Teror pemburu kepala semakin merajalela! Beberapa warga kembali ditemukan meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam, ternyata semuanya berkaitan dengan masalalu yang kelam.
Max, selaku detektif yang bertugas, berusaha menguak segala tabir kebenaran. Bahkan, orang tercintanya turut menjadi korban.
Bersama dengan para tim terpercaya, Max berusaha meringkus pelaku. Semua penuh akan misteri, penuh akan teka-teki.
Dapatkah Max dan para anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku? Atau ... mereka justru malah akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPK15
Hujan masih mengguyur deras di luar jendela. Suara tetesan air menghantam kaca menciptakan irama monoton yang seolah menambah suasana mencekam di dalam ruangan. Namun, malam ini Jessie terlihat lebih tenang dari malam sebelumnya, layaknya mahluk ghaib yang baru memakan sesajen nya.
Jessie duduk di sofa, tubuhnya sedikit membungkuk, matanya menatap layar laptop Liam yang terbuka di meja. Tangannya mulai gemetar, tapi, dia berusaha tetap tenang.
Di layar itu, sebuah folder bernama "Korban" terbuka. Di dalamnya, ada puluhan file dengan nama-nama yang tidak asing baginya. Beberapa nama itu adalah korban pembunuhan yang sedang diselidiki Max dan timnya. Jessie menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat.
"Kenapa Liam punya ini?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.
Dia meng-klik salah satu file. Sebuah foto muncul di layar. Itu adalah foto Andi Pratama, jurnalis yang baru saja ditemukan tewas. Wajahnya terlihat hidup di foto itu, berbeda jauh dari tubuh kaku yang Jessie lihat di surat kabar. Di bawah foto itu, ada catatan singkat: "Target berhasil. Pesan terkirim."
Jessie menutup mulutnya dengan tangan, menahan napas. Tubuhnya terasa dingin. Dia tidak ingin percaya, tapi, bukti di depannya terlalu jelas.
“Liam ... Liam terlibat?! Tapi, sejauh apa?”
Langkah kaki terdengar dari arah pintu. Jessie buru-buru menutup laptop itu dan berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
Liam muncul dari balik pintu, membawa paper bag berisi camilan dan meletakkannya di atas meja. Senyumnya seperti biasa—hangat, penuh pesona, tapi kali ini Jessie merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang ... gelap.
"Sayang, kamu kelihatan tegang ...." Kata Liam sambil membuka camilan. "Ada yang salah?"
Jessie menggeleng cepat. "Nggak, aku cuma ... lelah aja. Banyak pikiran."
Liam duduk di sebelahnya, menatapnya dengan mata yang tajam. "Kamu yakin? Aku bisa bantu kalau ada apa-apa."
Jessie memaksakan senyum. "Nggak, beneran. Aku cuma butuh istirahat."
Liam mengangguk pelan, tapi, matanya tetap mengawasi Jessie. "Sudah berapa hari kamu nggak kerja?"
"Entahlah, aku nggak menghitungnya," jawab Jessie.
"Kamu nggak ditegur sama Max karena sering libur?" Pertanyaan Liam membuat Jessie tertegun.
‘Sepertinya, Max pun tak lagi peduli pada ku ...,’ gumam Jessie di dalam hati.
"Jess?" Liam memanggil Jessie yang termenung. Melihat Jessie tersentak, Liam tersenyum tipis. "Kalau gitu, istirahatlah. —Aku nggak mau kamu sakit."
Jessie mengangguk, tapi, pikirannya masih kacau. Dia harus mencari tahu lebih banyak, tapi dia juga tahu bahwa Liam bukan orang yang bisa dianggap remeh. Dia harus berhati-hati.
...----------------...
Malam semakin larut, tapi Jessie tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan apa yang dia lihat di laptop Liam.
Jessie melirik Liam yang duduk di kursi, membaca sebuah buku. Tapi, Jessie tahu Liam tidak benar-benar membaca. Dia bisa merasakan tatapan Liam sesekali mengarah padanya, seperti seorang predator yang mengawasi mangsa.
"Kenapa kamu nggak tidur, Sayang?" tanya Liam tiba-tiba, suaranya lembut tapi penuh arti. Pria itu menuangkan secangkir teh chamomile hangat untuk Jessie.
Jessie terkejut, tapi dia berusaha tetap tenang. "Aku nggak ngantuk. Lagi mikirin kerjaan." Jelasnya sambil meneguk teh hangat yang memberikan ketenangan.
