Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.
Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.
"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."
Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Eka menghela napas lega ketika ponselnya berdering—seolah semesta memberinya jeda di tengah tekanan yang menyesakkan. Namun, rasa lega itu seketika berubah menjadi cemas begitu ia melihat nama yang tertera di layar.
Suyoto. Ayahnya.
Di kampung, keluarganya dikenal sebagai tokoh agama. Menjaga nama baik bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Tapi demi cintanya pada Adit, Eka menabrak semua itu. Baginya, yang penting adalah ijab kabul. Bukan status hukum, bukan resepsi. Ia mengabaikan semua peringatan—termasuk dari ayahnya sendiri—yang memintanya menyelesaikan urusan administrasi dan adat sebelum ikut Adit ke Jakarta.
Dan sekarang, ia harus menelan konsekuensinya.
Ponselnya masih bergetar di tangan, tapi Eka ragu untuk mengangkat. Ia tahu apa yang akan ia dengar, suara ayahnya yang tegas, nada penuh kekecewaan, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa ia jawab tanpa menyakiti.
Namun, membiarkan panggilan itu tak terjawab… hanya akan memperparah semuanya.
"Angkatlah," ujar Kai pelan, matanya menatap Eka yang tampak bimbang.
Eka menarik napas dalam dan akhirnya menekan tombol hijau.
"Halo…" suaranya nyaris berbisik.
"Kapan kamu pulang?" suara Suyoto terdengar datar, tapi justru itulah yang membuat Eka menggigil. "Sudah setahun kamu pergi dengan Adit. Warga terus membicarakanmu."
"Pak, beri Eka waktu sedikit lagi," jawabnya pelan.
"Eka, kamu terus menunda. Kamu anak Bapak satu-satunya, dan kamu tahu sendiri bagaimana warga sini. Mereka bertanya terus kapan kamu akan pulang bersama suamimu dan menggelar resepsi."
"Iya, Pak… Eka paham…" lirih Eka, melirik sekilas ke arah Kai yang menatapnya penuh tanya. "Pak… nanti Eka telepon lagi, ya."
"Eka! Jangan bikin Bapak naik darah! Kalau kamu tidak ada keputusan, Bapak akan ke Jakarta dan bicara langsung dengan Adit!"
Tubuh Eka menegang. Ia menutup mata sejenak, berusaha menenangkan degup jantung yang mulai kacau. Ia tak bisa membiarkan ayahnya datang ke Jakarta dan menyaksikan kenyataan pahit itu.
"Bulan depan… aku pulang, Pak. Ada yang ingin Eka jelaskan."
Keheningan menyergap. Ia bisa mendengar tarikan napas panjang dari seberang sana.
"Bulan depan?" ulang Suyoto pelan. "Kalau kamu ingkar lagi, Bapak sendiri yang akan menjemputmu."
"Iya, Pak. Eka janji."
Klik.
Telepon terputus.
Eka menatap layar ponselnya yang kembali gelap. Rasanya seperti baru saja keluar dari ruang interogasi. Ketegangan masih menyesak di dada.
Ia menoleh. Kai masih berdiri di sana, bersedekap dengan tatapan tajam, seolah membaca seluruh gundah yang berusaha ia sembunyikan.
"Kai…" panggilnya lirih, senyum tipis namun getir menggantung di bibirnya.
Kai mengangkat satu alis, menunggu.
"Aku butuh bantuanmu," lanjut Eka, menelan ludah. "Tadi kamu pasti dengar… Bapakku ingin aku pulang kampung dan mengadakan resepsi. Aku nggak bisa pulang sendirian. Aku mau kamu ikut."
Kai tersenyum miring. Bukan senyum hangat—tapi senyum yang penuh pemahaman dan ironi.
Ia melangkah mendekat, membuat Eka menegakkan punggung tanpa sadar.
"Bapakmu masih pikir kamu istri Adit Wirawan. Kamu yakin mau membawaku?"
Eka mengangguk kecil, ragu tapi mantap. "Aku mau menjelaskan semuanya. Tentang kita."
"Jadi kamu mau aku ikut?" tanyanya, suara rendah dan menggoda.
"Iya."
Kai menatapnya dalam, seolah menimbang sesuatu yang lebih dalam dari sekadar jawaban. Lalu ia bersuara, "Tapi… ada satu syarat."
Eka menatapnya penuh harap. "Apa?"
Kai mencondongkan tubuh, membuat jarak mereka hanya sejengkal. "Aku mau kamu memohon padaku."
Eka melotot. "Kai.…"
"Hm?" senyumnya makin dalam. "Aku mau dengar kamu benar-benar menginginkanku di sana."
Panas menjalari wajah Eka. Tapi ia tahu Kai tidak sedang bercanda. Lelaki itu ingin mendengar pengakuan tulus darinya.
Dengan napas tertahan, Eka akhirnya berbisik, "Kai, tolong ikut denganku… Aku butuh kamu."
