Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Sekadar Sangkar Emas
Mobil Damian membelah jalanan pesisir yang sepi, jauh dari kebisingan kota dan aroma kemunafikan pesta Gavriel. Aruna hanya diam, menyandarkan kepalanya di kaca jendela. Borgol yang tadi hampir mengunci tangannya masih menyisakan rasa dingin di pergelangan tangannya, meski secara fisik tidak pernah menyentuhnya.
"Mas... kita mau ke mana? Mas mau membuangku ke laut karena aku terlalu banyak bikin masalah ya?" tanya Aruna lirih.
Humornya kali ini terasa rapuh, seperti kerupuk yang sudah kelamaan kena angin
Damian tidak menjawab. Ia fokus mengemudi sampai mereka tiba di sebuah rumah kayu modern yang berdiri kokoh di atas tebing, menghadap langsung ke samudera Hindia.
Tempat itu sangat sunyi, hanya ada suara deburan ombak dan hilir angin malam.
"Turunlah," ujar Damian pendek.
Aruna mengikuti Damian masuk ke dalam rumah. Berbeda dengan mansion yang kaku, tempat ini terasa sangat hangat. Banyak buku berserakan, kursi malas yang nyaman, dan tidak ada satu pun pelayan yang mengawasi.
"Ini... rumah siapa?" Aruna bertanya sambil menyentuh sebuah miniatur kapal di atas meja kayu.
"Ini satu-satunya tempat yang kubeli dengan uangku sendiri, tanpa campur tangan ayahku. Tidak ada yang tahu tempat ini, bahkan Lukas sekalipun," Damian melepaskan jasnya, membiarkan kemeja putihnya sedikit berantakan. Ia terlihat lelah, bukan secara fisik, tapi secara jiwa.
Aruna melihat Damian yang tampak sangat manusiawi malam itu. Tanpa pikir panjang, Aruna melangkah ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia menemukan dua bungkus mi instan di dalam lemari kabinet.
"Mas Damian, duduklah. Di saat stres seperti ini, pidato atau kata-kata mutiara itu tidak berguna. Yang Mas butuhkan adalah karbohidrat dan MSG dalam dosis tinggi,"
Aruna mulai menyibukkan diri di dapur.
Sepuluh menit kemudian, dua mangkuk mi instan rebus dengan telur setengah matang dan potongan cabai rawit tersaji di meja kayu. Damian menatap mangkuk itu seolah-olah itu adalah artefak kuno yang aneh.
"Makan, Mas. Ini satu-satunya hal yang tidak bisa disabotase oleh Clara atau Ayah Mas," Aruna mulai menyantap miliknya dengan lahap.
Damian mengambil garpu, mencicipi kuahnya, dan perlahan-lahan ia mulai makan. "Rasanya... tidak buruk."
"Tentu saja! Saya ini sarjana mi instan!" Aruna tertawa kecil, dan kali ini tawanya membuat Damian mendongak.
"Aruna," suara Damian mendadak serius. "Maafkan aku."
Aruna tersedak sedikit. "Maaf? Seorang Damian Gavriel minta maaf? Wah, ini harus saya rekam dan jadikan nada dering!"
"Aku serius," Damian meletakkan garpunya. "Aku tahu aku yang menjebak keluargamu. Aku tahu aku membawamu ke dunia yang berbahaya. Tapi malam ini, saat melihat mereka mencoba memborgolmu... aku sadar bahwa aku lebih takut kehilangan 'kekacauan' yang kamu bawa daripada kehilangan seluruh hartaku."
Aruna terdiam. Ia menatap sisa mi instannya, lalu menatap Damian. "Mas... kenapa Mas harus melakukan semua itu? Kenapa tidak datang baik-baik saja dan bilang kalau Mas butuh teman bicara yang konyol?"
Damian tersenyum getir. "Karena di duniaku, meminta adalah tanda kelemahan. Aku diajarkan untuk mengambil. Tapi kamu... kamu adalah satu-satunya hal yang tidak bisa kuambil paksa hatinya. Semakin aku menjeratmu, semakin aku merasa kaulah yang menjeratku."
Aruna bangkit dari duduknya, berjalan ke arah Damian, dan tanpa diduga, ia memeluk kepala Damian, menyandarkannya di perutnya. Damian tertegun, namun ia tidak menolak. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Aruna, menghirup aroma sabun stroberi Aruna yang sangat kontras dengan dunia gelapnya.
"Mas Damian," bisik Aruna. "Duri-duri Mas itu memang tajam. Tapi kalau Mas mau, mulai sekarang saya akan bantu menumpulkan duri itu satu per satu. Bukan supaya Mas jadi lemah, tapi supaya Mas bisa tidur nyenyak tanpa takut tertusuk duri sendiri."
Damian memejamkan mata. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa benar-benar pulang. "Jangan pernah kabur lagi, Aruna. Jika kamu ingin pergi, bilang padaku. Aku yang akan mengantarmu, meskipun itu akan menghancurkanku."
