Sebelum lanjut membaca, boleh mampir di season 1 nya "Membawa Lari Benih Sang Mafia"
***
Malika, gadis polos berusia 19 tahun, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya dalam satu malam. Dijual oleh pamannya demi sejumlah uang, ia terpaksa memasuki kamar hotel milik mafia paling menakutkan di kota itu.
“Temukan gadis gila yang sudah berani menendang asetku!” perintah Alexander pada tangan kanannya.
Sejak malam itu, Alexander yang sudah memiliki tunangan justru terobsesi. Ia bersumpah akan mendapatkan Malika, meski harus menentang keluarganya dan bahkan seluruh dunia.
Akankah Alexander berhasil menemukan gadis itu ataukah justru gadis itu adalah kelemahan yang akan menghancurkan dirinya sendiri?
Dan sanggupkah Malika bertahan ketika ia menjadi incaran pria paling berbahaya di Milan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
“Merepotkan sekali. Mereka benar-benar tidak tahu cara bermain rapi.”
Alex sedang menghitung detik menuju kekacauan di pelabuhan yang mulai terendus pihak berwajib.
Memang bukan miliknya, tapi karena berada di wilayahnya, Alex terpaksa membereskan semua agar namanya tetap bersih.
Tok! Tok!
Pintu diketuk dua kali. Tak lama, Jimmy masuk.
“Alex, bisakah kita bicara sebentar?” tanya Jimmy dengan hati-hati. Ia baru saja kembali dari bandara, menjemput Kaylin. “Aku sudah mengantar Kaylin ke rumah orang tuanya.”
Alexander mendesis pelan tanpa menoleh, “Jika Paman ingin membicarakan soal gadis itu, lebih baik Paman keluar. Aku malas membahasnya. Kau tahu aku sedang sibuk. Urusan barang di pelabuhan sudah terendus pihak berwenang, dan aku tidak ingin fokusku teralihkan.”
Jimmy yang hendak kembali berbicara soal kedatangan Kaylin langsung menutup rapat bibirnya. Ia tahu benar, sejak dulu bahkan sampai detik ini, Alexander tidak pernah menganggap Kaylin sebagai seorang wanita.
Sebagai tunangannya sekalipun, gadis itu tetap sama saja, seseorang yang ingin Alex jauhi sejauh mungkin.
Alexander menutup laptopnya dengan sedikit hentakan. Ia menegakkan tubuh dan menatap Jimmy datar.
“Kenapa masih di sini? Urus kekacauan di pelabuhan. Dan satu lagi, jangan pernah menyebut namanya di hadapanku. Dengan atau tanpa sengaja sekalipun!” seru Alex menatapnya tajam.
Jimmy terpaku di tempat. Kata-kata itu bukan sekadar perintah, tapi ultimatum yang tak bisa ditawar.
“Alex, kau mau ke mana?” tanyanya saat melihat pria itu mengambil mantel dan berjalan keluar.
“Pulang ke mansion utama.”
“Pulang? Sekarang? Jam segini?” Jimmy menganga.
Alexander tidak menjawab. Ia hanya berjalan melewati pria itu dan membuka pintu, meninggalkan Jimmy dalam kebingungan.
“Dia pulang? Dia?!” gumam Jimmy sambil menatap pintu yang baru saja tertutup.
“Ini semakin gila saja. Pada hari biasa saja dia tidak pernah pulang sebelum tengah malam, tapi hari ini, dia pulang lebih awal?”
Jimmy mengusap wajahnya cemas.
“Aku semakin yakin, ada yang tidak beres dengannya. Ini pasti ada hubungannya dengan gadis di rumah belakang itu!”
Ia pun segera menghubungi sang anak buah.
“Ikuti Tuan Muda. Pastikan dia tidak melakukan sesuatu yang di luar nalar!”
*
*
“Pumpkin, kau di sini dulu, ya? Ingat, jangan nakal. Jangan kabur lagi seperti tadi,” ucap Malika sambil menuding wajah kucing oranye itu dengan penuh wibawa. Wibawa yang tentu saja sama sekali tak dipahami Pumpkin.
Kucing itu hanya duduk sambil berkedip pelan, seolah memandang Malika dengan tatapan kosong.
Malika meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Barusan, Sofia menegaskan bahwa Tuan Muda Alexander menyukai kerapian dan kebersihan.
Selesai mandi, Malika memakai seragam pemberian Sofia. Ia berdiri di depan cermin, memutar tubuh sekali, dua kali, bahkan sampai tiga kali.
