Nayla Arensia hanyalah gadis biasa di kota Valmora hingga suatu malam, dua pria berpakaian hitam datang mengetuk pintunya. Mereka bukan polisi, bukan tamu. Mereka adalah utusan Adrian Valente, bos mafia paling kejam di kota itu.
Ayah Nayla kabur membawa hutang seratus ribu euro. Sebagai gantinya, Nayla harus tinggal di rumah sang mafia... sebagai jaminan.
Namun Adrian bukan pria biasa. Tatapannya dingin, kata-katanya tajam, dan masa lalunya gelap. Tapi jauh di balik dinginnya, tersembunyi luka yang belum sembuh dan Nayla perlahan menjadi kunci untuk membuka sisi manusiawinya.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari ancaman dan rasa takut?
Atau justru Nayla akan hancur sebelum sempat menyentuh hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bakwanmanis#23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Warisan dan Darah
Langit di atas Palermo mendung sore itu, seakan ikut menyimpan rencana besar yang sedang dibentuk di dalam vila megah milik keluarga Lazzaro. Vila bergaya Renaisans itu berdiri di atas bukit, menghadap ke laut biru yang bergolak seperti hati Nayla.
Sudah dua tahun sejak Vitorio Lazzaro menyelamatkannya. Dua tahun sejak suara Adrian memudar dari dunia nyata dan hanya hidup dalam kenangan. Tapi Nayla tidak bisa hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Tidak saat orang yang menyelamatkannya mempercayakan seluruh sistem perdagangan ke tangannya.
Wilayah Timur yang meliputi perdagangan dari Balkan, Yunani, sampai pesisir barat Turki adalah wilayah penuh bara dan konflik. Dalam dunia bawah, wilayah ini dikenal sebagai “Zona Abu”, tempat para penguasa saling mencabik untuk kendali jalur rempah dan senjata.
Kini, Nayla memimpin negosiasi untuk merebut kembali jalur perdagangan Palermo Izmir yang sempat direbut kelompok mafia independen bernama Sang Naga Timur, pimpinan Dervan Emre, mantan Jenderal bayaran yang kini menjadi penyelundup terbesar di Laut Aegea.
“Ini bukan sekadar jalur. Ini soal harga diri keluarga Lazzaro,” ujar Nayla dengan suara tegas dalam rapat malam itu.
Ruangan rapat besar bergaya klasik itu sunyi mendengar ucapannya. Beberapa lelaki tua, penasihat senior Vitorio, menatap Nayla dengan ragu. Tapi mata mereka tak bisa memungkiri, perempuan ini punya wibawa. Dengan setelan hitam elegan, rambut disanggul rapi, dan tatapan menusuk tajam, Nayla lebih terlihat seperti seorang pemimpin daripada ‘anak adopsi’.
“Aku akan berangkat ke Izmir minggu depan,” lanjut Nayla.
Seorang penasihat mencoba menyela, “Nona Nayla, mungkin sebaiknya...”
“Aku sudah putuskan.” Suaranya tenang, tapi tegas. “Ayah mempercayakan warisan ini padaku. Aku tak akan duduk diam sementara para pencuri merusaknya.”
Setelah rapat selesai, Nayla berdiri di balkon atas, memandang langit malam yang mulai gelap. Angin laut membawa aroma garam dan kenangan. Di balik ketegasannya, hati Nayla masih bergetar. Bukan karena takut pada musuh, tapi karena rasa bersalah. Ia belum mencari Adrian. Belum menyusuri jejak samar tentang Il Fantasma.
Tapi Vitorio masih hidup.
Dan ia harus membalas budi.
Malam itu ia masuk ke kamar kerja pria tua itu. Vitorio sedang duduk di kursinya, membaca laporan. Rambutnya semakin memutih, tapi sorot matanya masih tajam.
“Kau yakin dengan keputusanmu?” tanyanya tanpa menoleh.
“Aku tak akan membiarkan siapapun merusak apa yang sudah Ayah bangun,” jawab Nayla.
Vitorio tersenyum. “Dulu, saat aku menyelamatkanmu, aku tidak berpikir kau akan bertahan. Tapi sekarang… kau lebih dari yang pernah kubayangkan.”
Nayla mendekat dan berlutut di samping kursi Vitorio, menggenggam tangannya.
“Terima kasih sudah menyelamatkanku. Jika hari itu Ayah tak mengulurkan tangan... mungkin aku sudah jadi abu.”
Vitorio mengusap kepalanya pelan. “Kau seperti anakku sendiri, Nayla. Dan kelak, semua ini akan menjadi milikmu.”
Hari keberangkatan pun tiba.
Dengan jet pribadi, Nayla terbang ke Izmir. Turun di bandara kecil milik privat mafia Balkan, ia langsung dikawal menuju vila pertemuan di dekat Teluk Kusadasi tempat Dervan Emre tinggal dan menyimpan seluruh transaksi bawah tanahnya.
Vila itu terletak di atas tebing yang menghadap Laut Aegea. Benteng modern dengan penjagaan ketat dan senjata otomatis. Tapi Nayla datang bukan untuk berperang. Ia datang membawa negosiasi... dan kekuatan.
Malam itu, mereka duduk di meja bundar. Dervan Emre, pria besar berambut pirang kelabu dengan bekas luka di pelipis, menatap Nayla dengan senyum sinis.
“Vitorio terlalu tua untuk datang sendiri?” ejeknya.
Nayla tersenyum. “Vitorio tahu siapa yang pantas mewakilinya.”
Percakapan berlangsung tegang. Dervan menginginkan pembagian hasil 70-30. Nayla menolaknya bulat-bulat.
“50-50 atau kau kehilangan akses ke pelabuhan Genoa dan Napoli. Itu berarti setengah senjatamu terlambat dua bulan.” Nada bicara Nayla tajam, tapi tak meninggi. Ia bicara seperti penguasa. Dan Dervan menyadarinya.
Mereka diam sejenak, lalu tertawa kecil.
“Baiklah, 55 untukmu, 45 untukku. Tapi kita bahas pengamanan pelabuhan di pertemuan berikutnya.”
Sepakat.
Saat pertemuan berakhir, dan semua orang keluar dari ruangan, Dervan menatap Nayla dalam-dalam.
“Kau bukan hanya cantik. Tapi berbahaya.”
“Terima kasih,” jawab Nayla tenang. “Itu warisan dari ayahku.”
Di kamar hotel malam itu, Nayla berdiri di balkon, memandangi laut gelap yang tenang. Angin dari timur bertiup lembut, membawa aroma berbeda. Kali ini bukan aroma garam... tapi aroma perubahan.
Ia telah menjalankan tugasnya.
Menjaga warisan Vitorio.
Membangun wibawa atas nama Lazzaro.
Tapi malam itu... untuk pertama kalinya dalam dua tahun, Nayla membiarkan dirinya menangis diam-diam. Karena di dalam hati yang keras dan lapang itu... masih ada nama yang terus berdetak: Adrian.