Raju Kim Gadis Korea keturunan Indonesia yang merasa dirinya perlu mencari tahu, mengapa Ayahnya menjadi seorang yang hilang dari ingatannya selama 20 tahun. dan alasan mengapa Ibunya tidak membenci Pria itu.
Saat akhirnya bertemu, Ayahnya justru memintanya menikah dengan mafia Dunia Abu-abu bernama Jang Ki Young Selama Dua tahun.
Setelah itu, dia akan mengetahui semua, termasuk siapa Ayahnya sebenarnya.
Jang Ki Young yang juga hanya menerima pernikahan sebagai salah satu dari kebiasaannya dalam mengambil wanita dari pihak musuh sebagai aset. Namun Bagaimana dengan Raju Kim, wanita itu bukan hanya aset dari musuh, tapi benar-benar harus ia jaga karena siapa Gadis itu yang berkaitan dengan Janjinya dengan Ayahnya yang telah lama tiada.
Akankah Takdir sengaja menyatukan mereka untuk menghancurkan atau Sebaliknya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oliviahae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan yang Tidak Pernah Padam
Kediaman pusat keluarga Jang selalu tampak seperti sesuatu yang tidak hidup, dingin, bisu, penuh lorong batu yang tak berekspresi. Namun malam ini, satu ruangan di lantai tertinggi diterangi lampu kuning temaram, memantulkan cahaya hangat pada sofa kulit tua yang telah digunakan tiga generasi pemimpin keluarga.
Di situlah Jang Woo Jin duduk, punggung tegak namun bahunya terasa berat. Di hadapannya, Ketua Jang, kakeknya, menatapnya dengan mata tua yang masih terang tajam seperti mata elang yang menilai mangsa.
“Kau terlihat lelah, Woo Jin,” kata Sang Kakek, menyuruh kepercayaannya menuang teh hitam tanpa bertanya apakah cucunya ingin atau tidak. “Kelelahan yang datang bukan dari tubuh… tetapi dari hati.”
Jang Woo Jin mengalihkan pandangannya.
“Tidak perlu membuat kesimpulan yang berlebihan, Kakek, maksudku Ketua Jang.”
Ketua Jang tersenyum tipis.“Jika aku tidak bisa membaca pikiran cucu-cucuku, apa gunanya aku hidup selama ini?”
Woo Jin menahan desahan. Ia belum sepenuhnya pulih dari kejadian di bukit, dari rasa bersalah karena membuka gerbang, dari keterlibatannya tanpa sengaja dalam rencana Jin Hwa.
dan kini, setelah Ki Young membawa kembali istrinya ke mansion dan mulai mengisolasi para wanita untuk evaluasi tambahan. Ia dipanggil ke tempat yang sering dibilang benteng itu untuk sesuatu yang menurutnya akan lebih melelahkan.
Sang Kakek menyesap tehnya, lalu berkata pelan,
“Woo Jin, aku ingin berbicara tentang masa depanmu.”
Dan mulailah topik yang ingin ia hindari.“Aku tidak sedang mencari istri maupun sekedar pendamping,” jawab Woo Jin datar. “Tidak sekarang.”
“Kau bukan lagi anak kecil laki-laki,” balas Ketua Jang, suaranya sedikit tegas. “Sudah waktunya kau membangun kehidupan yang stabil. Bahkan Ki Young memiliki istri lebih dari satu, meskipun hubungan mereka rumit.”
Woo Jin menatapnya. “Ki Young menikah karena keperluan keluarga. Karena politik. Karena bisnis. Kau tidak perlu menjadikan itu alasan untuk memaksaku.”
Ketua Jang tertawa kecil. “Tapi Ki Young tidak menyentuh salah satu dari mereka.”
Woo Jin terdiam, entah apa maksud sang kakek bicara seperti itu.
“Dan itulah,” lanjut sang Kakek, “yang membuat Ki Young jauh lebih kuat darimu.”
Dada Woo Jin mengeras. “Apa maksud Kakek?”
“Kau terlalu mudah goyah karena perasaan,” jawab Ketua Jang. “Kalau kau yang berada di posisi Ki Young, dikelilingi wanita-wanita dengan motif samar, kau sudah kalah dari awal.”
Woo Jin mengerutkan kening.“Kakek meremehkan ku.”
“Tidak,” kata Ketua Jang, menatapnya tanpa berkedip. “Aku hanya mengatakannya seperti apa adanya.”
Hening turun sejenak. Lampu kuning membuat bayangan panjang di wajah Ketua Jang, membuatnya tampak lebih tua namun sekaligus lebih berbahaya.
“Kau masih mengharapkan salah satu istri Ki Young, bukan?” kata Ketua Jang tiba-tiba, tanpa tedeng aling-aling. “Choi Da Hee.”
Woo Jin menegang, tangan terhenti di atas lututnya.“…Itu tidak ada hubungannya dengan apa pun,” jawab Woo Jin, meski suaranya terdengar terlalu cepat. Gugupnya terbaca dengan jelas
Jang Geun Suk hanya berkedip paham.“Kau menyukainya,” ujar kakeknya, bukan pertanyaan. “Meski aku tahu alasanmu tidak menyentuhnya bukan karena kau tidak ingin, tetapi karena dia istri adikmu.”
