Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 ACICD - Kepikiran Mencium
Adriel semakin mengiris jarak di antara mereka. Dia pun heran kenapa tubuhnya bergerak tidak sesuai isi otaknya. Adriel kan benci dekat-dekat dengan wanita lain.
"Sudah tidak terhitung jumlah wanita yang mau mendapatkan hati saya, tapi semua gagal. Jangan berharap lebih, Ruby Rose. Kamu bukan Drasha! Jangan berlagak seolah kamu Drasha!" Adriel meluapkan emosinya, apa yang ada di pikirannya semua dikeluarkan.
Bola mata Ruby berkaca-kaca, napasnya terasa tercekat. Suara tinggi Adriel membuatnya… sedih. Seperti ada pisau yang menyayat hati mungilnya.
Tapi, dia mencoba kembali ke akal sehatnya. Jadi, Adriel tahu semalam kalau Ruby yang mengambil cake cokelat itu. Artinya, Adriel yang mengatur wawancara ini supaya diadakan. Dan, pertanyaan laki-laki itu tadi untuk memancingnya.
"Dia sudah mencari tahu identitas aku sebagai jurnalis," batin Ruby. Radar bahayanya seketika aktif.
Ruby mendongakkan dagu, tatapannya menantang, tidak mau kalah. "Saya tidak menggoda Anda!" tegasnya sekali lagi.
"Iya! memang benar saya yang mengambil cake cokelat semalam. Tapi, salahkan orang yang tiba-tiba menutup sky lounge Hotel Astra Nova."
Adriel mengerutkan kening sedetik. Kenapa dia merasa seperti diomeli?
"Saya sudah menunggu satu tahun untuk menikmati cake cokelat edisi spesial itu, saya juga sudah reservasi dari jauh-jauh hari," sambung Ruby.
Tidak berhenti di situ. Ruby lanjut mengeluarkan unek-unek. Bodoh amat jika si CEO narsis ini meminta agar hasil wawancara tadi tidak dipublikasikan.
"Saya juga tidak pernah merasa diri saya Drasha."
Pandangan Adriel dingin menusuk. Wajahnya semakin mendekat. Sesuatu dalam diri wanita cantik itu berdesir. Kuat dan membuatnya membuka bibir sedikit.
"Oh ya?" Adriel meraih kedua pipi Ruby dengan satu cengkraman tangannya yang kokoh. "Lalu ini apa Ruby Rose?" Dia seolah mencengkramnya kuat. Wanita itu sampai mendesah kecil. "Engh…"
Apanya?
Ruby tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Adriel ini sebenarnya. Tiba-tiba dituduh menggoda saja membuatnya terkejut.
Ah. Ternyata salah Ruby merasa ada yang aneh dengan debaran dadanya karena Adriel. Dia malah kesal sekarang karena dicap penggoda. Dasar CEO narsis. Dikira semua wanita mau sama dia yah?
"A-pa m-mak-sud An-da?" sahut Ruby berusaha.
"Wajah kamu…" Adriel terjeda. Awalnya dia pikir Ruby Rose melakukan operasi plastik, tapi begitu menyentuhnya, Adriel sadar kalau ini wajah asli Ruby Rose. Dia melonggarkan cengkraman di pipi wanita tersebut.
"Wajah saya… kenapa?" tanya Ruby.
Adriel tidak menjawab. Iris hitam legamnya malah terpaku pada wajah Ruby Rose. Seolah ada kilatan rindu yang terpancar dari manik matanya.
Hening pun melingkari mereka.
Hanya tatapan keduanya yang seolah terpaut oleh benang tak kasat mata dan memiliki aliran magnet yang saling tarik-menarik.
Kenapa wanita ini begitu sama persis dengan Drasha?
Garis wajahnya, iris honey amber indah yang berbinar, buku mata lentik, lengkungan alis yang sempurna, lekuk bibir yang biasa Adriel isap. Semunya sama.
Di sisi lain, Ruby merasa wajah Adriel begitu … menggoda. Jantungnya menggedor kuat dari dalam. Harusnya pria ini yang bisa dicap penggoda. Lihat saja posisinya sekarang, Adriel mengurung Ruby sampai tidak ada celah untuk lari.
Atau…
Mungkin karena Ruby yang memang tidak ingin lari.
Dinding dingin di belakang punggungnya membuat napas wanita itu tersendat. Adriel berdiri hanya sejengkal di depannya, menatap lurus dengan mata gelap yang sulit dibaca.
Bayangan mereka bertaut di temaram cahaya ruangan, jarak di antara wajah mereka begitu dekat hingga dia bisa merasakan hembusan napas Adriel yang hangat di kulitnya.
