Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 24
Ayana masuk dan langsung mengerjakan tugasnya didalam.
Kamar Rama ada di sudut ruang timur. Ia berjalan keluar, sebab mendengar suara nyanyian absurd dari kamar Ibunya. Ketika di lihat, ternyata sang Istri pelakunya.
"Aya...." Rama tersenyum simpul. Tanpa berpikir panjang, ia kembali masuk dalam kamarnya dengan penuh semangat.
Pria tampan itu berpura-pura masih terlelap, dan sesekali memastikan ke arah pintu, apakah Istrinya sudah tiba atau belum.
"Lama banget, sih!" gumam Rama yang masih berpura-pura terpejam.
Sementara di dalam kamar Bu Anita, Ayana tersenyum puas melihat kamar Mertuanya sudah rapi dan wangi.
"Huft... Akhirnya selesai juga. Sekarang, ganti ke kamar Mas Rama. Semoga aja dia sudah bangun dan keluar," lirih Aya seraya mengangkat sapu dan juga alat pelnya.
Ceklek!
Baru saja Aya menutup pintu, dan membalikan badan, Bu Anita tetiba sudah ada di depan matanya.
Wanita parubaya itu masih mengenakan stelan olahraga, dan juga handuk kecil yang tergenggam.
Dan seperti biasanya, tatapan itu penuh intimidasi.
"Awas saja jika ada barang saya yang hilang, kamu pasti pelakunya!" tuduh Bu Anita sembari masuk kedalam.
Ayana berdesis, "Enak aja kalau omong! Lagian ya... Seleranya dan saya juga bebeda. Emangnya saya mau pake barang nenek-nenek?! Ih... Nyebelin banget punya mulut, hihhhh...." geregetnya meras kesal.
Setelah menstabilkan emosinya, Aya langsung berpindah ke dalam kamar suaminya.
Ce...klek!
Aya sangat hati-hati membuka pintu kamar Rama. Berharap sang suami pergi, rupanya pria itu masih terlelap dalam tidurnya.
Hahhh...
Hembusan nafas dalam itu menyamai langkahnya menuju ujung ranjang. Aya menatap beberapa detik kearah ranjang itu. Memastikan Rama masih benar-benar tidur.
"Mas Rama gimana sih? Ini 'kan hari senin. Apa dia nggak ke kantor, kok jam segini belum bangun?" Aya berjalan ke arah samping, dan kini sudah berdiri sedikit menunduk menyentuh dahi suaminya.
Beberapa detik itu, tangan Ayana menempel pada dahi Rama.
"Nggak panas kok?" gumamnya. Ayana sedikit berpikir, "Ah... Aku punya ide," gumamnya lagi sambil tersenyum jail.
Rama mengerjab pelahan, ia sedikit mengangkat kepalanya. "Mau ngapain dia ke kamar mandi?"
Melihat Ayana sudah akan kembali, Rama kembali terlelap.
Hingga tiba-tiba...
Aww!!!!
"Hei, Ayana... Kamu ini apa-apaan sih?" Rama spontan bangkit, saat wajahnya di ciprati air oleh Istrinya.
Ayana hanya mengendikan bahu, dan masih menggenggam segelas air dari kamar mandi.
"Tubuh saya jadi basah gini 'kan?" kesal Rama sambil menarik-narik kancing piyamanya.
Ayana mencibir, "Lebay banget sih, Mas! Mas Rama bilang basah dari mananya, ha? Basah itu kaya gini. Saya contohkan!"
Byur!
Rama semakin membolakan matanya, saat Istrinya itu malah menyiram tubuhnya dengan air yang tergenggam tadi.
"AYANAAAAA!!!!" Pekik Rama menggeram.
"Nah... Itu baru basah tubuh Mas Rama! Lagian ya... Pagi-pagi bukanya bangun, ini malah masih tidur aja!" gerutu Ayana tanpa dosa.
Rama masih terlihat menahan emosinya. Ia bangkit, menjatuhkan kedua kakinya diatas lantai sambil menatap kearah sang Istri dengan murka.
"Ini rumah-rumah saya! Mau saya bangun pagi, siang, bahkan sampai malam pun, itu terserah saya, Aya!" tekannya.
"Yah... Kalau terserah Mas Rama, mah... Ya udah bersihin aja sendiri! Lagian ya... Saya juga males kalau nggak di gaji Tuan Ibrahim!" Sergahnya.