Liam menutup bukunya dan berdiri. Dia berjalan mendekati Jessie, lalu duduk di tepi tempat tidur. "Kerjaan? Atau sesuatu yang lain?"
Jessie menelan ludah. Cangkir di tangannya seketika bergetar. "Kerjaan, kok. Kenapa kamu tanya gitu?"
Liam tersenyum, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Nggak apa-apa. Aku cuma penasaran. Kamu kelihatan ... gelisah."
Jessie mencoba mengalihkan pembicaraan. "Aku cuma capek, Liam. Mungkin aku butuh liburan."
Liam mengangguk pelan. "Mungkin kamu benar. Kita bisa pergi ke suatu tempat yang jauuuuuuuh —dari semua ini."
Jessie hanya tersenyum tipis. Entah kenapa perkataan Liam terdengar mengerikan baginya. Ia tahu, Liam sedang mencoba membaca pikirannya, dan itu membuatnya semakin takut.
30 menit bercengkrama, akhirnya Liam pamit untuk tidur lebih dulu. Besok pagi, pria itu harus bekerja. Dan ... Jessie melihat ini sebagai kesempatan. Dia membuka laptop Liam lagi, kali ini dengan lebih hati-hati. Dia harus tahu lebih banyak.
Namun, beberapa menit kemudian, Jessie terlihat bingung. Tak ada apapun di laptop itu, ia lekas memeriksa folder sampah. Namun, lagi-lagi tak ia temukan jejak apapun di dalam sana.
"Apa ... aku halusinasi lagi?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Jessie mulai menggigit jari, sakit kepalanya kembali menyerang lagi. Jessie menggeleng cepat, berusaha menyingkirkan potongan-potongan ingatan yang mengerikan.
Perutnya terasa mual. Andi Pratama, jurnalis terkenal yang kemarin tewas, muncul dalam ingatannya. Jessie memukul keras kepalanya agar ingatan itu terhenti, tetapi, justru semakin menjadi-jadi.
Andi Pratama tengah berlari kencang dalam ingatannya, lalu, pria itu dihantam dengan benda tumpul. Kemudian ....
Arrrggghhh!
Jessie menjerit histeris, ia memukul kepalanya berkali-kali. Satu ingatan sadis kembali muncul di kepalanya. Ingatan saat kepala Andi Pratama jatuh bergelinding.
Jessie menyeka keringat dingin di keningnya. "I-ingatan apa itu?"
Wanita itu meremas kuat rambutnya saat satu ingatan kembali muncul. Ingatan tentang sebuah pena yang disimpannya di dalam laci nakas di dalam kamar.
Pena dengan warna hitam metalik yang berukiran nama : Andi Pratama.
"Aku yang membunuhnya?" lirih Jessie. Ia semakin cemas. Namun, satu hal yang pasti, Jessie harus memeriksa keberadaan pena tersebut. Bisa jadi, semua ini hanya halusinasinya lagi.
Jessie gegas melangkah ke kamar, sekilas ia melirik ke arah Liam yang sudah tertidur pulas. Kemudian, pemilik rambut blonde itu membuka laci nakas pelan-pelan, berusaha semaksimal mungkin untuk tidak meninggalkan jejak suara.
Kedua tangan Jessie bergetar, jantungnya berdegup kencang. Pena itu, pena milik Andi tergeletak di dalam sana, sesuai ingatannya.
Jessie berlari ke sudut ranjang, duduk sambil memeluk kedua kakinya. Kepalanya ia hentak-hentakkan ke lutut. Berusaha menghapus ingatan yang tidak ia inginkan. Namun .... suara bel menyadarkannya, Jessie tersentak.
TING!
TONG!
TING!
TONG!
Jessie berdiri, "s-siapa malam-malam begini." Langkah kakinya cepat menuju pintu. Namun, suara Liam menghentikannya.
"J-Jes ... sie ...." Suara Liam yang terbata-bata, membuat Jessie menoleh cepat.
Jantung Jessie berdegup kencang saat melihat pemandangan tak terduga, maniknya Jessie membola. "Aaaaaaaakh ...!" Jessie menjerit histeris.
Di sana, di atas ranjang, Liam berlumuran darah.
*
*
*
kembali kasih Kaka...🥰🥰
w a d uuuuuuhhhhh Bellaaaaa....
jadi inspirasi kalau di dunia nyata besok ada yg jahat² lagi mulutnya, siapkan jarum bius😅🤣😂.
tapi sayangku aku takut jarum suntik😅