Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peristiwa di Desa Sukagabut
Sore itu, langit desa Sukagabut tampak memerah seperti luka yang menganga. Shantand baru saja melewati tikungan batu besar di jalur hutan ketika matanya menangkap asap hitam menjulang dari kejauhan. Semula ia mengira itu hanya sisa pembakaran jerami. Namun, aroma yang menguar tak lazim—terlalu menyengat... seperti kayu terbakar bercampur minyak dan keringat ketakutan.
Langkahnya terhenti. Ia mendongak.
“Guru, kau merasakannya?” gumamnya.
Dari dalam labu di pinggangnya, suara Bhaskara terdengar pelan namun berat.
“Ya… aura kekacauan. Ini bukan pertanda baik.”
Tanpa ragu, Shantand mempercepat langkah. Beberapa menit kemudian, ia tiba di gerbang desa Sukagabut.
Pekik dan tangis terdengar. Sejumlah rumah penduduk hancur, gerobak tahu terbalik dan isinya berserakan di tanah. Di tengah jalan desa yang berdebu, tampak rombongan pasukan berkuda—sekitar delapan orang, mengenakan pelindung dada dari kulit hitam dan ikat kepala merah darah. Di antara mereka ada satu yang mencolok, berkumis lebat dan membawa cambuk melilit pinggang. Suaranya nyaring menggelegar:
“Bayar upeti kalian kalau tidak ingin tempat ini dibakar habis! Kalian hanya tukang tahu, tapi berani menolak membayar kami?”
Seorang bapak tua gemetar di lututnya, memohon:
“Maafkan kami, tuan… musim ini bahan baku sulit… kami hanya punya sedikit…”
Satu cambukan melayang.
Plakkkk!!!
Tubuh si Bapak terpelanting,
Pemandangan itu membuat Beberapa anak kecil menangis histeris dan para wanita bersembunyi di balik pintu rumah.
Shantand mengepalkan tangan.
“Ini tak bisa dibiarkan…” desisnya.
Bhaskara mendesah dari dalam labu, “Jiwamu benar-benar pendekar, ini bagus untuk latihanmu. Tapi ingat, jangan membunuh—kecuali terpaksa.”
Shantand mengangguk.
Ia melangkah pelan ke tengah jalan desa.
“Cukup!” suaranya tenang, namun bisa terdengar semua pasukan. Mereka heran, bocah mana yang mencari mati berani menghentikan pasukan kerajaan..
Kepala pasukan itu menoleh. “Siapa kau anak muda? Beraninya berlagak di depan Warok Kuriman?! Sudah bosan hidup ya? ”
Salah satu anak buahnya mendekat. “Ki Warok, bolehkah kuhabisi saja dia ini?”
Pemimpin itu tertawa pendek, lalu meludah ke samping.
“Biarkan. Anak-anak semacam itu... biasanya cuma sok pahlawan. Begitu lihat darah,biasanya langsung kabur.”
Ia maju beberapa langkah, memandang ke arah Shantand yang belum bergerak sedikit pun. Dengan nada sinis, ia berseru, “Heh, kau! Minggir dari jalan. Atau kau mau ikut dihukum seperti warga desa ini?”
Shantand tak menjawab. Ia hanya mengangkat kepala sedikit, lalu berkata pelan, “Upeti desa ini belum dibayar karena perut mereka belum diisi. Aku tidak melihat alasan untuk kalian bertindak seperti binatang.”
Beberapa pasukan tertawa mendengar ucapan itu. Tapi sang pemimpin mengangkat tangannya—tanda diam.
Wajahnya berubah dingin.
“Kau berani menyamakan kami dengan binatang?”
Shantand menatapnya lurus. “Kau salah. Setahuku Binatang hanya mengambil sesuatu karena lapar. Tapi kalian… mengambil milik orang meski tahu orang itu kelaparan,yah kalian lebih rendah dari binatang.”
Kata Shantand tenang.
Pemimpin itu marah. “Tangkap dia! Aku ingin lihat, seberapa berani anak ingusan ini berlagak seperti pendekar!”
Empat orang pasukan langsung maju. Mereka membawa golok dan cambuk, bersiap melumpuhkan Shantand sekaligus sebagai contoh bagi warga.
Shantand yang berpenampilan sederhana dianggapnya penduduk desa yang mungkin baru pulang kampung, sehingga tidak tahu dengan siapa dia berhadapan.
Shantand menoleh pelan ke arah seorang petani tua yang sedang membawa tongkat bambu untuk menggiring bebek-bebeknya. Ia tersenyum dan meminjam tongkat itu sambil berkata lembut, “Maaf, pinjam sebentar, Paman.”
Sang petani hanya mengangguk bingung. Apa yang bisa dilakukan pemuda kurus ini melawan pasukan bersenjata lengkap?