"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Ketegangan yang sebelumnya tersembunyi mulai mereda seiring dengan suara tawa Elyza, Emma, dan Kian yang memenuhi ruangan.
Emma dengan santai menggoda Elyza tentang betapa hebatnya masakan Zhen, sementara Kian sesekali melontarkan komentar yang sukses membuat mereka tertawa lebih keras. Suasana meja makan terasa hangat, penuh keceriaan, kecuali di salah satu sudut.
Di sisi lain meja, Lily dan Zhen tetap diam. Keduanya seolah terjebak dalam dunia yang berbeda, dunia yang dipenuhi ketegangan tak kasat mata. Seakan ada tembok transparan yang memisahkan mereka dari tawa ringan yang memenuhi ruangan.
Setelah semua selesai makan, Lily menarik napas panjang, berusaha mengabaikan tekanan yang menghimpit dadanya. "Aku yang akan mencuci semuanya." tangannya mulai mengumpulkan wadah kotor di hadapannya.
Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, Zhen mengulurkan tangan, menghentikan gerakan Lily dengan tenang. "Tidak perlu, biar aku saja," suaranya dingin, tetapi ada ketegasan yang tak bisa dibantah.
Lily menghentikan gerakannya sejenak, menatap pria itu dengan ekspresi tak senang. "Tidak usah Tuan. Anda sudah memasak, jadi setidaknya biarkan aku yang mencuci piring."
Mata Zhen tetap menatap Lily tanpa perubahan ekspresi, tetapi ada kilatan kesabaran yang hampir habis di sana. "Aku tidak masalah melakukannya. Kau hanya perlu beristirahat."
Lily merasakan dadanya mulai panas. "Aku juga tidak masalah melakukannya," balasnya dengan suara sedikit meninggi. "Lagi pula, bukankah aneh jika seorang atasan ikut campur dalam urusan pribadi bawahannya sampai ke dapur?"
Zhen mendesah pelan. Ia meletakkan sumpitnya dengan gerakan terukur, seolah sedang menahan sesuatu. "Dan kau tidak mengerti bahwa aku juga suka melakukan ini?"
Lily terdiam, alisnya bertaut bingung. Apa maksud pria itu?
Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, suara keras menggelegar di dalam ruangan.
"Cukup!"
Emma mendadak berdiri, menatap keduanya dengan sorot mata penuh ketidaksabaran. "Aku sudah cukup tua untuk mendengar suara kalian berdebat seperti anak kecil! Kalau kalian ingin bertengkar, jangan di meja makan!"
Keheningan langsung menyelimuti ruangan. Lily dan Zhen sama-sama terdiam, tetapi tatapan Lily terpaku pada Emma di hadapannya, penuh protes yang tertahan.
Emma mendengus kesal lalu menoleh ke Elyza dan Kian. "Kalian ikut aku. Biarkan mereka berdua menyelesaikan masalah mereka sendiri."
Elyza dan Kian saling bertukar pandang, seakan ragu untuk meninggalkan mereka. Namun, melihat ekspresi tegas Emma, keduanya akhirnya menurut dan berjalan keluar dari ruangan.
Kini yang tersisa hanyalah Lily dan Zhen, masih berdiri di tempat masing-masing. Keheningan yang tercipta terasa lebih menekan dibanding sebelumnya.
Lily mencoba mengabaikan kehadiran Zhen, fokus kembali pada wadah-wadah kotor di meja. Namun, saat ia hendak mengambil satu wadah besar, sebuah tangan kembali mencengkeram pergelangannya, menghentikan gerakannya sekali lagi.
Jantung Lily berdegup kencang. Ia menelan ludah ketika Zhen menarik tangannya perlahan, memaksanya untuk menatap pria itu. Tatapan tajam Zhen begitu menusuk hingga Lily merasa kesulitan bernapas.
"Kenapa kau selalu berusaha kabur dariku?"
Suara Zhen terdengar dalam, nyaris seperti bisikan, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat Lily merasakan tekanan luar biasa.
Lily mengerjap, jari-jarinya mengepal tanpa sadar. Ia tidak menyangka akan mendengar pertanyaan seperti itu.
Zhen tidak memberinya waktu untuk berpikir. "Apa kau sudah bosan hidup nyaman dan ingin hidup lebih menderita?"
Tenggorokan Lily terasa tercekat. Ia mencoba bicara, tetapi suaranya menguap entah ke mana. Pada akhirnya, ia hanya bisa menggeleng pelan.