Ruby lagi-lagi memainkan bibirnya tanpa sadar.
Sementara wajah Adriel semakin turun mendekat. Suara jam di dinding terdengar lebih keras dari biasanya, detaknya seolah menghitung jarak di antara mereka.
Ruby nyaris tak berani bernapas ketika Adriel memiringkan wajahnya.
Dan…
Sedikit lagi bibir Adriel mendarat di benda mungil yang kenyal milik Ruby itu.
Namun, tiba-tiba suara klik pintu terdengar.
Lalu…
Suara kecil itu memecah udara, membuat Adriel dan Ruby sontak terdiam. Mereka saling menatap sesaat. Terkejut, canggung, nyaris tidak percaya.
Adriel menarik dirinya menjauh dengan langkah mundur yang cepat. Napasnya memburu. Sementara, Ruby menata tarikan napasnya.
Astaga tadi itu apa?
Kemudian suara nyaring menggelegar memenuhi udara. "DADDYYYYYY!!!"
Ruby terpaku sepersekian detik. Daddy? Adriel punya anak? Tapi, dia profil pria itu tidak ada informasi kalau dia punya anak?
Selanjutnya, muncul seorang anak kecil laki-laki yang berlari ringan, wajahnya berseri-seri. Dia membentangkan tangan lebar-lebar. "Dadddyyyyy!!!"
Adriel yang tadi begitu tegang kini tersenyum samar, jongkok lalu menggendong bocah bernama Narell itu dengan lembut. Sorot matanya yang dingin berubah seketika jadi hangat, lembut, dan penuh kasih.
Sesaat kemudian, Hougan muncul dengan wajah tak enak, napas tersengal. "Maaf, Pak… Tuan kecil tadi memaksa untuk masuk."
Adriel hanya menghela napas tipis, menepuk kepala bocah di pelukannya sambil melirik sekilas ke arah wanita yang masih berdiri di dekat dinding.
Dan dalam sekejap mata mereka kembali bertemu. Ada sesuatu yang belum sempat terselesaikan di antara keduanya.
"Daddy, Ayel mau mam eskyim sama daddy!" seru anak laki-laki bermata cokelat gelap itu.
Adriel tersenyum. "Iya, ayo kita mam eskyim." Dia mengusap pucuk kepala si bocah.
Narell memiringkan kepala, menatap dari balik bahu lebar Adriel. "Hwaaaaa… tuntie cancik itu capa, Daddy?" telunjuk Narell mengarah ke Ruby. "Pacalnya Daddy yah?"
Adriel sontak mengernyitkan kening. "Narell, kamu tahu kata seperti itu dari mana?"
"Dari uncle Hou…"
Adriel menoleh pada Hougan, menatap asistennya itu tajam seperti mata pemburu mangsa. Hougan menggeleng cepat kedua tangannya yang bergerak mengelak. Dia hanya pernah menatap sepasang kekasih di taman kota lalu bergumam kapan dia punya pacar dan ucapannya tak sengaja di dengar Narell.
"Saya tidak pernah mengajar Tuan Kecil hal seperti itu, Pak," elak Hougan dengan wajah mengerut seperti habis kena potongan bawang merah.
Di sisi lain, Narell tertawa ringan. Sebenarnya dia asal nebak saja kalau wanita cantik itu pacar Adriel. Pasalnya si bocah tidak pernah melihat Adriel dekat dengan wanita lain.
Adriel kemudian menatap Narell. "Dia jurnalis yang mewawancarai daddy, bisa dibilang… rekan kerja," katanya dengan tarikan sudut bibir yang kaku.
"Ooohhh teman keljanya Daddy," Narell menjulurkan tangan ingin mendekat pada Ruby. "Tuntie namanya caapa?"
"Saya Ruby, salam kenal," ujar Ruby sopan.
"Tuntie Wwuby ayo ikut mam eskyim sama Ayel dan Daddy." Narell melompat turun dari gendongan Adriel dan menghampiri Ruby lalu meraih tangan lembut wanita cantik itu.
Ruby terkesiap penuh kejut. Tapi dengan cepat dia mengatur ekspresi. Dia membungkuk sedikit dan mengelus pucuk kepala Narell. "Umm… Tuntie Ruby nggak bisa ikut karena masih harus lanjut kerja." Dia mengembangkan ukiran lembut di bibirnya. Adriel yang melihat senyuman itu merasakan gejolak di dadanya lagi. Lantas dia memalingkan wajah ke arah jendela kaca tinggi.
"Adriel! Sadar! Dia bukan Drasha! Dia seperti wanita yang lain, cuma lebih cerdik dan licik!"
Adriel mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya tadi dia kepikiran ingin mencium Ruby.