Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Masa Lalu yang Tak Pernah Pergi
Di koridor hotel, pria itu berdiri kaku seperti bayangan yang tertinggal di antara lampu remang dan dinding bisu. Seragam staf hotel menutupi tubuhnya, topi hitam menutupi sebagian wajahnya, menyisakan garis rahang tegas dan sorot mata yang tajam namun lelah. Tangan kanannya mengepal di sisi tubuh, nyaris bergetar.
Bayu.
"Laras..." gumamnya, lirih, sarat kerinduan yang nyaris menyakitkan
Nomor kamar itu… Sebegitu dekat. Tapi terasa sejauh dua dekade yang tak pernah benar-benar usai.
Ia menatap pintu itu sejenak—lama, seperti ingin mengukirnya dalam ingatan. Seakan dengan melihatnya saja, luka lama bisa sembuh.
Tapi ia tahu lebih baik.
"Laras tak akan membiarkan aku masuk. Tidak sebagai Bayu. Namaku... sudah jadi trauma. Sudah jadi luka terbuka yang tak mungkin ia biarkan menyentuh hidupnya lagi."
Itulah sebabnya dia berdiri di sini—dalam penyamaran yang nyaris menyakitkan. Bukan demi tipu daya. Tapi demi satu kesempatan.
Satu momen saja.
"Aku ingin melihatnya, mendengar suaranya. Aku pastikan kali ini dia tak akan bisa menolakku lagi. Bagaimana pun caranya, kali ini aku tak akan pergi tanpa dia." Matanya kini menyala penuh tekad.
Tangannya perlahan terangkat. Jari-jarinya nyaris menyentuh tombol bel.
Ia menarik napas. Sekali. Dalam.
Dan tombol itu ditekan—membuka kemungkinan, atau mungkin... luka lama.
Ayla melangkah ringan keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, menjuntai lembut di bahunya. Aroma sabun dan sampo menyelimuti tubuhnya yang terbalut bathrobe putih hotel. Ia baru saja hendak mengambil handuk kecil ketika suara bel pintu terdengar.
Ting-tong.
Langkahnya terhenti. Dengan sedikit heran, ia bergegas menuju pintu.
Dari lubang intip, tampak seorang pria berseragam staf hotel berdiri dengan nampan berisi buah segar—seperti yang ia pesan tadi. Tanpa banyak pikir, Ayla memutar kunci dan menarik daun pintu.
Namun sebelum sempat kata apa pun terucap, pria itu—dalam satu gerakan cepat dan penuh urgensi—menerobos masuk. Pintu langsung tertutup rapat di belakang tubuhnya yang tinggi dan kokoh.
Ayla tersentak. Refleks, ia mundur dua langkah ke belakang, matanya membelalak.
“Siapa kau?!”
Pria itu menunduk, jemarinya terangkat melepas topi hitam yang sejak tadi menutupi sebagian wajahnya. Dan waktu seakan berhenti.
Sepasang mata yang tak pernah benar-benar ia lupakan, kini menatapnya—lekat dan dalam.
Kedua mata Ayla membulat. Tenggorokannya tercekat.
“…Kau…”
Wajah itu—masih sama. Bahkan waktu seolah memperindahnya. Tatapan itu… Tatapan yang dulu membuatnya mencintai, kini menatapnya penuh luka, rindu, dan harapan yang tak sempat padam.
“Laras…” bisik Bayu, suaranya nyaris tak terdengar. Tapi bagi Ayla, panggilan itu menggema seperti doa yang lama terpenjara.
“Kenapa kau di sini?” tanya Ayla buru-buru, memalingkan wajah. Ia tak ingin tatapan itu membuatnya rapuh. Tidak sekarang. Tidak lagi.
Bayu meletakkan nampan berisi buah di atas meja kecil dekat pintu. “Aku ingin melihat keadaanmu…”
Ayla menghela napas, matanya tetap menatap jauh ke luar jendela. “Sekarang kau sudah melihatnya. Aku baik-baik saja. Pergilah.”
