SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26: PEMULIHAN BERSAMA
#
Seminggu setelah Laura dipindah ke ruang rawat VIP, kehidupan mereka jatuh ke rutinitas yang—kalau dipikir-pikir—cukup domestic untuk dua orang yang baru resmi jadian.
Pagi itu, Laura bangun dengan cahaya matahari yang masuk lewat jendela. Tubuhnya masih sakit di beberapa bagian, kepalanya kadang pusing kalau gerak terlalu cepat, tapi secara keseluruhan dia udah jauh lebih baik.
Yang pertama dia lihat setelah buka mata adalah Julian—tidur di sofa dengan posisi aneh, leher pasti pegal banget, selimut jatuh ke lantai. Dia tidur dengan mulut sedikit terbuka, rambut berantakan, wajah damai.
Laura tersenyum. Tiga hari terakhir, Julian gak pernah pulang ke apartemennya. Dia tidur di sofa ruang rawat ini, mandi di kamar mandi rumah sakit, ganti baju dengan baju yang Nia atau Felix bawain. Semua karena dia gak mau jauh-jauh dari Laura.
"Julian," panggil Laura pelan. "Bangun. Lo bakal pegal tidur kayak gitu."
Julian tersentak bangun—refleks yang dia punya sejak militer. Matanya langsung waspada, nyari ancaman. Tapi begitu lihat Laura yang duduk di tempat tidur dengan senyum di wajahnya, dia langsung rileks.
"Lo udah bangun," ujarnya, suaranya serak karena baru bangun. "Kenapa gak bangunin aku?"
"Aku baru bangun juga," jawab Laura. "Dan lo kelihatan butuh tidur."
Julian berdiri, meregangkan tubuhnya yang pegal, lalu duduk di tepi tempat tidur Laura. Tangannya otomatis periksa dahi Laura—kebiasaan yang dia lakuin setiap pagi untuk pastiin Laura gak demam.
"Gak panas," ujarnya dengan lega. "Udah minum obat pagi?"
"Belum. Perawat belum datang."
"Aku ambil air dulu." Julian berdiri lagi, tapi Laura menarik tangannya.
"Julian, duduk sebentar. Lo gak harus ngurus aku terus-terusan kayak gini."
"Aku tau aku gak harus," jawab Julian, duduk lagi tapi gak lepas tangan Laura. "Tapi aku mau. Ada bedanya."
Laura menatapnya dengan tatapan yang lembut tapi ada sesuatu di matanya—sesuatu yang bikin Julian sedikit khawatir. "Tapi lo punya kerjaan. Punya perusahaan yang harus lo urus. Lo gak bisa terus-terusan di sini."
"Adrian handle semua dengan baik," jawab Julian dengan nada yang gak kasih ruang untuk debat. "Dan gak ada yang lebih penting dari lo."
"Julian—"
"Laura, dengerin aku." Julian memegang kedua tangan Laura, menatap matanya dengan intens. "Aku nyaris kehilangan lo. Aku duduk di luar ruang operasi berjam-jam gak tau lo bakal bangun atau gak. Aku lihat lo terbaring di ICU dengan mesin-mesin yang menjaga lo tetap hidup. Jadi maafin aku kalau sekarang aku jadi sedikit—" dia berhenti, mencari kata yang tepat "—posesif. Kalau aku pengen pastiin lo okay setiap detik."
Laura merasakan dadanya sesak dengan perasaan yang campur aduk. Senang karena Julian peduli. Tapi di saat yang sama, ada keraguan kecil yang terus mengganggu di sudut pikirannya.
Apa Julian melakukan ini karena dia beneran cinta? Atau karena dia merasa bersalah?
Tapi sebelum dia bisa ngomong lebih jauh, pintu terbuka. Perawat masuk dengan nampan berisi obat-obatan dan segelas air.
"Selamat pagi, Miss Laura. Waktunya obat," ujar perawat dengan ramah.
Moment itu berlalu. Tapi keraguan tetap ada, mengendap di hati Laura.
***
Siang harinya, Felix datang untuk check-up rutin. Dia periksa jahitan di kepala Laura yang udah mulai mengering, check refleks dan koordinasi motoriknya.
"Pemulihan lo luar biasa cepat," komentar Felix dengan senyum. "Mungkin seminggu lagi lo udah bisa pulang. Tapi tetep bed rest di rumah minimal sebulan ya. Gak boleh kerja dulu."
"Sebulan?" Laura menatap Felix dengan horror. "Felix, aku gak bisa gak kerja sebulan! Proyek Green Valley—"
"Proyek itu bisa ditangani sama orang lain," potong Julian tegas. "Kesehatan lo lebih penting."
"Tapi itu tanggung jawab aku—"
"Yang nyaris bikin lo mati," potong Julian lagi, nada nya lebih keras sekarang. "Laura, please. Gak usah ngotot soal ini."
