NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:282
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Operasi yang Kritis

Lampu merah di atas pintu ruang operasi masih menyala. Sudah lewat dua jam, dan jarum jam seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.

Andre berdiri tepat di depan pintu itu sejak tadi. Ia tidak duduk. Tidak bersandar. Seolah jika ia menjauh satu langkah saja, sesuatu yang buruk akan terjadi. Tangannya mengepal, kuku-kukunya menekan telapak hingga memucat. Setiap kali pintu ruang operasi terbuka sedikit—sekadar perawat keluar masuk—dadanya terasa diremas keras.

Seorang dokter akhirnya keluar. Wajahnya tegang, dahi sedikit basah oleh keringat.

“Pak Andre,” panggilnya.

Andre langsung mendekat. “Istri saya gimana, Dok?”

Dokter menarik napas singkat. “Operasi masih berlangsung. Tapi barusan tekanan darahnya sempat turun cukup signifikan. Kami sudah stabilkan, tapi—”

“Apa maksudnya ‘sempat’?” potong Andre, suaranya meninggi tanpa ia sadari. “Tadi dokter bilang operasinya rutin. Sekarang tekanan darah turun?!”

Beberapa kepala menoleh. Toni refleks berdiri, bersiap menahan Andre kalau situasinya memburuk.

“Kami melakukan yang terbaik,” jawab dokter tetap tenang, meski sorot matanya mengeras. “Pelurunya lebih dalam dari perkiraan. Banyak pembuluh darah kecil yang rusak. Kami minta Bapak bersiap untuk segala kemungkinan.”

Segala kemungkinan.

Kata itu menghantam Andre lebih keras daripada tamparan. Napasnya tercekat. Rahangnya mengeras, matanya memerah.

“Dok…” suaranya turun, serak. “Tolong. Jangan ambil dia dari saya.”

Dokter menatapnya sesaat, lalu mengangguk pelan. “Kami berusaha sekuat mungkin.” Setelah itu ia kembali masuk, meninggalkan Andre dengan pintu yang kembali tertutup rapat.

Andre memukul dinding sekali. Tidak keras, tapi cukup untuk melampiaskan amarah yang menyesakkan dadanya. Ia lalu menunduk, telapak tangannya menutup wajah.

Di bangku tunggu seberang, Feni tiba-tiba terdiam kaku.

Bau antiseptik yang tajam, bercampur sisa aroma darah yang masih tertinggal di hidungnya, mendadak terasa terlalu kuat. Suara roda ranjang didorong cepat di lorong lain, bunyi logam alat medis beradu—semuanya menumpuk, menekan kepalanya.

Napasnya mulai pendek.

“Fen?” Erlang langsung menyadarinya. Ia berlutut di depan Feni. “Lihat aku.”

Feni menggeleng kecil. Tangannya mencengkeram jaket Erlang, tubuhnya mulai bergetar. “Aku… aku susah napas…”

Dunia di sekelilingnya memudar, digantikan oleh kilatan ingatan yang tak diundang.

Lampu jalan. Hujan. Bunyi benturan keras. Kaca pecah. Darah di aspal. Jeritan orang-orang. Suara sirene yang terlambat.

“Papa… Mama…”

Air mata Feni jatuh deras. Dadanya terasa sesak, seperti dihimpit beban besar. “Aku takut, Lang… aku takut kehilangan lagi…”

Erlang menahan napas, jantungnya ikut berdebar. Ia tahu cerita itu. Ia selalu tahu. Tapi mendengarnya dari mulut Feni, dengan suara yang gemetar dan penuh ketakutan, rasanya tetap menyayat.

Ia memegang wajah Feni dengan kedua tangan, memaksanya menatapnya. “Fen. Dengar aku. Itu bukan sekarang. Kamu di sini. Aku di sini.”

Ia menempelkan dahinya ke dahi Feni. “Tarik napas sama aku. Pelan. Hitung.”

Feni mencoba mengikuti, meski air matanya tak berhenti. “Aku takut… kalau Rima pergi… kalau Andre…” suaranya pecah. “Aku nggak kuat, Lang. Aku nggak mau sendirian lagi.”

“Kamu nggak sendirian,” jawab Erlang lirih tapi tegas. “Kamu nggak akan pernah sendirian.”

Ia memeluk Feni erat, membiarkan tubuh kekasihnya bergetar di dadanya. Tangannya mengusap punggung Feni perlahan, ritmis, seperti menenangkan anak kecil yang ketakutan.

“Waktu kecelakaan itu,” lanjut Feni pelan di sela isaknya, “aku nggak sempat pamit. Satu detik mereka ada… detik berikutnya hilang. Aku takut… Tuhan ngulang itu lagi ke aku.”

Erlang menutup mata. Dadanya ikut sesak, tapi ia memaksa suaranya tetap stabil. “Takut itu wajar. Tapi kamu sekarang nggak sendirian kayak dulu. Kamu punya aku. Kamu punya Andre. Dan Rima… dia lagi berjuang buat pulang ke kita.”

Feni menggenggam baju Erlang lebih kuat, seolah takut ia ikut menghilang. Napasnya perlahan mulai teratur, meski tubuhnya masih lemah.

Di kejauhan, Andre masih berdiri mematung di depan pintu operasi. Matanya kosong, tapi tekadnya keras.

Waktu terus berjalan.

Lampu merah itu belum juga padam.

Dan di antara detik-detik yang terasa kejam itu, masing-masing dari mereka bertarung dengan ketakutannya sendiri—takut kehilangan, takut terlambat, takut sejarah kelam terulang kembali.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!