Namun sebelum ia sempat melangkah menjauh, ia tersentak. Lengan itu—lengan yang ia kenal begitu kuat dan hangat—tiba-tiba melingkar di pinggangnya dari belakang. Tubuh Bayu menyentuh punggungnya. Hembusan napasnya hangat di lehernya.
“Aku merindukanmu,” bisik Bayu lirih, lalu membenamkan wajahnya di ceruk leher Ayla. Sejenak ia menghirup aroma sabun dan kulit Ayla, aroma yang membangkitkan seribu kenangan.
Tubuh Ayla menegang. Hatinya menggigil. Pelukan itu… sentuhan itu… rasanya masih sama. Bahkan lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan. Sekuat tenaga, ia mencoba menarik dirinya, meletakkan jarak yang tak lagi ia percayai.
“Bayu… jangan melampaui batas.” Suaranya bergetar. “Kau suami wanita lain.”
Pelan, Bayu melepaskan pelukannya. Ia berdiri tegak, menatap wajah wanita yang pernah, dan masih ia cintai. “Sebentar lagi… aku akan resmi bercerai dengan Ellen.”
Ayla membelalak, terkejut. Ia tak pernah menduga akan mendengar kata-kata itu dari mulut Bayu. Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, Bayu melanjutkan dengan suara tegas namun lembut:
“Setelah itu… aku akan menikahimu.”
Ayla terdiam. Dada dan pikirannya seperti beradu. Campur aduk antara bahagia yang ia tekan, dan ketakutan yang ia jaga selama ini.
“Bayu… aku tak ingin menikah denganmu,” katanya akhirnya, nyaris berbisik.
Namun Bayu tak memberi ruang. Dengan langkah cepat dan penuh tekad, ia merengkuh tubuh Ayla kembali dalam pelukannya—erat.
“Aku tak ingin mendengar penolakanmu.”
Dan untuk sesaat, waktu kembali membeku.
Pelukan itu… seharusnya hangat. Seharusnya menenangkan. Tapi bagi Ayla, ia justru terasa seperti jerat yang mengunci napas dan logikanya. Hatinya berdegup kencang, tidak karena cinta yang lama terkubur itu lenyap—justru karena cinta itu belum pernah benar-benar mati.
Namun kesadarannya segera menyergap. Bayangan kelam dari masa lalu menyapu pikirannya seperti badai. Ia teringat pada ayah Bayu—sosok kuat yang bahkan tanpa pernah bertatap muka dengannya, telah berusaha menghancurkan hidupnya. Hampir merenggut masa depan dan martabatnya tanpa ampun.
Bagaimana mungkin ia bisa percaya akan diterima dalam keluarga Bayu?
Ayla meronta, mendorong tubuh Bayu dengan kedua tangannya. “Lepas…” desisnya, setengah tercekat oleh emosi yang campur aduk.
Namun Bayu hanya memeluknya lebih erat. Suaranya pelan, tapi mengandung keteguhan yang tak bisa digoyahkan. “Aku tak akan melepaskanmu… Mulai detik ini, aku tak akan pergi—meski kau usir. Tidak lagi.”
Ayla menatapnya tak percaya. “Kau sudah gila…”
Bayu mengangguk kecil, bibirnya melengkung getir. “Ya, aku sudah gila. Gila karena aku tak bisa lagi mengingkari hatiku bahwa aku masih mencintaimu, Laras.”
Matanya menatap dalam, nyaris seperti luka yang berdarah namun tetap indah di pandangannya. “Kau membuat hatiku mati… hingga tak bisa mencinta lagi siapa pun setelahmu.”
Ayla memalingkan wajah, menahan air mata yang mulai terbentuk. Ia tahu dirinya rapuh. Ia tahu jika ia melihat mata itu lebih lama, ia akan runtuh. Ia akan percaya. Ia akan kembali.