Woo Jin mengepalkan tangan.
“Dan karena kau masih menunggu,” tambah Ketua Jang, “menunggu kemungkinan Ki Young menceraikannya.”
Woo Jin mendongak cepat, tatapannya membara. “Itu tidak benar”
“Woo Jin.” Sang Kakek mengangkat tangan, menghentikan pembelaan yang terlalu rapuh itu.
“Aku tahu perasaan seperti itu. Aku tahu bagaimana rasanya memperhatikan seseorang yang tidak boleh kau sentuh. Aku hidup cukup lama untuk melihat puluhan tragedi seperti itu… dan kau bukan pengecualian.”
Woo Jin memalingkan wajah. Ada rasa panas yang muncul di dadanya, amarah, rasa malu, dan yang paling menyakitkan, pengakuan.
“Motif Da Hee juga belum jelas,” lanjut sang Kakek. “Wanita itu terlalu sempurna. Terlalu bersih. Terlalu… aman. Bahkan ibunya Ki Young menjunjungnya. Dan itu semakin membuatmu menahannya, bukan?”
Woo Jin menutup mata sejenak. “Ini tidak menghormati Ki Young.”
Ketua Jang menyeringai. “Namun kau tetap melakukannya di dalam hati.”
Hening lain muncul, lebih panjang.
“Dengarkan aku, Woo Jin,” kata sang Kakek, nada suaranya berubah menjadi lebih serius. “Aku tidak peduli apa yang kau rasakan untuk Choi Da Hee. Yang aku pedulikan adalah posisimu.”
“Posisiku?”
“Ya. Ki Young sudah mengambil peran pewaris utama. Ia ditakdirkan memimpin bisnis-bisnis keluarga, termasuk yang tidak bersih.”
Tatapan kakeknya dalam, menusuk.
“Kau tidak akan pernah bisa sekuat Ki Young jika kau memikul hatimu seperti beban.”
Woo Jin mengatupkan rahangnya.
“Dan karena itu,” lanjut sang Kakek, “aku ingin kau mempertimbangkan wanita yang diusulkan. Wanita dari keluarga rekan bisnis lama. Prestasinya baik, tidak ada motif tersembunyi, dan paling penting… dia bisa memberi keturunan tanpa beban politik atau bahaya.”
Woo Jin mengangkat kepala, menatap langsung tatapan dingin itu.“Aku tidak akan menikahi wanita yang bukan pilihanku.”
“Itu yang kau pikirkan sekarang,” jawab Ketua Jang tenang. “Tapi keluarga Jang tidak dibangun dengan perasaan.”
Ketika Woo Jin hendak membalas, sang Kakek menambahkan dengan lembut,
“Dan jangan takut. Aku tidak akan mengambil tindakan apa pun pada Da Hee. Ki Young adalah pemilik sah para istrinya. Jika suatu hari dia melepaskannya, maka itu urusan kalian berdua. Bukan urusanku.”
Perut Woo Jin terasa seolah ditinju dari dalam.
Apakah itu berarti harapan… atau ancaman?
Ketua Jang bersandar ke kursinya, menatap Woo Jin seolah sedang membaca masa depannya. “Untuk saat ini,” katanya perlahan, “tugasmu adalah tetap berada di sisi Ki Young. Lindungi dia. Lindungi keluarga ini. dan… kendalikan perasaanmu.”
Woo Jin menghela napas panjang.“Baik, Kakek.” dia tahu satu-satunya cara menghadapi Kakeknya adalah patuh dan mengikuti.
“Bagus.”Sang Kakek tersenyum samar.
“Karena jika Ki Young terjatuh… semua wanita itu, termasuk Da Hee, akan binasa.”lanjut Ketua Jang pelan.
Woo Jin menahan napas. “…Aku mengerti.”
Dan untuk pertama kalinya malam itu, Ketua Jang terlihat puas. Ia mengangkat cangkirnya dan menyesap teh terakhirnya.
“Sekarang pergilah. Ki Young mungkin membutuhkanmu.”
Woo Jin bangkit, membungkuk pelan, lalu berjalan ke pintu.
Tapi sebelum ia keluar, Sang Kakek berkata pelan, hampir seperti bisikan “dan Woo Jin… jangan berpura-pura bahwa kau tidak memandang Raju Kim dengan cara yang berbeda. Aku bisa melihatnya.”
Woo Jin berhenti.“Itu… bukan seperti apa yang Kakek pikirkan.”
Ketua Jang tertawa kecil.
“Kalau begitu, pastikan hatimu tetap seperti itu. Karena Ki Young tidak suka berbagi apa pun, terutama sesuatu yang dia mulai curigai… dan mulai perhatikan.”
Woo Jin tidak membalas. Ia hanya menunduk, lalu meninggalkan ruangan.
Pintu tertutup.
Dan di dalam ruangan, Ketua Jang menghela napas kecil.
“Anak-anak ini… selalu sulit diprediksi.”
Bersambung...