Aruna terkekeh, meski matanya basah. "Siapa yang mau kabur? Di sini ada mi instan gratis dan ada Mas yang bisa saya kerjai setiap hari. Itu adalah kesepakatan terbaik dalam hidup saya."
Malam itu, di rumah rahasia di atas tebing, jerat sutra itu tidak hilang, namun ia berubah menjadi sebuah ikatan yang tulus. Mereka tahu badai dari Lukas dan masa lalu masih akan datang, namun setidaknya untuk malam ini, sang predator dan mangsanya telah menemukan kedamaian dalam sebuah mangkuk mi instan yang sederhana.
Keheningan di rumah tebing itu terasa sangat berbeda dari keheningan di mansion. Di sini, tidak ada suara detak jam raksasa yang seolah menghitung sisa waktu kebebasan Aruna. Yang ada hanya suara ombak yang konsisten, seolah alam sedang berusaha menghibur dua manusia yang sedang babak belur oleh drama kehidupan.
Aruna melepaskan pelukannya perlahan, namun ia tetap berdiri cukup dekat agar Damian bisa merasakan kehadirannya. Ia memperhatikan wajah Damian yang terkena cahaya rembulan dari jendela. Garis-garis tegas di wajah pria itu tampak sedikit melunak.
"Mas Damian, ada satu hal yang mengganjal di pikiran saya sejak kita di pesta tadi," Aruna memulai kembali dengan nada yang lebih santai.
"Apa itu? Soal tuduhan spionase industri?" tanya Damian.
"Bukan," Aruna menggeleng. "Itu soal Mbak Clara. Dia bilang Mas adalah 'kesalahan masa lalu yang lupa dihapus'. Itu maksudnya Mas pernah pacaran sama dia? Jujur saja, Mas, selera Mas dulu... agak menyeramkan ya? Dia cantik sih, tapi kalau tersenyum kenapa mirip tokoh antagonis di sinetron yang mau meracuni ibu mertua?"
Damian mengembuskan napas panjang, sebuah tawa kecil yang terdengar tulus keluar dari bibirnya. "Clara adalah putri dari rekan bisnis Ayah. Kami tumbuh di lingkungan yang sama. Ayah memaksaku untuk bersamanya karena itu menguntungkan bagi penggabungan aset. Tapi aku tidak pernah bisa tahan dengan wanita yang menghargai manusia berdasarkan merek tas yang mereka pakai."
"Lalu kenapa Mas memilih saya? Saya kan merek tasnya saja cuma beli di pasar malam," seloroh Aruna.
Damian berdiri, kini posisinya menjulang di depan Aruna. Ia menyentuh dagu Aruna, mengangkatnya sedikit agar mata mereka bertemu. "Karena kamu tidak peduli dengan merek tas itu, Aruna. Kamu adalah satu-satunya orang yang berani menertawakanku tepat di wajahku saat semua orang gemetar di bawah kakiku. Kamu... nyata. Dan di dunia yang penuh dengan manekin plastik seperti Clara, aku butuh sesuatu yang nyata agar aku tidak ikut menjadi plastik."
Aruna terdiam, jantungnya melakukan senam ritmik lagi. "Wah, Mas Damian benar-benar ya. Kalau sedang tidak jadi mafia, Mas bisa jadi pujangga kelas kakap. Saya sampai merinding, Mas!"
"Itu pujian atau ejekan?" Damian menaikkan sebelah alisnya.
"Dua-duanya!" Aruna menjulurkan lidahnya. "Tapi terima kasih, Mas. Untuk mi instannya, untuk penyelamatannya, dan untuk tidak membiarkan saya tidur di penjara malam ini. Karena jujur saja, saya tidak tahu apakah di penjara mereka menyediakan kerupuk seblak atau tidak."
Damian tersenyum miring senyum khasnya yang kini tidak lagi terasa mengancam bagi Aruna. "Tidurlah. Kamar di atas adalah milikmu. Aku akan berjaga di sini. Besok, kita harus kembali bertempur. Dan aku curiga, Ayahku tidak akan tinggal diam setelah dipermalukan di depan umum."
Aruna melangkah menuju tangga, namun ia sempat berbalik sekali lagi. "Mas Damian?"
"Ya?"
"Jangan lupa cuci mangkuknya. Di rumah ini tidak ada pelayan, jadi Mas harus belajar jadi manusia normal yang tahu caranya pakai sabun cuci piring!"
Damian menatap mangkuk mi instan di atas meja, lalu menatap punggung Aruna yang menghilang di balik pintu kamar. Ia menggelengkan kepala, tangannya mulai meraih mangkuk kotor itu. Seorang Damian Gavriel, sang penguasa bisnis berdarah dingin, kini sedang berdiri di depan wastafel dapur, mencuci mangkuk mi instan sisa seorang gadis ceroboh. Jika Lukas melihat ini, pria tua itu mungkin akan langsung terkena stroke di tempat.
Namun bagi Damian, ini adalah momen paling jujur yang pernah ia miliki selama tiga puluh tahun hidupnya.