Dan itu… adalah hal yang paling ia takutkan.
“Bayu… Kisah kita sudah usai,” katanya pelan, suaranya tercekat. “Jangan paksa aku membuka luka yang telah susah payah kututup. Jangan paksa aku mengingat semua yang kita tinggalkan…”
Bayu tertawa. Pelan. Tapi tawanya mengandung sesuatu yang lebih dalam—seperti senyum di tengah duka yang panjang.
“Usai?” gumamnya. “Kisah kita tak pernah usai, Laras. Bahkan jika kita saling membenci, rasanya masih terlalu kuat untuk disebut akhir.”
Ia menunduk, menyentuh pipinya dengan jemari yang gemetar—seolah menyentuh kenangan.
“Ada pengikat di antara kita yang tak mungkin tega kau putus…”
Ayla menatapnya dengan mata yang kini mulai mengabur oleh air mata. “Apa maksudmu?”
Hening.
Bayu menarik napas, matanya tak lepas dari mata wanita yang selalu ia cintai—dan kini ia perjuangkan untuk terakhir kalinya.
“Kau… sedang mengandung anakku.”
Ayla membeku.
Wajahnya memucat seketika. Bibirnya terbuka namun tak ada suara yang keluar. Suara detak jantungnya sendiri seperti mengalahkan bunyi apa pun di kamar hotel itu. Tangannya bergetar.
"Tidak… seharusnya Bayu tak tahu."
Ia belum sempat berkata apa-apa pada siapa pun. Bahkan dirinya sendiri belum sepenuhnya percaya dengan kenyataan itu.
“Bagaimana… kau tahu…?” bisiknya akhirnya, suaranya seperti pecahan kaca.
Bayu tak menjawab langsung. Perlahan ia meraih tangannya dengan lembut.
“Aku mengenalmu, Laras. Dan aku tahu… rasa ini bukan hanya milikku. Kau masih menyayangiku. Dan kini, kau membawa bagian dari diriku bersamamu…”
Air mata akhirnya jatuh di pipi Ayla. Ia menunduk, tubuhnya bergetar dalam diam.
“Aku akan membesarkan anak ini sendiri,” ucap Ayla lirih namun mantap, meski nada suaranya sedikit bergetar.
Bayu menatapnya, dadanya naik turun menahan gejolak yang mendidih. “Jangan egois, Laras. Kau ingin memisahkan dia dariku? Anak itu… bagian dari kita.”
Ayla menatap Bayu dalam-dalam. Sorot matanya sayu, namun ada luka yang mencuat di balik kelembutannya. “Kita jauh berbeda, Bay. Aku tak pantas berada di sisimu. Aku bukan siapa-siapa. Aku tak layak menjadi bagian dari duniamu…”
“Omong kosong," potong Bayu. “Kau pantas untuk dicintai. Dan bagaimana pun caranya, aku akan menikahimu. Aku tidak menerima penolakan.”
Ayla menunduk. “Kau masih keras kepala seperti dulu.”
“Dan kau masih mencintaiku, Laras. Jangan bohongi hatimu sendiri.”
“Aku…” suara Ayla nyaris tak terdengar, lalu ia mengangkat wajahnya, penuh luka. “Aku tak lagi mencintaimu. Dan aku tak ingin bersamamu.”
Bayu tertawa pelan, getir. “Tidak lagi mencintaiku? Atau kau hanya takut dianggap sebagai penyebab perceraianku? Kau terlalu menjaga kehormatan dan harga dirimu hingga mengabaikan kebahagiaanmu sendiri, Laras.”
Ayla terdiam. Matanya berkaca. Ucapan Bayu menampar sisi yang paling dalam dari hatinya.
“Jika kau tahu itu…” Ayla menarik napas panjang, “…pergilah, Bay. Sebelum semuanya makin rumit.”
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa
Syailendra sekali ini saja, tunjukkan cinta & tanggung jawabmu pada kebahagiaan keturunanmu