Namun, jawaban itu tampaknya tidak cukup bagi Zhen. Tiba-tiba, tangannya bergerak ke tengkuk Lily, menariknya lebih dekat.
Lily tersentak, kedua matanya membesar. Ia bisa merasakan napas hangat Zhen menyapu kulitnya, membuatnya semakin terperangkap dalam situasi yang tak bisa ia kendalikan.
"Jangan pernah berpikir untuk kabur Lily."
Bisikan itu terdengar halus, tetapi mengandung ancaman yang tak bisa diabaikan.
"Karena kalau kau berani melakukannya, sahabatmu Elyza juga akan terkena imbasnya."
Darah Lily seakan membeku. Napasnya tersengal, dan tangannya spontan menggenggam lengan Zhen dengan erat. "Jangan… saya mohon… jangan sakiti mereka…" suaranya bergetar, kepanikannya tidak bisa lagi ia sembunyikan.
Zhen tetap diam, matanya mengunci wajah Lily dengan ekspresi sulit ditebak. Tatapannya masih dingin, tetapi ada sesuatu yang lain di sana, sesuatu yang lebih dalam.
Perlahan, genggamannya di tengkuk Lily melonggar. Namun, bukannya melepaskannya, Zhen justru melakukan sesuatu yang tidak pernah Lily bayangkan.
Tiba-tiba, pria itu menariknya ke dalam pelukan.
Lily membelalakkan mata, tubuhnya membatu dalam dekapan Zhen. Ia tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa setelah mengancamnya, pria ini justru memeluknya?
Zhen menepuk punggung Lily pelan, seolah sedang menenangkan sesuatu, atau mungkin dirinya sendiri.
"Jangan takut."
Kali ini suaranya lebih lembut. Hampir seperti bisikan yang ingin menenangkan, bukan menekan.
"Berjanjilah padaku… Jangan pergi meninggalkanku."
Lily memejamkan mata. Perlahan sesuatu yang hangat mulai menggenang di sudut matanya. Ia tidak tahu apakah ini ancaman atau permohonan.
Tetapi di dalam dekapan Zhen, ia bisa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar keinginan untuk mengontrol. Ada luka, ada dendam, dan ada sesuatu yang lebih dalam yang belum bisa ia pahami.
Namun, satu hal yang pasti. Lily tahu bahwa saat ini, ia tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa berkata apa-apa.
Di luar ruangan, Elyza, Emma, dan Kian mengintip dari celah pintu. Tatapan mereka terpaku pada pemandangan di dalam. Zhen yang memeluk Lily dengan erat, sementara wanita itu hanya diam tanpa perlawanan.
Emma menghela napas berat, lalu dengan gerakan halus, ia menarik dua anak muda itu untuk menjauh.
"Kita lebih baik menjauh dari sini. Biarkan mereka berdua menyelesaikan urusan mereka sendiri." bisiknya pelan.
Elyza masih menatap ke dalam dengan ragu, pikirannya penuh tanda tanya. Namun, ia akhirnya mengalah dan mengikuti langkah Emma yang menjauh dari ruangan itu.
Begitu mereka cukup jauh, Emma akhirnya berhenti dan menoleh ke Elyza dan Kian. "Untuk sementara waktu, jangan ganggu mereka," ucapnya tegas. "Aku ingin kembali ke kamar. Kalian jangan berbuat macam-macam."
Tanpa menunggu jawaban, Emma pun pergi begitu saja, meninggalkan Elyza dan Kian berdua di lapangan rumah yang kini terasa sunyi.
Kian menatap Elyza yang masih terpaku ke arah kamar Emma. Setelah beberapa saat, ia membuka suara, "Elyza."
Elyza menoleh, raut wajahnya sempat bingung sebelum menjadi salah tingkah. Pria di sampingnya, pria yang ia sukai, tiba-tiba berbicara lebih dulu.
"Apa kau mau mendengarkan ceritaku?" tanya Kian dengan ekspresinya tetap tenang.
Jantung Elyza berdegup lebih kencang. Sejenak pikirannya melayang. Apakah ini pertanda bahwa mereka berjodoh?
Dengan cepat ia mengangguk. "Aku mau."
Tanpa banyak bicara lagi, Kian melangkah lebih dulu. Elyza mengikutinya dengan hati yang mulai dipenuhi harapan baru.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