Seragam hitam-putih itu tampak sangat pas di tubuhnya. Kulit putihnya terlihat makin bersih, wajahnya yang cantik memantul jelas di permukaan kaca.
“Semoga setelah ini Lika masih bisa bernapas,” doa Malika dalam hati dengan amat serius lalu keluar kamar.
Albert dan Sofia sudah menunggunya. Sofia akan mengantar Malika ke mansion utama, sementara Albert hanya menemani sampai pintu belakang.
Albert tidak berani mendekati kamar Tuan Muda. Siapa pun tahu, jika Alexander sudah berbicara, tidak ada seorang pun yang boleh ikut campur.
“Ingat, Lika, bersikaplah sopan kepada Tuan Muda. Jangan bicara jika tidak ditanya. Dan jangan pernah bernyanyi di hadapannya! Mengerti?” ucap Sofia dengan tegas.
Malika mengerutkan dahi. “Kenapa Lika tidak boleh menyanyi, Bibi? Lika suka, kok.”
Sofia menatap langit sejenak, seolah mencari kesabarannya yang hilang. Ia tak mungkin menjelaskan bahwa Tuan Muda sangat tidak tahan dengan suara berisik dan suara Malika termasuk kategori paling berbahaya.
“Pokoknya ingat ucapan Bibi,” ucap Sofia, nyaris pasrah.
Malika hanya mengangguk polos.
Keduanya pun melangkah menuju mansion utama. Koridor besar itu sunyi, dindingnya dipenuhi lukisan kuno yang terkesan menatap balik dengan tatapan mengintimidasi.
Malika merasa seperti sedang berjalan menuju pengadilan. Tak lama, mereka berhenti di depan kamar Alexander.
“Selamat berjuang, Lika,” ucap Sofia sebelum meninggalkan Malika sendirian.
Malika menelan ludah, berdiri tegak, dan mulai komat-kamit membaca mantra keberanian versinya sendiri. Setelah mengumpulkan nyali, ia mengetuk pintu.
Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi.
Satu ketukan, dua ketukan, bahkan empat ketukan. Tetap tidak ada suara dari dalam. Alis Malika berkerut khawatir.
“Apa jangan-jangan, om roti sobek pingsan?” gumamnya panik.
Tanpa berpikir panjang, ia memutar knop dan masuk begitu saja. Ruangan itu nampak luas, rapi, namun sepi.
“Lho? Di mana Tuan Muda? Kok tidak ada?” Ia celingukan, memeriksa meja, lorong kecil, bahkan memeriksa bawah tempat tidur dan hampir saja ia berbaring untuk melihat lebih jelas.
Dengan langkah gemetar, ia menuju ranjang besar Alexander. Tetapi, tetap saja, ruangan itu kosong.
“Pasti Tuan Muda sengaja mengerjai Lika! Dia bahkan tidak ada di kamarnya!” Malika mengerucutkan bibir, lalu menginjak lantai pelan sebagai bentuk protes.
Ia memutuskan untuk kembali ke rumah belakang. Begitu ia berbalik, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka.
Seorang pria bertubuh tegap dengan hanya handuk melilit pinggang, melangkah mendekat. Rambutnya masih basah dan menetes membasahi tubuh atletisnya.
“Kedelai hitam... maksudku, kau gadis kampung. Siapa yang menyuruhmu masuk tanpa izin?” tanya Alex dengan alis terangkat.
Suara dingin itu bagai petir di siang hari. Membuat kaki Malika seperti terpaku ke lantai. Gadis itu bahkan lupa cara bernapas.
“Eh, Tuan Muda ternyata ada di kamar,” ucap Malika dengan gugup sembari merutuki kebodohannya karena tak segera kabur dari tadi.
Alexander berdiri tepat di belakang Malika tanpa memberi jarak sedikit pun.
“Mati Lika, mati!” batin gadis itu
Alexander memejamkan mata sejenak saat jarak mereka hanya beberapa inci. Aroma lembut dari tubuh Malika seketika memenuhi inderanya, aroma sabun mandi yang entah mengapa mengingatkannya pada seseorang.
Seseorang yang pernah menendang asetnya. Sangat keras. Hingga ia hampir pingsan. Alih-alih meyakini, Alex mengelak, Malika pasti bukan gadis malam di klub itu.
“Nona,” bisiknya tepat di samping telinga Malika. “Karena kau sudah berani masuk tanpa izin, kau harus dihukum.”
“Dihukum?” ulang Malika, wajahnya pucat, seperti kanebo kering.
malika dan Leon cm korban😄🤣