepadanya, tetapi dia juga tidak mau meminta maaf kepada Niken karena merasa tidak bersalah.
"Memangnya kalian berdua ke sana mau apa?" tanya Zidan penasaran.
DEG!
Jantung Pak Yadi dan Niken terasa berhenti sepersekian detik. Keduanya saling melirik. Kebohongan yang sudah direncanakan mereka akan terbongkar.
"Mereka datang ke sini mau minta ikan. Katanya kamu sudah kasih izin," ucap Bu Maryam dengan nada kesal dan memasang wajah judes.
"Siapa yang kasih izin, Mah? Aku?" tanya Zidan menunjuk dirinya sendiri.
"Iya," jawab Bu Maryam terlebih dahulu sebelum Pak Yadi berbicara.
Pasangan suami-istri itu sudah membuka mulutnya, tetapi sudah kedahuluan. Kini keduanya pasrah mendapatkan amukan Zidan karena sudah berani mengatasnamakan dirinya.
"Bapak bohong sama Mamah dengan menjual nama aku!" Zidan menatap tajam kepada pasangan yang duduk di depannya. Dia paling tidak suka dibohongi dan dimanfaatkan oleh orang lain.
"Maafkan bapak, Zidan. Bapak terpaksa melakukan itu," ucap Pak Yadi dengan terisak. Laki-laki paruh baya itu menangis agar hati putranya melembut.
"Kedua adikmu mau datang, bapak—"
"Zidan tidak punya adik!" potong Bu Maryam dengan tegas. Dia tidak terima kalau anak Niken diakui sebagai adiknya, walau sebenarnya itu adik tiri.
"Heh, anakku itu berarti adiknya Zidan juga!" bentak Niken sewot.
"Lucu, di saat kalian sengsara ingin diakui sebagai keluarga. Kemarin sewaktu jaya tidak ingin mengakui Zidan. Seandainya dulu kalian memperlakukan Zidan seperti anak kalian juga, maka aku tidak akan protes," ujar Bu Maryam dengan penuh amarah. Berhadapan dengan duo tukang selingkuh membuatnya emosi.
"Sudah ... sudah!" Zidan selalu pusing menghadapi para calon manula itu. "Lain kali kalian jangan berbohong membawa-bawa namaku."
Akhirnya Pak Yadi dan Niken pulang setelah diberi empat ekor ikan oleh Zidan. Dia melakukan itu demi kemanusiaan dan bakti anak kepada bapaknya. Jika tidak melihat Pak Yadi, Zidan tidak mau memberikan ikan yang sengaja diternak oleh ibunya kepada pelakor dan anaknya.
***
Suatu hari ketika Bu Maryam dan Sabrina sedang membuat keripik pisang sambil mendengarkan radio. Penyiar radio itu memberitakan tentang penemuan sesosok mayat bayi yang dibuang ke sungai.
"Sungguh kejam orang yang melakukan itu," ucap Sabrina dengan penuh emosi. "Di luar sana banyak sekali wanita yang ingin punya anak dan menjadi seorang ibu. Ini malah dibuang bayinya," ucap Sabrina meremat keras keripik yang sedang dimasukan ke dalam toples.
"Aduh, Neng! Jangan kamu hancurkan keripik buatan Mamah." Bu Maryam yang sedang menggoreng keripik shock melihat kelakuan sang menantu.
Sudah capek-capek Bu Maryam buat keripik biar bentuknya utuh dan berwarna kuning keemasan. Ini malah dirusak dalam satu gerakan tangan Sabrina.
"Astaghfirullah. Maaf, Mah, maaf! Habis aku emosi mendengar berita barusan," ucap Sabrina dengan perasaan bersalah. Mana dia sampai tiga kali tiga genggaman meremukkan keripik pisang buatan sang mertua. Terlihat dalam toples bentuk keripik yang sudah hancur.
"Kamu jangan sedih. Insya Allah nanti akan hamil lagi dan punya anak," ujar Bu Maryam sambil mengelus kepala Sabrina. Dia belajar dari Zidan bagaimana cara meredam emosi wanita cantik itu.
"Aamiin. Doakan aku biar bisa cepat hamil lagi, ya, Mah!" pinta Sabrina kini sudah tersenyum kembali.
"Tentu saja. Setiap berdoa selalu mamah selipkan doa untuk kamu dan Zidan. Biar rumah tangga kalian bahagia, langgeng, punya anak yang sholeh-sholehah, rezeki yang banyak, selalu diberikan kesehatan."
Sabrina merasa terharu. Dia pun memeluk Bu Maryam. Betapa beruntungnya dia punya mertua yang mengerti dirinya. Walau cerewet dan suka menyuruh mengerjakan ini itu, tetapi dia tahu ibu mertuanya sayang dan menghargai keberadaan dirinya di rumah ini.
"Untuk saat ini kamu tidak boleh hamil dulu, ya, kata dokter?" tanya Bu Maryam.
"Iya, Mah," jawab Sabrina.
"Neng, nanti kalau Zidan minta harus dikasih sarung, ya!" Bu Maryam berbisik.
"Dikasih sarung?" batin Sabrina. Lalu, gadis itu melihat ke arah keripik singkong yang ada di dalam toples. Dia pun tersenyum dan berkata, "Siap, Mah!"
Kebiasaan Sabrina di sore hari akan menghabiskan waktu bersama Zidan. Setiap hari bagi mereka rasanya sedang pacaran. Maklum, dulu mereka tidak pacaran.
Kini keduanya duduk di ruang keluarga sambil melihat televisi. Sabrina memangku toples keripik pisang yang tadi dibuat bersama Bu Maryam.
"Pisang hasil di kebun belakang dibuat keripik?" tanya Zidan memerhatikan sang istri yang memasukan makanan ringan itu ke mulutnya.
"Iya, Kang. Kan, tadi siang aku sudah bilang kalau buat keripik sama Mamah," jawab Sabrina setelah menelan semua keripik di dalam mulutnya.
Wanita itu kembali memasukan keripik ke dalam mulutnya. Pandangan masih terarah ke layar datar yang menempel di dinding.
"Tumben aku tidak ditawari. Biasanya suka menyuapi aku kalau lagi ngemil," batin Zidan merasa heran.
"Neng, akang boleh minta—"
Sabrina langsung menoleh. Dia pun mengangguk. Toples berisi keripik di simpan di atas meja. Kemudian dia beranjak dan pergi menuju kamar.
"Neng, mau ke mana?" tanya Zidan merasa heran karena ditinggal pergi.
"Sebentar, Kang!" balas Sabrina yang masuk ke dalam kamar.
Tidak lama kemudian Sabrina datang sambil membawa sarung. Lalu, dia memberikan kain bermerek gajah berdiri dengan corak garis di bagian bawah itu kepada Zidan.
"Ini untuk apa, Neng?" tanya Zidan dengan ekspresi heran tingkat dewa ketika menerima sarung miliknya.
"Tadi, kata mamah, kalau Akang minta, disuruh kasih sarung," jawab Sabrina dengan wajah polos dan mata bulat yang berbinar.
Mulut Zidan terbuka, tetapi tidak bisa berkata apa-apa. Dia harus menanyakan kepada ibunya maksud dari itu semua.
***
Hayo, apa yang tahu maksud Bu Maryam, enggak?
bukan musuh keluarga Sabrina
jangan suudhon dl mamiiii