Laura terdiam, merasa sedikit diserang. Felix merasakan tension di antara mereka dan cepat-cepat intervensi.
"Okay, break dulu you two," ujarnya dengan nada ringan. "Julian, lo keluar sebentar. Aku mau ngobrol sama Laura privately."
Julian mau protes tapi Felix udah natap dia dengan tatapan 'dokter mode on' yang gak bisa dibantah. Akhirnya Julian keluar dengan berat hati.
Begitu pintu tertutup, Felix duduk di kursi samping tempat tidur, menatap Laura dengan tatapan yang lebih serius.
"Okay, spill. Apa yang lo pikirkan?"
Laura terdiam sebentar, lalu akhirnya ngomong. "Apa lo pikir—apa lo pikir Julian melakukan semua ini karena dia beneran cinta sama aku? Atau karena dia merasa bersalah?"
Felix mendesah, seolah udah nunggu pertanyaan ini. "Lo mau jawaban jujur?"
"Selalu."
"Aku pikir Julian melakukan ini karena kombinasi keduanya," jawab Felix dengan jujur. "Dia merasa bersalah, yes. Dia ngerasa ini semua salahnya. Tapi lo pikir orang normal akan tidur di sofa rumah sakit seminggu penuh, gak pulang ke rumah, gak kerja, cuma karena rasa bersalah?"
Laura gak jawab, cuma dengerin.
"Julian mencintai lo, Laura," lanjut Felix dengan tegas. "Aku kenal dia sepuluh tahun. Aku lihat dia sama Maudy dulu. Aku lihat dia hancur setelah insiden lima tahun lalu. Dan aku lihat dia sekarang—sama lo. Cara dia natap lo, cara dia khawatir sama lo, cara dia rela ngorbanin segalanya buat lo—itu bukan rasa bersalah. Itu cinta."
"Tapi—"
"Tapi lo takut," potong Felix dengan lembut. "Lo takut ini semua terlalu bagus untuk nyata. Lo takut suatu hari dia bakal bangun dan nyadar dia gak beneran cinta sama lo. Aku ngerti ketakutan itu. Tapi Laura—kalau lo terus ragu, lo bakal sabotase hubungan kalian sebelum sempet dimulai."
Kata-kata Felix menohok tepat di hati Laura. Karena dia benar. Laura takut. Setelah sepuluh tahun mencintai dalam diam, setelah nyaris mati, setelah akhirnya dapet apa yang dia inginkan—dia takut semua ini cuma ilusi yang akan hancur kapan aja.
"Gimana aku bisa yakin?" bisik Laura, air matanya mulai berkumpul.
"Lo gak bisa," jawab Felix dengan jujur. "Gak ada jaminan dalam cinta. Tapi lo punya pilihan: Lo bisa terus hidup dalam ketakutan dan nolak kebahagiaan yang ada di depan lo. Atau lo bisa percaya—percaya sama Julian, percaya sama perasaan lo sendiri—dan lihat kemana cinta ini bawa kalian."
Laura mengusap air matanya, bingung dengan semua perasaan yang menggerogoti dadanya.
Felix berdiri, menepuk bahu Laura dengan lembut. "Pikirin baik-baik. Dan kalau lo butuh ngobrol lagi, call me anytime."
Setelah Felix pergi, Laura duduk sendirian di tempat tidurnya, menatap kosong ke jendela. Pikirannya kacau, hatinya berat.
Pintu terbuka perlahan. Julian masuk dengan nampan berisi makanan—sup ayam dan jus buah.
"Aku beliin makanan favorit lo," ujarnya dengan senyum kecil, mencoba mencairkan suasana yang tadi tegang. "Sup ayam dari restoran yang lo suka."
Laura menatap Julian—pria yang udah dia cintai sepuluh tahun, pria yang nyaris mati buat nyelamatin dia, pria yang sekarang ada di depannya dengan nampan makanan dan senyum yang mencoba untuk menyenangkan.
Dan dia pengen percaya. Pengen percaya ini semua nyata.
Tapi ketakutan itu masih ada. Mengendap. Mengganggu.
"Terima kasih," ujarnya dengan senyum yang dipaksakan. "Lo—lo baik banget."
Julian menatapnya dengan tatapan yang bisa baca sesuatu gak beres. Tapi dia gak tanya. Cuma duduk di samping Laura, suapin sup dengan sabar, sesekali cerita hal-hal ringan untuk bikin Laura tertawa.
Dan Laura tersenyum, tertawa, berpura-pura semuanya baik-baik aja.
Tapi di dalem hatinya, keraguan itu terus tumbuh. Terus mengganggu. Terus membuat jarak antara dia dan Julian—jarak yang Julian gak sadari, tapi Laura rasakan dengan jelas.
---
#