Rama bangkit. Ia berjalan mendekat, dan membuat Ayana sedikit meringsut.
"Udahlah, mending Mas Rama cepetan mandi. Bau, tahu!" Ayana mencoba menghindar, namun lengannya kembali di tahan oleh Rama.
Aishhh
"Mas, lepasin!"
"Kamu harus bertanggung jawab atas semua kebasahan ini, Ayana! Sekarang ikut saya!"
Deg!
Ayana menoleh kaku. Jantungnya berpacu lebih cepat, melihat sorot mata Rama bak singa jantan yang ingin menerkam mangsanya.
"Mas, kamu mau apa? Lepasin!"
Berontak sekalipun, namun tenaga Ayana tak sekuat Rama.
Hingga...
Hap!
Ayana membolakan matanya. Ia tersentak, kala tubuhnya diangkat Rama bak bridal style.
"Mas, turunkan saya! Saya ini mau bekerja!" pekik Ayana.
Rama tak terkecoh. Ia tetap saja berjalan hingga sampai didalam kamar mandi.
Blang!
Satu kaki jenjangnya ia gunakan untuk menutup pintu. Dan sekarang, Ayana di turunkan di samping bathup mandi besar itu.
'Aku mau di apain ya? Duh, kenapa tadi aku bangunin segala sih?!' batin Ayana terpaku di tempat.
"Sekarang, kamu harus memandikan saya!" ucap Rama tenang.
Ayana melotot, hingga mulutnya menganga. Ia begitu shock berat dengan pernyataan suaminya barusan.
"Apa? Mandi'in Mas Rama? Mas Rama gila apa? Emangnya Mas Rama itu bayi yang baru lahir? Zeva aja uda aku latih buat mandi sendiri, ini malah minta di mandi'in!" geramnya sedikit ketakutan.
Rama menyeringai.
"Saya tidak mau tahu! Itu konsekuensi yang harus kamu lakukan, karena tadi kamu sudah mengganggu saya dengan tingkah absurdmu! Sekarang, isi bathup ini sampai penuh, dan jangan lupa beri aroma terapi!"
Ayana memberanikan diri menatap suminya.
"Sekarang, Mas?"
"5 tahun lagi... Ya sekarang lah, Ayana!"
Dengan rasa bercampur aduk, Aya mulai menyalakan air kran dan mengisi bak mandi itu setengah. Tak lupa juga, Aya memberikan wewangian, yang paling di sukai Suaminya.
Rama tidak pergi. Ia berdiri bersandar pada tembok dekat pintu, dan tampak mengamati tingkah istrinya sejak tadi.
Ayana menoleh. Sorot matanya berkata, bahwa semuanya sudah siap.
Dan tanpa berpikir panjang, Rama segera membuka kancing piayamanya perlahan.
Rama melemparkan atasan piyama itu ke sembarang lantai.
Melihat badan atletis suaminya, hampir saja kesadaran Ayana hilang. Terutama roti sobek dibagian perut itu yang membuat Ayana terpukau.
Rama tersenyum tipis.
Selanjutnya ia mulai menurunkan celana piyamanya.
Awwww!!!!
Ayana memekik kuat sambil menutup matanya.
"Loh, itu kenapa celananya juga mau di buka?"
Rama merasa bingung sendiri. Ia masih memegang sisi celananya, dan kembali menatap Istrinya. "Kan mau mandi, ya harus di buka semuanya lah! Kamu gimana sih?!"
Slurttt!
Rama sudah menurunkan celananya. Dan kini, ia hanya menyisakan boxer dalaman saja.
Ayana membalikan badan, dan masih menutup matanya.
Rama mulai masuk dalam bathup itu. Ia menggelengkan kepala pelan, merasa gemas melihat tingkah lucu Istrinya.
"Udahlah, Ayana... Adanya Zeva, itu sudah menjawab semuanya tentang siapa kita, termasuk tubuh kita masing-masing. Sok-sokan pake di tutup segala. Lagian ya, saya juga masih hafal sama bentuk tubuhmu!" cerca Rama menyandarkan punggungnya kebelakang.
Ayana memalingkan wajah merasa malu. Pipinya kini sampai bersemu merah.