Senyum puas terbentuk di wajah Kai. Ia mengangkat tangan, menyentuh dagu Eka dengan lembut.
"Begitu dong," gumamnya. "Tapi… belum cukup."
Eka menegang. "Patkai—"
"Kamu panggil aku begitu lagi?" suara Kai merendah, menggigit, sementara sentuhannya di dagu mengencang sedikit.
Jantung Eka nyaris melonjak dari tempatnya. Ia menarik napas pelan, lalu mencoba dengan suara selembut mungkin, "Kaisar…"
Kai menghela napas, lalu melepaskan sentuhannya. Tatapannya kembali datar dan tenang.
"Waktuku berharga. Kalau aku meninggalkan pekerjaanku, kamu tahu sendiri berapa nilainya. Jadi—"
Eka terbelalak. "Kamu ingin aku bayar?!" Suaranya tinggi, gemetar karena marah dan kecewa. "Kai, kamu itu calon suamiku! Wajar kalau kamu bertemu orang tuaku! Atau kamu… sama saja seperti Adit? Hanya ingin aku, tanpa keluargaku?!"
Kai menatapnya diam-diam, tapi mata itu menyala. Bukan karena amarah—tapi karena rasa tertarik yang mendalam.
"Sepertinya aku belum selesai bicara." Suaranya tenang, namun penuh tekanan.
"Lalu apa?!" bentak Eka, matanya berkaca. "Berapa yang harus aku bayar? Akan aku cicil kalau perlu!"
Kai melangkah mendekat lagi. Eka mundur, hingga punggungnya menyentuh dinding.
"Bayarannya… tidak mahal," katanya pelan. "Kamu cukup… cium aku."
Eka membelalakkan mata. "Apa?!"
"Kamu cukup… cium aku."
Suara Kai pelan, tapi begitu dalam dan berat. Membungkam seluruh ruang dengan magnet yang tak terlihat.
Eka mengerjap, tak percaya. Ia bisa merasakan detak jantungnya di tenggorokan, panas menjalar ke wajah, tapi ia tak mundur.
Dengan langkah perlahan, ia mendekat… menatap mata pria yang selama ini begitu tak terjangkau.
"Kalau aku lakukan itu…" bisiknya pelan, nyaris seperti hembusan napas, "…aku ingin satu hal darimu."
Kai menaikkan alis, tapi tidak menghentikannya. Eka bersandar sedikit, bibirnya menyentuh bibir Kai—cepat, gugup, tapi cukup untuk menghentikan waktu.
Saat ia menarik diri, Kai masih menatapnya. Dalam. Tajam. Tapi kini ada percik hangat yang belum pernah Eka lihat sebelumnya.
"Apa yang kamu mau?" tanya Kai akhirnya, suaranya serak.
Eka menghela napas. Lalu menguatkan diri sambil berbisik dalam hati, ini waktunya Eka sekali mendayung dia tiga pulau terlampaui.
"Aku ingin kerja di perusahaanmu," ucap Eka mantap.
Kai terdiam. Alisnya bertaut. "Kerja? Untuk apa?"
Eka buru-buru menyusun ekspresi setenang mungkin, "Aku butuh kesibukan. Aku nggak bisa terus-terusan di rumah, Kai. Aku butuh sesuatu yang bikin aku merasa hidup… dan berguna. Apalagi dulu aku sempat mengenyam pendidikan bisa dibilang cukup mampu."
Eka menunduk sebentar, menyembunyikan sorot matanya yang mengeras—karena kebenaran yang ia sembunyikan jauh lebih tajam dari itu. Ia tidak menyebut nama Adit. Tidak tentang memanfaatkan lelaki di depannya ini. Tidak tentang rencana balas dendamnya yang diam-diam sudah ia susun sejak lama.
"Kamu hamil, Eka." Kai mengucapkannya perlahan. "Kamu butuh istirahat, bukan kerja."
"Aku baik-baik saja," desaknya cepat. "Dan kamu tahu aku bukan tipe yang bisa diam. Aku janji nggak akan memaksakan diri. Beri aku peran yang aman. Tapi beri aku tempat, Kai."
Kai menatapnya dalam diam. Seakan mencoba membaca lebih dari yang Eka tunjukkan.
Lalu akhirnya, ia menghela napas, dan mengangguk. "Baik. Tapi kamu akan kerja langsung denganku. Sebagai asistenku. Di bawah pengawasanku penuh."
Eka sempat membelalakkan mata. Ia tidak menduga Kai akan memilih jalan itu. Tapi ia menunduk, menyembunyikan senyumnya yang nyaris muncul.
"Terima kasih…" bisiknya pelan.
Dan dalam hatinya, suara lain ikut berbisik, "Lihat saja, Adit. Ini langkah pertama. Aku akan membuat keluargamu hancur. Dengan caraku sendiri. Tanpa seorang pun tahu… termasuk dia."
Namun, dimenit berikutnya Eka tersentak saat Kai kembali menggodanya, "Yang tadi sepertinya belum cukup."