Dunia ini bernama Loka Pralaya, satu dunia di antara banyak dunia lain di alam semesta ini, sebuah tempat penuh misteri. Di tempat ini, desiran anginnya adalah nafas yang memberi kehidupan bagi penghuninya. Energinya berasal dari beragam emosi dan perasaan segenap makhluk yang ada di dalamnya. Keharmonisan yang mengikat alam ini, mengabadikan keberadaanya di antara banyak dunia lain di alam semesta. Senyum ramah adalah energi yang membangun, menumbuhkan benih-benih yang di tanam di tanahnya, kebaikan kecil yang dilakukan akan memberi dampak besar bagi kelangsungan dunia ini. Pepohonannya adalah mata dan telinga bagi segala peristiwa yang berlangsung di dalamnya. Batu-batu yang berserakan di pantai, menjadi penyimpan memori abadi bagi kejadian-kejadian penting yang terjadi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Energi Seseorang?
Sikara Lewa semakin gusar, jawaban dari kedua menterinya sungguh membuatnya semakin jengkel. Fonda Ono, menteri perdagangannya itu, hanya memberikan jawaban yang tak memberi solusi apa-apa. Sedangkan Panalung Tikan, orang yang ia percaya untuk mengembangkan teknologi pengganti bahan yang diimpor dari kampung Londata, justru semakin membuatnya marah karena memberikan jawaban yang justru lebih layak disebut pertanyaan yang membingungkan.
Sementara itu, ketergantungan mereka terhadap produk impor dari klan Lontara, justru semakin mempersulit posisi mereka sebagai ketua Persekutuan Partokuon, sebab sebagai ketua persekutuan, justru sekarang malah mereka yang harus mengikuti kehendak klan yang berada di bawahnya. Kondisi ini tidak dapat ia tolelir, ia tak mau terus menerus diperas oleh klan Lontara yang selalu menaikkan harga bahan baku itu.
Setelah melihat situasi yang semakin runyam itu, Sikara Lewa mengalihkan pandangannya kepada seseorang yang duduk tak jauh dari singgasananya. Dan orang itu adalah Draven – penasehat utama Sikara Lewa. Draven adalah sosok pria yang sudah berusia lanjut, rambutnya yang panjang sudah memutih, dan tubuhnya sudah agak membungkuk. Ia berasal dari marga Aarom, salah satu dari tiga marga yang ada di klan Gendhing. Penduduk yang berasal dari marga Arom ini dikenal baik akan keluasan ilmu pengetahuannya.
“Tuan Draven,” kata Sikara Lewa kepada penasehatnya itu, “Tuan sudah mendengar dan melihat sendiri, bagaimana situasi kita saat ini.” Katanya.
Draven hanya terdiam, ia tidak menoleh kepada Sikara Lewa, pandangannya justru tertuju kepada Panalung Tikan yang masih terdiam menundukkan kepalanya.
“Benar, Tetua,” jawab Draven, “saya mengikuti dengan baik semua yang sudah disampaikan di sini.” Katanya.
Sikara Lewa menoleh ke arah penasehatnya itu, ditatapnya orang itu dengan tatapan penuh tanya, seperti apakah jawaban yang akan diberikan kepadanya.
“Lalu, bagaimana pendapatmu Tuan Draven?” tanya Sikara Lewa.
Draven tidak langsung menjawab pertanyaan itu, ia memandang sebentar ke arah Sikara Lewa, seakan meminta ijinnya, dengan anggukan keci Sikara Lewa memberikan isyarat kepadanya. Ia berdiri dari tempat duduknya, kemudian berjalan mendekati Panalung Tikan.
“Tuan Menteri,” katanya kepada Panalung Tikan.
Menyadari bahwa Draven sepertinya ingin mengorek lebih dalam tentang informasi yang telah diberikannya, Panalung Tikan segera menegakkan posisi duduknya, ia sudah siap dengan pertanyaan dari sang penasehat utama itu.
“Baik Tuan Draven,” jawabnya dengan sikap hormat.
