Mampukah janda muda menahan diri saat godaan datang dari pria yang paling tabu? Setelah kepergian suaminya, Ayana (26) berjuang membesarkan anaknya sendirian. Takdir membawanya bekerja di perusahaan milik keluarga suaminya. Di sana, pesona Arfan (38), paman direktur yang berkarisma, mulai menggoyahkan hatinya. Arfan, duda mapan dengan masa lalu kelam, melihat Ayana bukan hanya sebagai menantu mendiang kakaknya, melainkan wanita memikat yang membangkitkan gairah terpendam. Di antara tatapan curiga dan bisikan sumbang keluarga, mereka terjerat dalam tarik-ulur cinta terlarang. Bagaimana Ayana akan memilih antara kesetiaan pada masa lalu dan gairah yang tak terbendung, di tengah tuntutan etika yang menguji batas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13: Jebakan Hasrat yang Membekas
Ayana masih terengah-engah, aroma maskulin Arfan membanjiri indranya, mengunci pikirannya dalam pusaran sensasi yang baru saja ia rasakan. Jantungnya berdebar, bukan lagi karena ketakutan, melainkan karena guncangan hasrat yang tak terduga. Bibirnya masih terasa perih, sekaligus seperti terbakar. Arfan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, namun penuh keyakinan.
“Tidak bisa menjawab, Ayana?” Suara Arfan berbisik, nadanya begitu lembut, seolah ia sedang mengelus sesuatu yang berharga. Tangannya yang tadi memegang pinggang Ayana kini beralih, menyentuh lembut pipinya yang memerah. Jempolnya mengusap sudut bibir Ayana, tepat di bekas ciuman mereka.
Sentuhan itu seperti sengatan listrik. Ayana berjengit pelan, refleks naluriahnya memerintahkannya untuk menjauh. Namun, Arfan justru mendekatkan wajahnya lagi, sedikit saja. Cukup untuk membuat napas Ayana tertahan.
“Tanyakan pada dirimu sendiri,” bisik Arfan lagi, matanya mengunci Ayana tanpa ampun. “Apa yang kau rasakan? Kebencian? Penyesalan? Atau… sesuatu yang lain?”
Kepala Ayana pening. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa ini salah, bahwa ia tidak menginginkannya. Tapi lidahnya kelu. Otaknya berteriak, mengingatkannya pada Janu, pada Alisha, pada janjinya. Namun, tubuhnya... tubuhnya justru merespons dengan cara yang paling jujur, paling memalukan.
Ada denyutan aneh di perutnya, sensasi panas yang menjalar perlahan. Ia benci pengakuan itu, tapi ia tidak bisa memungkirinya. Ciuman Arfan telah membangkitkan sesuatu yang sudah lama terkubur, sesuatu yang ia kira telah mati bersama Janu.
Ciuman itu… terasa benar. Sangat benar. Dan pengakuan itu menghantam Ayana lebih keras daripada ciuman itu sendiri.
Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak tahu apakah itu air mata penyesalan atau kebingungan. Dengan sisa tenaga, Ayana mendorong dada Arfan pelan. Hanya dorongan kecil, tapi cukup untuk menciptakan jarak di antara mereka.
Arfan tidak melawan. Ia mundur perlahan, senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum seorang pemenang yang tahu betul ia telah menorehkan jejak tak terhapuskan pada Ayana.
“Waktu akan menjawabnya,” ucap Arfan, suaranya kembali normal, namun ada kekalahan yang terdengar jelas di dalamnya. Ia membalikkan badan, berjalan tenang menuju pintu ruang kerjanya.
Ayana mematung. Ia menyaksikan Arfan membuka pintu dan keluar, meninggalkan dirinya sendiri di ruangan sunyi yang kini terasa begitu besar, begitu kosong, sekaligus dipenuhi gema ciuman terlarang itu.
Tangannya gemetar saat ia menyentuh bibirnya sendiri. Sensasi hangat masih tertinggal, seperti cap kepemilikan. Ia telah jatuh. Atau setidaknya, tergelincir jauh ke dalam jurang yang ia coba hindari mati-matian.
Siang itu, Ayana tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Setiap kali ia mencoba membaca dokumen atau membalas email, bayangan Arfan, tatapannya, dan sentuhannya kembali memenuhi benaknya. Ia merasa kotor, merasa bersalah, namun di saat yang sama, ada ketertarikan aneh yang tak bisa ia sangkal.
Ia berulang kali mengingatkan diri pada statusnya sebagai janda, sebagai ibu, dan yang terpenting, ia adalah menantu dari keluarga ini. Arfan adalah paman dari mendiang suaminya. Hubungan mereka adalah dosa yang tak termaafkan.
Namun, Arfan tidak terlihat seperti orang yang peduli dengan dosa. Tatapan matanya yang penuh hasrat tadi seolah mengatakan bahwa ia tidak akan berhenti sampai Ayana sepenuhnya jatuh ke dalam pelukannya. Dan itu membuat Ayana takut, sekaligus… tertarik.
Ketika jam makan siang tiba, Ayana sengaja menghindari kantin kantor. Ia memutuskan untuk makan di meja kerjanya, berharap bisa menghindari pertemuan yang canggung dengan Arfan atau tatapan tajam dari Vina, yang belakangan ini terasa lebih intens.
Namun, takdir sepertinya sedang bermain-main dengannya. Pintu ruangannya terbuka. Bukan Arfan, tapi Vina. Dengan ekspresi datar yang selalu ia tampilkan, Vina masuk tanpa mengetuk.
