Seorang dokter muda yang idealis terjebak dalam dunia mafia setelah tanpa sadar menyelamatkan nyawa seorang bos mafia yang terluka parah.
Saat hubungan mereka semakin dekat, sang dokter harus memilih antara kewajibannya atau cinta yang mulai tumbuh dalam kehidupan sang bos mafia yang selalu membawanya ke dalam bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Hutan di sekitar gubuk tempat Rafael, Liana, dan Luca bersembunyi terasa semakin mencekam saat malam tiba. Pepohonan yang menjulang tinggi seolah menjadi dinding alami yang melindungi mereka, namun juga menyembunyikan bahaya yang tidak terduga. Udara dingin semakin menusuk tulang, membuat api unggun kecil yang mereka nyalakan menjadi satu-satunya sumber kehangatan.
Tiba-tiba, suara gemerisik dari semak-semak di dekat gubuk membuat ketiganya tersentak. Liana menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Rafael dan Luca langsung sigap, meraih senjata mereka. Dalam hitungan detik, seekor binatang buas menerobos masuk ke dalam gubuk dengan sorot mata ganas dan liurnya menetes dari taring tajamnya.
"Sial! Serigala liar!" teriak Luca sambil mundur ke belakang, mencoba mencari celah untuk menyerang.
Serigala itu menggeram, mendekati mereka dengan langkah waspada, siap menerkam kapan saja. Rafael bergerak cepat, mengambil batang kayu besar dan mengayunkannya ke arah serigala. Hewan itu melompat ke samping, menghindari serangan tersebut, lalu menerjang ke arah Liana yang berdiri terpaku di sudut ruangan.
"Liana, awas!" Rafael melompat dan menarik Liana ke belakangnya, membuat serigala itu kehilangan target.
Luca memanfaatkan kesempatan itu untuk melemparkan batu besar ke arah serigala, membuatnya mundur sejenak. Namun, binatang itu tidak menyerah. Ia kembali menyerang dengan lebih ganas. Rafael mengambil pisau dari pinggangnya dan menunggu momen yang tepat. Saat serigala itu melompat ke arahnya, Rafael dengan sigap menusukkan pisaunya ke bahu hewan tersebut.
Serigala melolong kesakitan dan mundur dengan luka yang cukup dalam. Luka itu membuatnya tidak bisa bergerak cepat lagi. Dengan dorongan terakhir, Luca menggunakan kayu panjang untuk mengusirnya keluar dari gubuk. Akhirnya, setelah perlawanan sengit, serigala itu berlari menjauh ke dalam hutan, meninggalkan jejak darah di tanah basah.
Napas mereka bertiga tersengal, tubuh dipenuhi keringat meskipun udara dingin masih menusuk. Liana masih terkejut dengan kejadian itu. Rafael menatapnya dengan khawatir, lalu meraih bahunya dengan lembut.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya.
Liana mengangguk pelan, meskipun wajahnya masih pucat. "Ya... hanya saja... aku tidak menyangka akan ada binatang buas di sini."
Luca menghela napas panjang dan duduk di dekat perapian. "Ini pertama kalinya aku melawan serigala. Tapi kita beruntung masih bisa bertahan."
Rafael melihat keluar melalui celah di dinding gubuk, memastikan tidak ada bahaya lain yang mengintai. "Kita akan tetap di sini malam ini. Aku tidak mau mengambil risiko berjalan dalam gelap setelah kejadian ini. Kita akan melanjutkan perjalanan besok pagi."
Luca hanya mengangguk setuju dan berbaring di lantai kayu yang dingin. "Baiklah, aku juga butuh istirahat setelah pertempuran kecil tadi."
Sementara itu, Liana duduk bersandar di dinding, menggigil karena dinginnya udara malam. Rafael memperhatikannya dari sudut matanya. Ia tahu bahwa Liana mungkin masih syok, belum lagi suhu yang terus menurun bisa membuatnya semakin tidak nyaman.
Tanpa banyak bicara, Rafael melepas jaketnya dan menyelimutkannya ke tubuh Liana. Gadis itu terkejut, menatap Rafael dengan mata besar.
"Apa yang kau—"
"Diam dan pakai saja jaket ini untuk menghangatkan tubuhmu," potong Rafael dengan suara tenang, tapi tegas.
Liana menggigit bibirnya, merasakan kehangatan dari jaket Rafael yang masih mengandung sisa panas tubuhnya. Ada sesuatu dalam perhatian Rafael yang membuatnya merasa aman, meskipun di tengah semua bahaya yang mereka hadapi.
"Terima kasih," ucapnya lirih.
Rafael hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa, lalu duduk bersandar di dekatnya. Ia menatap api unggun dengan tatapan kosong, pikirannya dipenuhi berbagai rencana untuk menghadapi Adrian. Tapi di sela pikirannya yang sibuk, ada satu hal lain yang mulai memenuhi hatinya—Liana.
Tanpa disadari, Rafael mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar tanggung jawab terhadap gadis itu. Ia takut kehilangan Liana. Perasaan itu semakin kuat setiap kali mereka berada dalam bahaya bersama. Tapi, apakah ini waktu yang tepat untuk merasakannya? Di tengah semua kekacauan yang terjadi?
Liana yang masih terjaga diam-diam mencuri pandang ke arah Rafael. Ada sesuatu di mata pria itu yang sulit dijelaskan—seperti perasaan bertarung dengan dirinya sendiri. Apakah Rafael juga merasakan hal yang sama seperti dirinya?
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya, dipenuhi oleh ketegangan, kelelahan, dan sesuatu yang perlahan tumbuh di antara mereka.