"Mas Rama mending manja aja deh, aku mau keluar bersihin kamar dulu." Ayana masih memalingkan wajahnya. Ia baru akan berputar, namun lengannya langsung ditarik kembali oleh Rama.
Sebab tak memiliki keseimbangan, tubuh Ayana limbung masuk dalam bathup itu.
Aww...
Byur!
Tubuh Ayana persis berada diatas tubuh suaminya. Tatapan keduanya saling bertemu dalam keadaan basah pagi itu.
Ayana tersadar. Ia segera menarik tubuhnya ke belakang, sebab ada sesuatu yang bergerak dibawah sana.
'Apa itu tadi ya, yang bergerak-gerak?' batin Ayana merasa takut.
Pagi itu, Ayana masih mengenakan daster piyama satin, hingga membuat lekuk di tubuhnya terlihat nyata oleh Rama.
Tubuh Rama menegang kuat. Darahnya berdesir, hingga ia begitu kesusahan menelan ludah.
Ayana segera keluar, turun dari bathup tadi.
"Siapa yang menyuruh kamu turun? Masuk lagi!" seru Rama menatap tajam.
Ayana kembali masuk dengan wajah malasnya. Air itu tidak dingin. Air itu hangat, jadi tidak membuat Ayana menggigil.
"Sekarang, kamu gosok punggung saya! Dari atas hingga ke bawah!" ucap Rama seperti menahan sesuatu.
Ia lalu membalikan badan, dan kini memunggungi Ayana.
Dengan ragu, Ayana mulai menuangkan sabun dalam telapak tanganya, dan perlahan ia usapkan merata pada punggung Rama.
Reflek saja Rama memejamkan mata dalam-dalam. Sentuhan itu membuat hasratnya seketika naik pagi ini. Tidak dapat ia pungkiri, meskipun sudah lama tidak menyentuh Istrinya, namun Rama tetap menantikan kehangatan dari sentuhan lembut itu.
Sebab merasa sudah tidak tahan lagi, Rama langsung membalikan badanya. Ia mendorong pelan tubuh Ayana, hingga wanita cantik itu sedikit terlentang didalam bathup.
Wajah Ayana menegang kuat, merasa takut.
"Mas... Mas Rama mau ngapain?"
"Saya tidak akan membuat kamu sakit lagi! Saya akan melakukanya dengan penuh kelembutan. Jadi diamlah, dan nikmati saja!"
Ayana tak mampu berkutik lagi. Hingga...
*
*
Milya sejak tadi tampak mondar mandir dalam kamarnya. Setelah menarik nafas dalam, ia berjalan keluar menemui Mamahnya di kamar.
"Mah..."
Ceklek!
"Ada apa, Sayang?" jawab Bu Anita setelah selesai bermake-up.
Milya mencoba tersenyum paksa. Ia tampak menghirup dalam-dalam, semerbak wangi dalam kamar Ibunya.
"Wangi banget Mah? Mamah ganti pengharumnya, ya?"
Bu Anita menggeleng lemah, "Nggak kok! Mungkin si Babu itu yang pinter membersihkan kamar ini. Jadinya, ya wangi deh!"
"Oh, tumben banget si Ayana ngebersihin kamar Mamah pagi-pagi. Jangan-jangan... Dia mau buat nggak bener deh," tuduh Milya mengendikan kedua bahunya.
Bu Anita sedikit berpikir.
Milya lalu menimpalinya kembali, "Ya, siapa tahu aja, Mah! Coba deh, Mamah cek barang-barang serta uang Mamah."
Bu Anita tampaknya percaya. Ia mulai berjalan ke arah lemari, dan mengeluarkan kotak brankas berukuran kecil.
Setelah ia menekan kode rahasia, dan saat itu juga kedua matanya membola lebar, kala beberapa uang yang tersimpan raib dalam sekejab.
Milya mencoba tenang. Sejujurnya ia kesulitan menelan ludah saat itu. Detik itu juga ia berjalan mendekat, menatap Ibunya dengan bingung.
"Ada apa, Mah?"
"Astagaaaaa! Dimana uang-uangku?" pekik Bu Anita histeris. "Milya, ternyata benar dugaan kamu. Uang Mamah hilang 50 juta! Kemarin Mamah baru ambil, dan rencananya mau Mamah gunakan buat arisan. Duhh, dasar si Babu sialan! Maling juga ternyata dia."
Milya tersenyum sinis, setipis mungkin.