“Ayana, bisa ikut saya sebentar?” tanya Vina, suaranya tenang, namun Ayana bisa merasakan ada ketegangan di baliknya. Vina tidak menunggu jawaban Ayana, ia hanya berbalik dan berjalan menuju lift.
Ayana menelan ludah. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia punya firasat buruk. Sesuatu yang berhubungan dengan kejadian tadi pagi.
“Ada apa, Mbak Vina?” tanya Ayana, mencoba setenang mungkin, saat mereka berdiri di depan lift yang sepi. Vina menatapnya lurus, tatapannya dingin dan menusuk.
“Saya hanya ingin mengingatkan,” ujar Vina, suaranya pelan tapi menusuk. “Posisi Anda di sini sangat istimewa. Jangan sampai Anda merusaknya.”
Ayana mengerutkan kening. “Merusak apa, Mbak?” Ia tahu pertanyaan itu bodoh, tapi ia butuh kepastian.
Vina tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya. “Tuan Arfan itu… sangat berpengaruh di perusahaan ini. Dan di keluarga. Ada banyak mata yang mengawasi setiap gerak-geriknya.”
Ayana merasa darahnya berdesir. Ia tahu Vina tidak hanya berbicara tentang pekerjaan. “Saya tidak mengerti maksud Mbak Vina.”
“Oh, Anda mengerti sekali, Ayana,” sahut Vina, nadanya kini lebih tajam. “Tadi pagi, sekitar pukul sembilan lewat seperempat. Pintu ruang kerja Tuan Arfan tertutup rapat cukup lama. Dan Anda ada di sana.”
Napas Ayana tercekat. Bagaimana Vina bisa tahu? Apakah ada yang melihat? Atau Vina memang sengaja mengawasi mereka?
Vina melihat perubahan ekspresi Ayana, dan senyum sinisnya melebar. “Saya hanya ingin Anda berhati-hati. Jangan sampai kesenangan sesaat merugikan masa depan Alisha. Atau masa depan Anda sendiri.”
Kata-kata Vina menghantam Ayana seperti cambuk. Kesenangan sesaat. Masa depan Alisha. Itu adalah poin terlemah Ayana. Vina tahu itu.
“Mbak Vina tidak berhak—” Ayana mencoba membela diri, tapi Vina mengangkat tangannya, memotong perkataannya.
“Saya berhak. Saya adalah orang yang peduli dengan nama baik keluarga ini. Dan saya melihat potensi masalah yang sangat besar di sini.” Vina mendekat, suaranya kini hampir berbisik. “Jangan berpikir Anda bisa bermain-main dengan Tuan Arfan. Dia bukan pria yang bisa dikendalikan. Dan dia akan membuang apa pun yang menghalangi jalannya, termasuk orang yang sudah tidak berguna baginya.”
Peringatan Vina menancap dalam hati Ayana. Ini bukan hanya tentang skandal, ini tentang kelangsungan hidupnya dan Alisha. Apakah ia baru saja melangkah ke dalam jebakan yang tidak akan bisa ia lepaskan?
*
Sore harinya, Ayana merasa sangat lelah, bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Kepalanya berdengung oleh kata-kata Vina dan ingatan akan ciuman Arfan. Ia ingin sekali pulang, memeluk Alisha, dan melupakan semua kekacauan ini.
Ketika ia sampai di parkiran kantor, ia melihat mobil Arfan masih terparkir rapi di tempatnya. Arfan belum pulang? Jantungnya kembali berdebar. Ia bergegas masuk ke mobilnya sendiri, berharap bisa pergi tanpa bertemu pria itu.
Namun, sebelum ia sempat memutar kunci, ketukan ringan di kaca jendela mobilnya membuatnya terlonjak. Arfan berdiri di samping mobilnya, tatapan mata itu kembali, memancarkan sesuatu yang gelap dan mendesak.
Ayana membuka sedikit kaca jendela. “Ada apa, Pak Arfan?” tanyanya, suaranya terdengar lebih bergetar dari yang ia inginkan.
Arfan mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke celah kaca. Senyum tipis kembali terukir di bibirnya. “Saya hanya ingin memastikan. Apakah Anda sudah memikirkan jawaban atas pertanyaan saya tadi pagi?”
Ayana menggeleng cepat. “Tidak ada yang perlu dipikirkan. Saya sudah tahu jawabannya. Ini salah.”
Arfan terkekeh pelan. Suara kekehannya itu entah mengapa membuat bulu kuduk Ayana merinding, bukan karena takut, tapi karena sensasi aneh yang tak bisa ia jelaskan.
“Benarkah?” Arfan mengangkat alisnya. “Saya tidak yakin. Saya melihat keraguan di mata Anda. Dan saya tidak suka itu.”
Arfan kemudian menyelipkan sebuah kartu nama ke tangan Ayana, melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Kartu itu terasa dingin di telapak tangannya. “Malam ini, jam delapan. Di restoran La Fleur. Saya sudah membuat reservasi. Jangan sampai telat, Ayana. Saya punya sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan dengan Anda. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.”
Arfan tidak menunggu jawaban Ayana. Ia menegakkan tubuhnya, mengedipkan mata, lalu berbalik dan berjalan santai menuju mobilnya. Meninggalkan Ayana yang membeku di kursi pengemudi, dengan kartu nama dingin di tangannya dan sebuah undangan yang terasa seperti bom waktu.
Benar2 membingungkan & bikin gw jd malas utk membaca novel ini lg
Jgn membingungkan pembaca yg berminat utk membaca novel ini