Draven melangkah semakin mendekatkan dirinya kepada Panalung Tikan.
“Tadi Anda sempat mengatakan bahwa, kesamaan pola dari energi itu pada sumbernya, yaitu Tana’ Bulan?” tanyanya.
“Benar Tuan.” Jawab Panalung Tikan singkat.
Draven mengangguk pelan, ia berjalan agak menjauh dan membalikkan badannya membelakangi Panalung Tikan – sepertinya ia sengaja mencari jeda waktu untuk berpikir, dan sesaat kemudian ia kembali menghadapkan wajahnya.
“Hmmm .... bisa Anda jelaskan apa maksud perkataan itu Tuan Panalung?” tanya Draven sambil tersenyum tipis, entah apa maksudnya. Matanya penuh selidik.
Penalung Tikan merapikan posisi jubahnya, ia telah menunggu pertanyaan ini dari tadi, walaupun ia belum tahu pasti apakah argumentasinya akan diterima dengan baik, atau malah akan menimbulkan masalah baru lagi. Setelah meyakinkan dirinya sendiri, sekilas ia memanang ke arah Sikara Lewa lalu kembali menghadapkan wajahnya ke arah Draven. Namun tatapan mata Draven jelas menunjukkan bahwa dirinya berada dipihaknya, setidaknya itulah yang diharapkan, mengingat Draven berasal dari marga yang sama dengan dirinya – Aarom.
“Tuan, Draven,” kata Panalung Tikan, “apa yang saya katakan tentang Tana’ Bulan itu bukanlah omong kosong semata, saya sudah berulang kali melakukan penelitian dan percobaan tentang hal ini.”
Panalung Tikan berhenti sejenak, ia memberi waktu kepada Draven untuk mencerna kata-katanya.
“Apakah Tuan tidak merasa heran, mengapa pohon Meditrana dan Nadira hanya bisa tumbuh di kampung Londata?” tanyanya memancing keingin tahuan.
Draven mengertutkan dahinya mendapat pertanyaan itu dari Panalung Tikan, ia terdiam sejenak dan mencoba untuk memberikan jawaban yang masuk akal.
“Selama ini yang kita tahu adalah, karena kedua jenis pohon itu memang hanya tumbuh di tanah pesisir pantai, habitatnya memang di tanah seperti itu.” Jawab Draven. “Lalu apa hubungannya dengan Tana’ Bulan?” Tanya Draven.
“Nah, justru disitulah masalahnya, Tuan Draven,” kata Panalung Tikan, “jika memang habitat kedua pohon itu adalah di tanah pesisir, mengapa ia tidak tumbuh di daerah pesisir yang lain?” ujarnya.
Draven merenung sebentar, ia nampak terpengaruh dengan ucapan Panalung Tikan.
“Hmmm... pesisir pantai ya?” katannya seperti bergumam pada dirinya sendiri, suaranya pelan, namun masih dapat didengar oleh Panalung Tikan. Namun sebelum Draven sempat meneruskan ucapannya, Panalung Tikan segera menyambung ucapannya yang tadi.
“Jika memang faktor tanah penyebabnya, maka mengapa kedua tanaman itu tidak tumbuh di daerah klan Lawe, bukankah daerah mereka juga merupakan daerah pesisir seperti klan Lontara?” ucap Panalung Tikan.
Draven agak tersentak dengan jawaban itu, demikian pula dengan Sikara Lewa dan pejabat lain yang hadir. Pernyataan Panalung Tikan ini seperti sebuah lecutan yang menyadarkan mereka akan ketidak tahuannya selama ini. Mengapa pertanyaan ini tidak terpikirkan oleh mereka selama ini? Begitulah barangkali pikiran mereka.
“Tapi apakah hal itu dikarenakan energi Tana’ Bulan?” tanya Draven.
“Benar!” jawab Panalung Tikan cepat, “energi itulah penyebabnya.” Katanya meyakinkan Penasehat Utama itu.
Jawaban Panalung Tikan memang nampak meyankinkan, tapi itu bukanlah sebuah jawaban yang mengandung solusi.
“Baiklah, Jika benar energi Tana’ Bulan adalah faktor utamanya, lalu apa yang bisa kita lakukan dengan kesimpulanmu itu?” tanya Drave. Ia nampak gusar dengan statement yang dilontarkan oleh Panalung Tikan.
Draven melangkah mundur menjauhi Panalung Tikan, kemudian ia berjalan ke tempat duduknya yang berada di dekat Sikara Lewa. Membiarkan Panalung Tikan yang masih terdiam belum sempat melanjutkan ucapannya, ada rona kecewa yang terlihat di wajah Panalung Tikan.
Sementara Panalung Tikan masih terdiam di tempatnya, Setengah berbisik Draven mengatakan sesuatu kepada Sikara Lewa.
“Tetua,” bisiknya kepada Sikara Lewa. “saya bisa menangkap maksud dari ucapan Panalung Tikan,” katanya.
“Iya,” jawab Sikara Lewa, “namun ... apakah kita harus menyetujuinya?” tanyanya.
Draven terdiam sejenak, mencoba menimbang dengan cermat pertanyaan tetuanya itu, karena baik dirinya maupun Sikara Lewa paham bahwa jika memang benar energi Tana’ Bulan adalah faktor yang penting dalam memecahkan kebuntuan masalah ini, maka tantangan selanjutnya adalah bagaimana caranya agar mereka dapat memperoleh aliran energi itu.
“Panalung Tikan!” tanya Sikara Lewa, “aku mengerti apa yang kau maksud itu.” katanya. “namun apa kau sudah memikirkan langkah apa yang akan kau ambil selanjutnya?” tanyanya.
Panalung Tikan menegakkan tubuhnya, lalu dengan nada yang kurang meyakinkan ia mencoba menjawab pertanyaan tetuanya itu.
“Sa.. saya sudah memikirkannya Tuan!” Jawabnya tergagap.
Sikara Lewa tidak langsung memberikan komentar atas jawaban yang terdengar meragukan itu, namun ia membiarkan Panalung Tikan untuk meneruskan kalimatnya. Dan ketika melihat reaksi Sikara Lewa yang demikian itu, Panalung Tikan segera menyambung ucapannya.
“Tuan Tetua,” katanya, “dalam beberapa bulan terakhir ini, saya dan tim saya sudah berhasil menciptakan sebuah alat yang dapat mengalirkan dan menyerap energi dari seseorang,” ia berhenti sejenak, “dan saya yakin dengan alat itu kita bisa menghasilkan energi yang sama seperti yang dihasilkan oleh kedua tanaman itu,” ucapnya.
Sikara Lewa menatap Panalung Tikan denga sorot mata yang tajam, ia tahu bahwa kalimat Panalung Tikan itu belum selesai.
“Energi seseorang? siapa yang kau maksud Panalung!” hardik Sikara Lewa, karena dari jawaban itu ia paham bahwa yang dimaksud “seseorang” dalam ucapan Panalung Tikan adalah seseorang yang mempunyai energi yang berasal dari Tana, Bulan.
“Apa maksud seseorang itu adalah ... Nyi Lirah?” tanya Sikara Lewa dengan nada tinggi. Sebab ia tahu bahwa hanya tetua klan Lontara saja yang memiliki energi itu.
“Bu ... bukan begitu maksud saya Tuan!” jawab Panalung Tikan dengan cepat.
“Lalu apa maksudmu?” tanya Sikara Lewa dengan suara yang semakin meninggi, sedangkan matanya tak berkedip menatap Panalung Tikan.
Hal ini semakin membuat Panalung Tikan gemetar ketakutan, akankah ia akan menjelaskan maksud dari ucapannya itu, ataukah ia akan memilih tidak menjawab, semua berkecamuk di dalam pikirannya. Sementara itu, saat nama Nyi Lirah terucap dari bibir Panalung Tikan, Fonda Ono tampak terkejut, ia merasa bahwa ucapan Panalung Tikan itu akan berimbas buruk kepadanya.